Minggu, 26 Oktober 2008

NU Berebutan Wacana


Oleh; Mashudi Umar, Pemerhati Sosial Keagamaan dan Alumni PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

PROGRESIVITAS pemikiran kalangan muda dan dinamika di kalangan ulama NU saat ini mungkin tak terduga oleh Kiai Ahmad Siddiq ketika merumuskan kembali ke Khittah 1926.Saat itu Kiai Achmad Siddiq hanya memimpikan para ulama mendidik santrinya, tidak hanya menjadi muqallid a’ma (pengikut buta) tetapi menjadi muqallid lebih baik.Harapan itu sekarang terlampaui,tidak hanya menjadi muqallid yang lebih baik, tetapi lebih jauh, yaitu mengeksplorasi pendekatan manhajy (metodologis) dalam meneropong berbagai persoalan kontemporer.

Kesan jumud dan antikemajuan yang selama ini melekat pada jam’iyyah nahdliyyah, dengan sendirinya terhapus oleh dinamika perkembangan NU selama lebih dari dua dekade belakangan. Perkembangan seperti ini tidak dihasilkan secara mudah. Perjuangan gigih Kiai Achmad Siddiq dan Gus Dur pada pertengahan dekade 1980-an dalam meletakkan NU, sebagaimana perjuangan Kiai Hasyim Asy’ari pada 1926,memberi andil penting dalam mempersiapkan perubahanperubahan yang terjadi sebelumnya.

Doktrin ahlussunnah wal-jamaah yang menjadi nafas organisasi dengan sadar tidak pernah dikesampingkan, malah diperkukuh dengan memberi visi baru. Muatan baru itu bermula dari gagasan sederhana, bagaimana melakukan kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam klasik.

Gejala kemajuan yang muncul di kalangan muda NU memang semacam konsekuensi yang tidak bisa terhindarkan. Dekade 1980-an adalah awal dari ”panen raya”kalangan intelektual di lingkungan NU. Generasi baru yang berpendidikan ganda ini tidak sepenuhnya mampu diserap dalam lingkungan NU yang masih didominasi kalangan ulama tua.

Mereka kemudian mencari jalan lain, dengan beraktivitas dalam gerakan mahasiswa, NGO, dan lainnya. Perkenalan dengan dunia luar pesantren itu ternyata cukup banyak mengubah struktur berpikir kalangan muda NU. Pergumulan kalangan muda NU dengan gagasan,agenda, dan jaringan di luar pesantren dan NU itu pada akhirnya melahirkan apa yang mereka sebut sebagai gerakan kultural; suatu gerakan yang berbasis pada pengembangan pemikiran dan pemberdayaan masyarakat akar rumput.

Dalam kerangka gerakan, agenda aksinya tersusun berdasarkan pemikiran yang lebih konsepsional dalam melakukan pemberdayaan terhadap berbagai masalah mutakhir. Dalam konteks inilah lahir gagasan Islam transformatif, Islam liberal, Islam emansipatoris hingga gagasan Islam postradisionalis.

Terbangun pula lembaga-lembaga swadaya masyarakat macam The Wahid Institute,The Fahmina Institute,Rahima. Benturan itu terjadi karena sejak awal gerakan kultural merupakan perlawanan ”diam-diam” kalangan muda terhadap kecenderungan umum NU saat itu yang sangat tergoda dengan kehidupan politik.

Dalam persepsi mereka, khittah NU 1926 semestinya menghentikan NU dari kecenderungan politik praktis dan mengonsentrasikan sepenuhnya pada gerakan keagamaan dan kultural. Namun impian ini tidak mudah diwujudkan, karena dunia politik bagaimanapun tetap memesona.

Sejumlah aktivis NU mendapat peluang lebih besar pascakeputusan Khittah 1926 dengan berkiprah pada sejumlah partai politik.Sementara itu, NU sendiri pernah diletakkan Gus Dur sebagai kekuatan semioposisi pada masa akhir Orde Baru. Puncaknya adalah pada masa reformasi. PBNU pernah memfasilitasi terbentuknya sebuah partai politik baru dan NU struktural harus bersusah-payah membela Gus Dur tatkala menjadi presiden.

Jadi, berpolitik memang seakan kegiatan yang tak kenal lelah, baik yang dilakukan ”NU politik” maupun – ”NU struktural”, walaupun tentu dengan modus operandi yang berbeda. Di tengah membeludaknya aktivitas politik itu,institusi NU kerap menjadi ”korban”. Pilkada, baik Jawa Timur maupun Jawa Tengah, menjadi fakta bahwa semua pihak merebut suara NU.

Kecenderungan inilah yang dilawan oleh gerakan kultural. Mereka meletakkan gerakannya sebagai alternatif dari gerakan ”NU struktural” maupun ”NU politik” yang dianggap mudah membelokkan NU menjadi kekuatan politik. Sekarang ini NU pada dasarnya mempunyai tiga aset penting selain para ulama.
Pertama, kalangan terpelajar dan intelektual yang sedang giat menekuni pemikiran keagamaan. Kedua, kalangan pengusaha. Ketiga, politisi yang tersebar di berbagai partai. Kalimat ”inside NU”atau ”what’s right withNU”sangat tepat untuk mengapresiasi buku ini. Sebuah buku yang sangat komprehensif dalam membedah jeroan NU, terutama pergolakan pemikiran yang telah dan sedang terjadi di kalangan generasi muda NU.

Pemetaan yang brilian, cerdas, dan lugas telah dihadirkan oleh As’ad Said Ali, Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang tidak hanya menyoroti dimensi siyasah (politik), tsaqafah (budaya) dan fiqrah (pemikiran), akan tetapi juga dimensi yang sangat mendesak untuk diprioritaskan, yaitu istishadiyah( perekonomian).

(Telah dipublikasi di Seputar Indonesia (Sindo), Tanggal 23/08/08)

Zakat Sebagai Visi Sosial

Mashudi Umar
Dewan Redaksi Majalah Risalah PBNU

Dalam Islam zakat dibagi ke dalam dua macam, yaitu zakat jiwa atau fithrah dan zakat harta benda atau mal. Zakat yang pertama merupakan perintah yang terbanyak ditunaikan orang (kemungkinan besar karena ringan dan sangat sederhana).

Zakat fithrah harus dibayar oleh setiap Muslim, baik kecil maupun dewasa, secara periodik pada setiap bulan Ramadhan, tepatnya di malam Lebaran hingga imam Shalat Idul Fitri naik ke atas mimbar. Berbeda dengan zakat jiwa, pada zakat mal agaknya tidak semua orang memiliki kesadaran penuh untuk membayarkannya (kemungkinan karena berat dan perhitungannya memang tidak gampang). Zakat mal hanya diwajibkan bagi mereka yang sudah dewasa, tentunya juga berkemampuan.

Menyangkut waktu pembayaran zakat mal, Rasulullah mengategorisasikannya pada dua bagian. Pertama, zakat yang harus dibayar secara berkala, biasanya mengena kepada zakat niaga (termasuk jasa atau profesi), mata uang, dan ternak. Kedua, zakat yang harus dibayar pada saat harta yang terkena zakat itu tiba di tangan, bersifat insidental, lazimnya mengena pada hasil pertanian, hasil perkebunan, hasil tambang, dan harta temuan.

Karena dari sudut filosofisnya, di samping berfungsi sebagai penyucian jiwa dan harta benda, zakat juga berfungsi, terutama zakat mal, sebagai sarana pemberdayaan ekonomi rakyat dan pencapaian keadilan sosial. Di samping sebagai pilar ekonomi Islam dipandang berpotensi untuk menunjang bagi tercapainya kesejahteraan.

Visi sosial zakat
Di dalam Alquran ada dua perintah yang disebutkan secara bersamaan dalam 82 ayat, yaitu shalat dan zakat. Dua perintah ini dalam banyak ayat Alquran telah menunjukkan diri sebagai sentra dari seluruh jalan keislaman itu sendiri.

Dalam hadis kedua perintah itu diletakkan sebagai rukun Islam segera setelah pengakuan terhadap eksistensi keesaan Tuhan (syahadat) dan dalam urutan yang mendahului puasa dan haji. Dalam analisis Mas'udi (1991:29), perintah shalat dimaksudkan untuk meneguhkan keislaman (kepasrahan) pada Tuhan yang bersifat personal. Sementara itu, perintah zakat dimaksudkan untuk mengaktualisasikan keislaman yang bersifat sosial.

Dari paradigma ini, kita dapat mengembangkannya secara lebih jauh bahwa Islam benar-benar ingin memperjuangkan terwujudnya kesejahteraan sosial yang di dalamnya zakat merupakan salah satu sarananya. Abd Karim al-Tawati dalam Mafhum al-Zakat (1986: 27) mengatakan bahwa zakat adalah suatu kerangka teoritis untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Dalam konsep zakat tampak sekali pemihakan kelas sosial kepada golongan yang lemah dan terpinggirkan.

Secara vokal Alquran menyerukan agar kekayaan tidak boleh hanya berputar terbatas di kalangan kelas kaya (QS, [59]:7). Islam melarang orang-orang yang menumpuk-numpuk harta (QS [104]: 1-4). Tegasnya, Islam mengecam monopoli dan oligopoli dalam sistem ekonomi. Islam menghendaki adanya distribusi yang adil menyangkut kekayaan.

Dengan visi sosial seperti inilah kehadiran zakat dapat dipahami. Zakat datang bukan agar semua orang memiliki bagian secara sama rata, baik sedikitnya maupun banyaknya, melainkan untuk mencegah terjadinya ketimpangan, di mana sebagian membubung dengan kekayaan yang dikuasainya, sementara sebagian yang lain justru tersungkur ke bawah dengan kemelaratan yang dideritanya.

Bermula dari ketimpangan dalam hal ekonomi inilah, ketimpangan di bidang yang lain (politik dan budaya) kemudian mengikuti. Pada waktu kekayaan menembus batas teratas sehingga menyebabkan kesenjangan kelas, saat itulah golongan yang memonopoli dan mengonsentrasikan kekayaan itu menjadi musuh-musuh Islam (Kuntowijoyo, 1996:300). Alquran menyerukan agar kita menjadi pembela kelas yang tertindas dan golongan yang lemah. (QS [4]: 75).

Strategi pengelolaan zakat
Zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda (materi). Seseorang yang telah memenuhi syarat-syaratnya dituntut menunaikannya, bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tetapi kalau perlu harus dengan tekanan. Zakat dapat dituntut oleh kaum miskin, bahkan dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh negara.

Dalam tataran ini, Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa zakat merupakan kewajiban yang tak dapat ditawar atas orang yang telah memiliki kemampuan tertentu. Garaudy (1981: 32) mengatakan zakat bukan suatu karitas, tetapi suatu bentuk keadilan internal yang terlembaga, sesuatu yang diwajibkan sehingga dengan rasa solidaritas yang bersumber dari keimanan itu orang dapat menaklukkan egoisme dan kerakusan dirinya yang pada gilirannya dapat terbentuk formasi sosial yang berkeadilan.

Dengan argumen di atas, dalam pengelolaan zakat kita tidak bisa hanya mengandalkan analisis normatif, melainkan juga harus berpijak pada landasan realitas empiris. Dengan demikian, ada beberapa langkah yang harus dilakukan.

Pertama, sudah saatnya kita melakukan sensus zakat yang dapat mendeteksi para pembayar zakat (muzaki) hingga ke pelosok pedesaan. Lewat sensus ini pula kita dapat mengetahui mereka yang berhak menerima zakat.

Kedua, wilayah zakat perlu dibagi-bagi atas dasar perbedaan tingkat kemakmuran, untuk distandarkan berapa margin kewajiban zakat pada masing-masing daerah. Masing-masing umumnya sudah memiliki data dasarnya, berupa Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), data mengenai penghasilan rata-rata daerah, tingkat ketimpangan pendapatan daerah, dan sebagainya.

Untuk ini harus dilakukan perhitungan, kemudian hasil perhitungan itu dijadikan acuan oleh panitia zakat sehingga distribusi zakat menjadi tepat sasaran, tidak sekadar membagi-bagi tanpa memerhatikan fungsional dan tidaknya zakat buat pemberdayaan ekonomi rakyat pada level bawah. (Effendi, 1999).

Ketiga, perlu untuk membentuk lembaga zakat lintas SARA yang keberadaannya dikukuhkan oleh UU Zakat. Lembaga zakat yang memiliki kewenangan formal ini, bukan saja dapat menekan pihak yang enggan membayar zakat, melainkan juga dalam hal pentasarufan (pendayagunaan) pun dapat difungsikan secara nyata sebagai upaya membangun tata kehidupan sosial yang lebih adil buat semuanya.

Keempat, perlunya merelatifkan besaran tarif atau kadar zakat yang harus dikeluarkan. Apabila ada variabel tantangan keadilan dan kemaslahatan ditemukan lebih berat pada masyarakat tertentu, tidak ada halangan menaikkan dan begitu juga sebaliknya untuk menurunkan tarif yang telah ditentukan Nabi Muhammad, yakni 2,5-10 persen.

Dalam konteks ini, Madar F. Mas'udi, Emha Ainun Nadjib, dan Jalaluddin Rakhmat pernah mengusulkan menaikkan tarif zakat menjadi 20 persen atas berbagai jenis pendapatan yang diterima oleh kalangan profesional, seperti dokter dan konsultan.Kita perlu meningkatkan fungsi zakat yang selama ini lebih sebagai aktivitas personal menjadi sebuah gerakan sosial yang menyentuh realitas sosio-struktural demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan. Pada ujungnya, bagaimana agar hasil pungutan zakat itu dapat berdampak langsung terhadap masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan.

(Telah dipublikasikan di koran harian Republika, tanggal 10-10-2008)

"Amalkan Lima Nasehat Guru"

Wawancara dengan Maksum Saputra (Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya, Jawa Barat)


Amalkan Lima Nasehat Guru;
Sejuta Orang Bergabung ke TQN di Jakarta

Bagaimana perkembangan tarekat Abah Anom saat ini?
Al-hamdulillah perkembangan terus maju, bahkan banyak orang bertanya-tanya. Jadi saya kebetulan ada di Jakarta ada yang nanya dari Palembang, Jambi, Bandung. Kebetulan saya dan teman-teman bilang kalau bapak mau belajar silahkan ke Pesantren Suryalaya untuk dapat bimbingan zikir. Abah Anom ada di Suryalaya. Kalau umpama Anda ada di Jakarta Barat, misalnya, silahkan hubungi Kiai Shaleh, yang dipercaya Abah Anom..

Ada berapa jumlah jemaah Tarekat Qadariyah Nahsyabandiyah (TQN) di Jakarta?
Sekitar satu juta di seluruh DKI

Kegiatannya apa saja?
Kegiatannya di setiap tempat, jadi kegiatannya sifatnya harian, mingguan, bulanan. Kalau kegiatan harian sesuai dengan tuntunan Al-Quran yaitu banyak berzikir pada Allah. Untuk mendapatkan ini kita perlu bimbingan dari Mursyid yaitu Abah Anom, yang nama lengkapnya Syaikh Shahibul Wafa Tajul Arifin Bin Nur Muhammad. Beliau dilahirkan 1 Januari 1915. Abah Anom masih hidup.

Beliau kan sudah terbatas, penggantinya sementara siapa?
Pelaksana hariannya adalah KH. Zainal Arifin Anwar atau sebagai tangan kanannya untuk dakwah Kiai Abdul Gaus Syaifullah Maksum di Ciamis. Selain itu juga ada orang kepercayaan Abah Anom di lembaga dakwahnya, yaitu Kiai Cecen Badul Ashab itu di Sukabumi.

Pusat kegiatan di Jakarta di mana?
Di Islamic Center (Tanjung Priok). Untuk Jakarta ada lebih kurang 150 tempat untuk kegiatan khataman (wirid mingguan) dan manaqiban. Yang mengikuti kami di Jakarta itu bukan ustaz dan para kiai, tapi mantan preman. Mereka ke rumah pingin belajar, ya dibina dengan zikir. Alhamdulillah sadar.

Dari kalangan artis?
Ya dari kalangan artis juga ada, yang aktif di tempat kami antara lain Ulfa dan Titiek Puspa. Mereka mendapatkan pengetahuan tentang tarekat Naqsyabandiyah justru tambah khusyuk, ibadahnya tambah mantap. Terutama anak-anak mantan narkoba. Pada jam 02.00 dini hari itu mereka bangun langsung mandi, namanya mandi taubat. Setelah mandi, ngambil wudu’ langsung shalat. Pertama salat taubat dulu. Setelah shalat taubat dia salat tahajjud minimal 12 rakaat dan setelah itu salat hajat minimal 6 rakaat. Setelah salat hajat langsung salat istikharah, salat tasbih minimal 4 rakaat, terus salat daf’il bala’, dan wirid sampai subuh.

Ada sumbangannya?
Tidak ada. Kalau mau sedekah, silahkan. Karena ada lima mutiara dari guru kami. Pertama, jangan benci ulama yang sezaman. Dua, jangan menyalahkan ajaran orang lain. Ketiga, jangan mencampuri urusan orang lain. Empat, jangan mengambil sikap walaupun disakiti orang lain. Lima, harus menyayangi orang yang membenci kamu. Dengan adanya pedoman seperti itu, maka banyak yang bergabung, termasuk mantan-mantan preman dan orang-orang yang selalu bermasalah.
Mashudi Umar

(Dipublikasikan di Majalah Risalah NU, No.10/Thn II/1429 H)

“Spiritual Kota Itu Bukan Gerakan Sufi’’

Wawancara dengan Dr. Sri Mulyati, MA
(Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)


Pandangan Anda terhadap komunitas spiritual kota?
Kalau ada kecenderungan orang kota ke arah spritualitas itu positif-positif saja. Alhamdulillah, berarti ada keinginan orang kota keagamaannya untuk lebih baik. Sebenarnya kalau orang Islam ingin mendekatkan diri kepada Allah, harus benar-benar mempersiapkan diri. Karena ini adalah perjalanan spritual yang harus ada persiapan matang. Banyak karakteristik yang harus dipenuhi, walaupun itu tidak mudah. Tapi keinginan ke arah sana itu sudah bagus.

Bagaimana dengan munculnya pemimpin spiritual instan?
Kalau dalam tradisi tasawuf pemimpinnya adalah seorang mursyid, bukan ustadz biasa, dalam artian bukan sekadar mengajar ilmu secara fisik, karena tasawuf masih ke dimensi ruhaniyah. Tentang karakteristik seorang mursyid, antara lain harus ahli agama, dia sendiri harus mengamalkan syari’at sebaik-baiknya. Ia pun harus mampu membawa murid-muridnya secara ruhaniyah. Seorang mursyid itu tidak lahir dengan sendirinya. Dia dipilih oleh mursyid sebelumnya dan itu preogatif seorang mursyid untuk menentukan siapa kemudian yang akan menggantikannya. Tidak karena anak, saudara atau famili yang lain, tapi karena ilmu dan keikhlasannya. Mursyid-lah yang paling tahu perkembangan spritual murid-muridnya.
Aktifitas seperti Ary Ginanjar, menurut saya, itu baik dan saya rasa itu adalah akhlaq saja, tidak masuk dalam kategori sufi atau tarekat. Karena dia kan memperlihatkan fenomena alam, betapa kecilnya kita, betapa besarnya ciptaan Tuhan itu. Kalau diciptakan begitu, apalagi yang diciptakan itukan menggugah kesadaran akan eksistensi Tuhan, luar biasa. Kita harus menilai positifnya dan saya pernah baca di koran bahwa dia itu tidak pernah mengatakan sufi, apalagi yang bersangkutan tidak mengatakan sufi, bukan juga seorang mursyid.

Trend artis, selebritis, pejabat, dan eksekutif ikut komunitas spiritual kota itu gejala apa?
Alhamdulillah kalau mereka bisa bertaubat, istighfar, karena Allah maha pengampun. Itu kan taubat dalam urut-urutan makamah, zuhud, warak. Kita menilai itu baik, mudah-mudahan begitu.

Sebenarnya cara sufi itu ada berapa tahapan?
Saya kira tahapan pertama yang harus dilewati adalah Takhalli, mengosongkan diri dari segala yang tidak baik, apakah kita bisa? Baru nanti kita bisa sampai pada apa yang disebut Tahalli, harus benar-benar mengisi kebaikan. Apakah kita juga bisa? Berikutnya adalah Tajalli, benar-benar mengetahui rahasia Tuhan. Dan ini adalah bentuk manifestasi dari rahasia-rahasia yang diperlihatkan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka sudah Takhalli tapi sudah ditunjukkan oleh Allah kepada yang ia kehendaki, dalam teori sunni kan begitu.

Ada juga wirid dan dzikir yang marak selama ini?
Tidak mesti apa yang dia lakukan itu, dalam golongan sufi. Kalau kita pahami secara konvensional tarekat adalah suatu bagian dari tasawuf, dalam konteks ini adalah muktabarah dan ghairu muktabarah. Yang muktabarah jelas silsilahnya sampai kepada Rasulullah, amaliahnya ini, praktik sehari-harinya itu sesuai dengan syari’ah yang begitu. Adapun misalnya orang beramal baca surat ikhlas 1000 kali, itu gak apa-apa, itu amaliyah fadlail saja. Jadi tidak mesti harus digolongkan ke sufi. Masalahnya karena dalam kajian tasawuf, wabil khusus tarekah, itu memang ada rambu-rambunya. Jadi kalau misalnya tidak ada kriteria muktabarah, ya tidak otomatis masuk dalam tasawuf. Tarikah bukan, sufi bukan, apalagi tidak ada mursyid dan tidak ada silsilah, jadi yang begini ini masuk grup akhlak saja, grup moral, tidak apa-apa dari pada grup Narkoba, naudubilla…. Dan sejauh tidak ada kaitannya dengan mursyid, maka tidak ada kaitannya dengan tarekat dan sejauh tidak ada murid tarekat, ya grup moral saja dan itu bagus. Seperti misalnya ada grup dzikir, kan lebih baik zikir dari pada ngobrol yang tidak ada manfaatnya. Kita harus punya pandangan yang positif. Alhamdulillah masih banyak orang yang mengingat Allah. Kalau orang pandangannya negatif bagaimana? Seperti dzikir jahar, ada yang bertanya apakah Tuhan tuli? Dia tidak tahu riwayatnya. Rasullulah mambaiat Ali berdzikir dengan jahar. Nabi mengajarkannya, sebab itulah kemudian dijadikan referensi dzikir jahar atau dengan suara keras.

Mashudi Umar

”Kapitalisasi Industri Spiritualitas Itu Berbahaya”

Wawancara dengan KH Lukman Hakim, MA
(Sufiolog dan Pengasuh Kajian Komunitas Sufi di Berbagai Kota)

”Kapitalisasi Industri Spiritualitas Itu Berbahaya”

Pandangan Kiai soal trend sufi sekarang?
Ini sebenarnya soal cara pandang manusia modern yang berorientasi ke ’aku’. Kalau kita melihat seluruh roh dan proses-proses motivasi dalam membangun kepercayaan diri dalam mengeksplorasi ’aku bisa’, ’aku mampu’, ’aku hebat’, dan ’aku kuasa’. Tapi sebenarnya ’aku’ mempunyai sejarah di Prancis dalam drama keagamaan.

Di dalam Al-Quran ada dua ’aku’ yang sangat dramatis, yang merupakan bagian dari tragedi spiritual. Pertama, ini tragedi spiritual yang paling maniak, yaitu tentang ’aku’-nya Iblis. Karena ke’aku’an atas amal ibadahnya dia mengatakan, ana khairun minhu (aku lebih baik dari Adam), pada saat ia itu menjadi takabbur, lalu menjadi kafir dan akhirnya menjadi Iblis.

Kedua, ’aku’nya Firaun yang berbeda latarbelakangnya dengan Iblis. Kalau Iblis latar belakangnya karena prestasi ibadah. Sedang Firaun, dia mengatakan ana rabbukumul a’la (akulah Tuhanmu yang paling tinggi). Ini lantaran Firaun tidak mengenal Tuhan, sejak kecil dia kafir, lalu menjadi Firaun. Kekuatan ’aku’nya ini kelak akan melahirkan apa yang disebut dengan ilmu sihir. Itu semua karena aku, lalu dielaborasi Barat untuk menyihir cara pandang manusia. Mengapa muncul sihir, karena ’aku’, Tuhan itu tidak ada. Ini proses elaborasi alam modern, eksprementalis, sosialis sampai eksistensialis.


Tentang sufisme perkotaan?
Kalau menurut saya, Islam di perkotaan itu ada kecenderungan aktivitas keagamaannya ke arah tontonan, jadi orang melakukan aktivitas keagamaan supaya ditonton. Lantas muncul industri spritual, ini sebenarnya tragedi. Kapitalisasi spritual ini sangat berbahaya. Orang tiba-tiba tertarik karena Tuhan dijadikan komuditas sangat laris sekali.

Sebenarnya definisi tasawuf bagaimana?
Tasawuf itu pada zaman nabi belum ada. Istilah syari’ah saja belum ada, aqidah juga belum ada, istilah tarbiyah juga belum ada. Jadi istilah tasawuf itu dielaborasi dari tiga istilah pada awal munculnya Islam yaitu, Islam, Iman, dan Ihsan. Islam di kemudian hari akan menjadi disiplin ilmu fikih dan syari’ah. Sementara iman, akan menjadi disiplin ilmu teologi dan aqidah. Sedangkan ihsan, akan menjadi disiplin ilmu tasawuf. Ketiga simpul itu, masing-masing menjadi frame dan ada tatanan masing-masing.

Tasawuf baru muncul pada abad ketiga hijriyah, artinya sebelum boleh dikata masih seperti eranya Rasulullah, memang pernah Rasulullah bersabda baik-baik era adalah abadku dan sesudah abadku sampai pada 23 tahun. Itu artinya era Rasul, umatnya masih utuh baik syariatnya, tarekatnya, aqidahnya semuanya masih utuh. Ketika mulai ada degradasi moral di kalangan umat, maka tasawuf dijadikan sebagai terapi, lalu dikembangkan secara akademik, disiplin ilmu tasawuf dan dipelopori oleh beberapa ulama bahkan empat mazhab itu penganut tarekat, walaupun Ahmad Ibnu Hambal masuk tarikat agak akhir. Ia sempat awalnya melarang anaknya dekat sama orang sufi. Tapi ketika beliau masuk sufi, anaknya langsung diminta untuk dekat para ulama sufi, itu yang tidak dibaca oleh Ahmad Bin Hambal. Kemudian sekarang gerakan-gerakan ini memang selalu muncul pada setiap kran kebebasan. Karena puncak dari tasawuf itu adalah Rasulullah bukan siapa-siapa, baik soal metodelogi yang diajarkan pada para sahabat dan yang untuk umum maupun yang khusus. Kelak ilmu khusus itu menjadi pengetahuan-pengetahuan. Di era modern banyak aliran-aliran muncul yang mengatasnamakan tasawuf, tarekat, makrifat tapi tidak lebih dari tasawuf-tasawuf instan yang sebenarnya disebut sufisme. Bahkan banyak yang mengatasnamakan tarekat yang berhubungan dengan proses-proses tasawuf di Indonesia yang suasananya mulai dikenal secara akademik, ketika para kiai mengajar di pesantren, tapi sebelumnya wali songo langsung bentuknya amaliah, tasawuf langsung amaliah. Kelak kulturnya kita rasakan, namun akademiknya baru belakangan.

Kelompok mana saja yang masuk tasawuf instan?
Ya banyaklah, bahkan di iklan di koran-koran misalnya ikut ke makrifat harus bayar sekian. Sekarang atas nama training queotient. Tapi tidak ada yang benar-benar makrifah kepada Allah, sekian banyak manusia mana yang makrifah kepada Allah. Kalau sudah pada industrial dan yang disebut syiar itu dari kedalaman ketaqwaan hati. Dalam dunia tasawuf itu harus mengandalkan Allah lalu baru terekpresi di amaliah bukan sebaliknya.

Kira-kira manfaatnya untuk masyarakat apa?
Karena masyarakat dalam situasi krisis itu selalu muncul yang instan-instan di mana saja. Kita lihat mengapa banyak paranormal, banyak orang yang menjanjikan hal-hal yang instan itu karena krisis. Nah ini kalau ditangkap oleh yang tidak benar ya seperti itu menjadi industri spritual.

Apa karena orang kota tak suka dzikir lama-lama?
Saya punya istilah yang itu diambil dari kata-kata sufi: Sunyi rame-rame, sunyi dalam keramaian, ramai dalam kesunyian. Itu sebenarnya bisa dielaborasi oleh tasawuf orang kota di tengah-tengah kita menghadapi berbagai problem perkotaan. Hati kita tetap sunyi dalam Allah, di tengah-tengah kita sendiri tidak ada siapa-siapa, hati kita tetap ramai dengan dzikrullah. Nah ini yang disebut sunyi dalam ramai, ramai dalam sunyi. Jadi bagaimana caranya ya orang harus berlatih dengan pengetahuan-pengetahuan tasawuf dan amaliahnya di mana seluruh persoalan-persoalan hidup di dunia ini jangan sampai masuk di hati. Hal yang sama kalau wilayah-wilayah ketuhanan jangan dipaksakan masuk pada institusi dunia, nanti semua orang akan mengatasnamakan Tuhan. Lama-lama orang mengatakan ini Tuhan, ini milik Tuhan, kita boleh mengambil dong kan ini milik Gusti Allah, itu kalau hati dielaborasi untuk dunia.

Kalau tasawuf Hamka? Orang kota tak suka ketat ya?
Hamka yang kita kenal adalah kultur tasawuf. Ayahnya seorang sufi dan Hamka sepertinya seorang terpelajar yang coba untuk rasional, tapi pada akhir hayatnya dia menulis tasawuf modern, beliau kemudian mengambil tarekat Naqsyabandiyah, itu yang tidak diikuti oleh Hamkais, pengikutnya belakangan. Sehingga tasawuf hanya dipahami dalam nilai-nilai seperti yang kita kenal Allah itu Esa. Kalau kenal Allah Maha Esa mau ngapain? Tasawuf itu bagaimana komunikasi dengan keesaan itu sendiri, hati kita yang kita kenal. Inilah yang dielaborsi dunia tasawuf agar orang terus menerus online dengan Allah.

Aktivitas kajian sufi kiai sendiri bagaimana?
Ya kita hanya kajian-kajian sufi di berbagai kelompok. Di Jakarta ini ada sekitar 23 komunitas tasawuf. Ada yang kebetulan tarekatnya sama dengan saya, ada juga tarekatnya beda, tapi saya rangkul. Ada majalah sufi untuk memberikan klarifikasi-klarifikasi atas beberapa ketimpangan-ketimpangan tasawuf, selain kita angkat masalah nilai-nilai tasawuf seperti Syaikh Abdul Qadir Jailani, Junaid Al Bagdadi. Tasawuf itu bukan sesuatu yang asing tapi keniscayaan hati yang orang kalau meninggalkan akan mengalami kekeringan hati.

Kajian itu apa rutin?
Ya rutin, ada yang jadwalnya seminggun sekali, dua minggu sekali, sebulan sekali, rata-rata kita buat sebulan sekali. Ya bergantian jadwalnya, bisa Anda lihat di majalah sufi. Dunia tasawuf ini kan ilmunya, amaliahnya namanya tarekat, kemudian pelaku dan namanya sufi. Tapi seluruh definisi tasawuf maupun sufi itu banyak sekali, tapi tujuannya sama yaitu membangun adab. Adab itu lebih tinggi dari akhlaq. Tahapannya, adab, akhlak, baru amal. Adab ini lebih tinggi, lebih agung yang menghubungkan hamba dengan Allah, hamba dengan sesama hamba dan sesama makhluk. Jadi kenapa dulu para sufi punyak ide besar luar biasa. Hampir rata-rata ulama kita sufi. Baru pada era-era tertentu pada abad ke VII Hijriyah munculnya gerakan-gerakan formalisi sufisme yang dipolopori oleh Ibnu Taimiyah. Tapi orang tidak banyak membaca bahwa Ibnu Taimiyah pada usia tua masuk sufi, terutama setelah ketemu Abu Hasan Al-Asy’ari.

Aktifitas sufi di luar kota?
Diluar kota, ada di Surabaya, Malang, Bandung itu sebulan sekali. Kita berharap juga bahwa para ulama itu membimbing. Padahal dulu ceritanya para ulama ketika akan mendirikan NU, dulu kan berdebat nama. Lalu muncul nama Nahdlatul Ulama. Ternyata itu diilhami kitab tasawuf Al-Hikam. ”Janganlah anda bergabung atau berguru kepada orang yang haliyah, rohani maupun wacananya yang tidak menunjukkan anda kepada Allah.” Itu sebenarnya standar NU. Kalau tidak memproduksi ulama, NU akan mengalami degradasi. Para kiai-kiai di pesantren tentu mempunyai itu semua.

Tentang Anand Krisna, bagaimana?
Sufi Krisna itu klenik. Kenapa saya sebut klenik karena mengelaborasi seluruh aliran-aliran sufi yang ada. Pokoknya aliran-aliran sufi dijadikan satu, padahal mungkin ya bisa Anda contohkan mau bikin makanan semua bumbu dimasukin jadi satu, itu mungkin orang muntah, apalagi pada tingkat rohani. Tasawuf bukan produk filsafat, seluruh karya-karya orang sufi itu tidak muncul dari aksioma filosofis, makanya muncul kalimat dalam sufi: cahaya-cahaya para sufi itu mendahului wacananya. Sementara wacana-wacana ulama mendahului cahayanya.

Benarkah tasawuf penghambat ilmu pengetahuan?
Sebenarnya ini hanya soal cara pandang. Al-Quran memang mengecam dunia sampai 115 kali, hanya orang salah mendefenisikan dunia. Dunia adalah masa yang membuat manusia lupa terhadap Allah. Ibadah pun kalau itu lupa terhadap Allah dinilai duniawi. Sama dengan uang halal dengan uang haram kan sama bentuknya. kenapa nilainya beda?

Bagaimana kalau belajar Sufi tanpa guru?
Jangankan sufi, orang mau salat saja tidak pakai guru tidak boleh. Di dunia banyak yang jadi wali tapi jarang yang jadi mursyid, juga banyak mursyid tapi tidak wali. Siapa yang belajar agama tanpa guru, maka dia gurunya adalah syetan. Kita ini masuk ke dunia batin saja, imajinasi syetan itu cepat sekali, ada pintu gerbang untuk dia, cepat sekali, contoh belajar dzikir dari buku. Dalam dunia sufi itu tidak boleh ada tujuan supaya dibukakan rahasia Allah apalagi mencari mukasyafah.
Mashudi Umar dan Haris Muzakky

(Dipublikasikan di Majalah Risalah NU, No.10/Thn II/1429 H)

PCI Networking, Gurita NU Global

Jakarta-- Dalam pertemuan dengan Pengurus Cabang Istimewa (PCI NU), yang merupakan cabang NU istimewa yang tersebar di seluruh dunia, Ketua Umum PBNU, DR KH A Hasyim Muzadi menggagas bahwa PCI NU adalah networking (jaringan kerja) NU agar NU membumi dan menggurita ke level global.

‘’Karena itulah PCI NU nantinya akan bersinergi dengan ICIS yang keanggotaannya mencakup inteleketual dan ulama di Negara-negara Islam maupun Negara Barat non Islam. Jadi NU nantinya menjadi eksportir gagasan Islam moderat ke seluruh dunia, bukan menjadi agen gerakan internasional di Indonesia. Ini beda NU dengan HTI, Ihawanul Muslimin maupun dengan Majelis Mujahidin Indonesia,’’ ujar Kiai Hasyim di hadapan pengurus PCI NU seluruh dunia di sela-sela acara ICIS III di Hotel Borobudur Jakarta awal Agustus 2008.

Menurut Kiai Hasyim, karena ke-Sekjenan ICIS ada di Jakarta dan PBNU juga di kota yang sama , maka harus disinerjikan. ICIS setelah ke-Sekjenan selesai, selanjutnya akan dibentuk region-region atau zona-zona misalnya Zona Amerika, Zona Eropa yang bisa dibagi dua, Eropa Barat dan Eropa Timur. Kemudian Zona Afrika yang terdiri dari Afrika utara, tengah dan selatan,

Karakter masing-masing zona tidak sama, lanjut Kiai Hasyim, Kemudian Zona Australia, Asia, dan lainnya. ‘’Region-region ini nanti kekuatannya ada pada PCI, misalnya Eropa Barat regionalnya di London. Atau yang di Eropa Timur ada di Kazakstan, Afrika Utara, Timur Tengah, dan Saudi itu di letakkan di Mesir. Dan Afrika Selatan bisa bi Bormali atau di Afrika selatan. Zona Autralia diletakkan di Camberra, sementara Asean diletakan di Kuala Lumpur.

Dikatakan Abah, demikian ia biasa dipanggil-- maksudnya dengan region region itu nanti setiap region atau zona dipersilahkan untuk mengorganisasi dan mengadakan kegiatan-kegiatan sesuai dengan karakter regionnya. Dengan demikian ICIS akan mengakar, orang-orang yang sudah menjadi member di sini otomatis di tempatnya juga member. Jika di tempat masing- masing memerlukan orang lain untuk rekruitmen dipersilahkan, tetapi koordinasi ada pada PCI. Dikhawatirkan, kalau nanti lepas dari PCI, akan lepas dari kontrol NU.

‘’Dengan begini NU akan menggurita ke seluruh dunia, karena itu NU tidak boleh menjadi bagian dari gerakan rekruit orang lain, karena kita akan mengembangkan pemikiran dan membuat NU itu ke seluruh dunia,’’ jelasnya. Berikut liputan wartawan Risalah NU, Mashudi yang di dampingi fotografer Ahmad Muzakki, antara PCI NU dengan KH. Hasyim Muzadi;
Berikut Agenda dan Program PCI Seluruh Dunia


PCI Inggris
Sugiharto, PHD

Alhamdulillah bisa bertemu dengan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dengan menghadiri acara ICIS III ini. Saya bisa menjadi Ketua PCI NU Inggris, berawal dari karir saya di Inggris dengan berjualan sate dan sambil sekolah dan alhamdulillah S3 saya selesai. Karena saya pulang ke tanah air, PCI Inggris saya demesionerkan, agar ada generasi setelah saya. Cuma karena mendekati 2009, kita hati-hati.

Di Inggris sekarang ini banyak orang-orang yang mengaku NU, akan tetapi amaliahnya belum seperti NU. Kader NU di sana ada sekitar 200 orang yang basic-nya semua rata-rata dari pesantren. Berbagai kegiatan ke-NU-an sudah kami laksanakan seperti tahlilan, pencak silat dan berbagai zikir seperti saman dan lainnya. Respon dari kalangan Islam lainnya bahkan dari kalangan non-Islam merasa senang dan positif.

Harapan PCI Inggris, kita ingin menjalin hubungan dengan berbagai negara Eropa dan KBRI serta kerjasama dengan umat Islam di Inggris sendiri. Kami sudah bertemu dengan pimpinan umat Islam Inggris, dia bilang mempunyai program dari Deplu Inggris dengan dana sekitar 4, 5 poundsterling yang tujuannya Inggris wellcome terhadap Islam. Yang bersangkutan menginginkan dipertemukan dengan PBNU agar ada kerja sama dalam merealisasi program tersebut.

PCI NU Libiya
Mahmud dan Syihabuddin

Alhamdulillah semua kegiatan NU di Libiya berjalan dengan baik, berbagai program seperti Harlah NU yang kita laksanakan bekerjasama dengan KBRI Libiya. Harapan kami agar PCI yang lain memberikan masukan kepada kami dan bekerjasama dengan PCI yang berada di Libiya.

PCI NU Libiya terbentuk dari anak-anak NU dari berbagai delegasi PWNU Indonesia yang dikirim belajar ke Libiya. Sedangkan berbagai program NU yang kami lakukan, awalnya secara sembunyi-sembunyi, karena kami di sana minoritas berada di tengah komunitas lain. Kami pun berada di asrama-asrama yang bukan NU. Lama-lama kami memberanikan diri untuk terang-terangan dan akhirnya kami menemukan dukungan dari berbagai kalangan, maka terbentuklah sebuah PCI pada tahun 2005 secara resmi.

PCI Syiria
Yusron

Alhamdulillah PCI NU Syiria berjalan dengan baik, dengan melakukan berbagai pendalaman tentang keilmuan agama. Sedangkan anggota kami sekarang berjumlah sekitar 70 orang dan kondisinya secara perlahan mulai surut dikarenakan anak NU yang dikirimkan ke Syiria sudah mulai terbatas karena masuknya susah luar biasa.

Kami sering melakaukan pertemuan dengan berbagai pimpinan Islam di Syiria dan terjalin baik, terbukti dengan anggota kami yang ditahan setelah kami melakukan loby akhirnya dibebaskan.

Anggota kami mayoritas para mahasiswa dan anggota KBRI. Semestinya kalau kita bisa masuk ke berbagai kalangan, sebenarnya NU di sana itu banyak, dari para TKW Indonesia dan saya yakin para TKW ini adalah orang NU. Namun, karena terbatasnya waktu dan kurangnya komunikasi, akhirnya sampai sekarang anggota PCI NU masih sedikit.

Harapan kami, agar PBNU lebih memperhatikan anggota yang berada di berbagai PCI dan kami mempertanyakan kepada PBNU tentang akan berdirinya Universitas NU yang bertarap Internasional.


PCI NU Pakistan
Aini Aryani
NU di Pakistan baru berumur tiga tahun yang diresmikan oleh KH DR Masyhuri Na`im. Ketua Umum PBNU, DR KH A Hasyim Muzadi sendiri juga pernah berkunjung ke sana. Dan alhamdulillah sampai sekarang PCI NU Pakistan berjalan dengan baik, dari mulai kegiatan agama, diskusi dan seminar lainnya dan pihak kami sering kontak langsung dan mengirimkan berbagai artikel ke NU Online. Kami sempat menerbitkan sebuah buku yang diterbitkan oleh penerbit Pakistan.

Dari anggota pengajian yang ada mayoritas sekitar 60% adalah warga NU.
Dan kami mohon kepada pihak PBNU agar secepatnya mengeluarkan SK Pengurus PCI NU Pakistan yang baru dilantik.

PCI NU AUSTRALIA
Eko Zuhri Ernada

Awalnya PCI NU di Autralia ada di dua tempat, satu di New Zeland dan di Autralia. Sedangkan yang berada di New Zeland sekarang tidak ada kabarnya, karena sering kehilangan kontak dan tidak pernah komunikasi. Maklum, pertemuan antara kami hanya lewat internet saja, sedangkan anggota kami ada sekitara 500 orang. Padahal prospek NU di sana sangat bagus, karena banyaknya para TKW Indonesia yang mayoritas adalah orang NU.

Rencananya, kami akan membuktikan bahwa NU di sana itu ada dengan berbagai kegiatan dan program dari PBNU. Nah, pengenalan itu dengan memakai strategi, pertama kita kenalkan atau daftarkan ke lembaga Negara Australia agar NU menjadi lembaga yang sah dan resmi di sana. Yang kedua, kerja kita harus dengan cara profesional yakni dengan cara transparan terutama di masalah ke uangan dalam berorganisasi. Yang ketiga, kita buktikan di masyarakat luas bahwa NU di Australia itu ada dan terbukti dengan berbagai kegiatannya.

Kami pernah dimintai pendapat tentang kehalalan sebuah makanan produk Australia oleh pemerintah setempat. Hal inilah yang membuktikan bahwa kehadiran NU di sana sangat menyejukkan, karena orang-orang muslim di sana mayoritas dipengaruhi oleh Islam Timur Tengah. Kita pernah dituding oleh kalangan Islam Timur Tengah ini sebagai pembawa aliran bid’ah.

Rencana jangka panjang PCI NU Australia akan mendirikan sebuah Pondok Pesantren, sehingga orang-orang Australia yang mau mendalami agama tidak harus ke Indonesia. Harapan kami agar PBNU pertama, untuk bulan Ramadhan ini bisa memberikan Safari Ramadhan lagi ke Australia, seperti yang tahun sebelumnya. Dulu Prof Dr KH Tolchah Hasan dan Kiai Masykuri pernah melakukan itu.

Kedua, PBNU agar lebih memperhatikan PCI NU di Australia, ibarat anak rantau yang disapa bapaknya “nak bagaimana kabarmu ?” itu saja sudah senangnya bukan main.

PCI NU AMERIKA SERIKAT (AS)
Basri, PHD

Awal terbentuknya PCI NU di Amerika berkat kesadaran dari kami yang notabene dari kalangan asli NU. Sebenarnya cukup banyak warga NU di sana, tapi sepertinya kok gak mau menunjukkan jati dirinya. Setelah beberapa kali kita meggelar diskusi, akhirnya terbentuklah kesepakatan bersama untuk membentuk PCI NU yang dideklarasikan Ulil Abshar Abdallah bersama kawan-kawan.

Alhamdulillah NU di Amerika berjalan dengan baik, walaupun harus dengan gerilia karena memang kondisi di Negara AS itu mayoritaskan non- Islam. Untuk bergerak menjalankan agenda NU itu beratnya minta ampun. Yaa ini mungkin perlu dorongan khusus Kiai.

PCI NU SUDAN
Husein Habibi

Pada awalnya NU di Sudan tidak boleh berdiri, namun berkat kedatangan Kiai Hasyim Muzadi beserta rombongan akhirnya NU berdiri. Pada tahun 2007 PCI NU Sudan dilantik dan sekarang sudah resmi masuk dalam daftar Departemen Agama Sudan. Setelah terdaftar Menteri Agama Sudan sendiri yang menyerahkan SK tersebut. Kami juga sering kami diundang dalam berbagai kegiatan yang ada di kantor kementerian Sudan.

Kegiatan-kegiatan NU di Sudan selain diikuti anggota PCI, kami juga mengumpulkan para TKW Indonesia untuk mengikuti berbagai pengajian-pengajian yang kami selenggarakan bekerjasama dengan kementerian di Sudan.

Yang kedua, kami melakukan kerjasama dalam bidang ekonomi, alhamdulillah kami diberikan kebebasan dalam mengelola berbagai bidang ekonomi yang diserahkan pada kami.

Kami mengharapkan doa dan bimbingan selanjutnya dari PBNU, agar mengirimkan generasi yang betul-betul NU sehingga nantinya gampang untuk berjuang bersama-sama. Karena di Sudan itu yang namanya gerakan PKS itu banyak sekali dan ngerinya lagi, PKS di Sudan itu gerakannya secara terang-terangan (dor to dor) dari wilayah satu ke wilayah lain.

PCI NU MALAYSIA
Muhammad Hilmi

Alhamdulillah NU berjalan dengan baik, dan PCI NU di Malaysia ini berjalan sudah dalam periode yang kedua. Anggota NU di Malaysia mayoritas masyarakat luas dari kalangan mahasiswa dan para TKI yang berjumlah sekitar 3 juta yang resmi sekitar 2 juta dan tidak resmi 1 juta.
Kami tidak mempunyai kartu anggota, akan tetapi setiap kami melakukan kegiatan-kegiatan ke- NU-an banyak yang menghadiri. Kami mempunyai lima ranting yang berada di pelosok desa dan alhamdulillah kami selalu berkoordinasi dengan baik.

Kesulitan kami adalah pertama, untuk melancarkan organisasi NU ini, kami harus meminta ijin karena diberlakukannya undang-undang “bahwa setiap organisasi dari negara lain harus mempunyai ijin”.
Kedua, tidak adanya badan hukum yang resmi, sedangkan badan hukum adalah penting untuk segala bentuk kegiatan yang terkait kepada para anggota NU.

Permohonan kami kepada PBNU agar disambungkan kepada pemerintah Malaysia yang sekarang. Sedangkan kami meminta ijin itu seakan-akan kayak dipersulit oleh pemeritah Malaysia.


PCI NU MESIR

NU di Mesir sudah dibentuk lama, jadi tentang kegiatan di sana sudah beragam dan dinamikanya naik-turun. Alhamdulillah semuanya jalan. Di sana sudah ada Banom-Banom (Badan Otonom) seperti Fatayat, Jamiyah Thoriqoh, Lakpesdam, Pagar Nusa dan lainnya. Hampir semua kegiatan yang dilakukan PBNU, kami mencoba untuk mengikutinya. Bentuk apapun kegiatannya, kita mencoba untuk bisa aktif.

Di Mesir itu sudah ada radionya yang bekerjasama dengan kawan-kawan di Jerman, tapi sayangnya kini dikuasai oleh orang yang bukan NU. Namun demikian saya mencoba dengan link yang ada, penceramahnya melibatkan Banom- Banom yang ada, dan ternyata warna NU-nya ada dan peminatnya juga banyak. Jika seandainya kita bisa membuat radio, yaitu radio NU saya kira akan lebih bagus dan bisa meningkat dari pada sekedar pengajian on line link nya juga bisa kita buat di Indonesia dan kerjasama dengan Negara-negara lain. Jadi selain bisa diakses di radio Mesir, ternyata di Barat juga bisa di akses. Kita sudah bentuk beberapa PCI dan masalah teknologinya agak berat juga.

Tahun lalu , radio tersebut kita manfaatkan untuk kegiatan- kegiatan NU. Kita coba mengadakan dialog NU, kita mengundang nara sumber dan di-on air-kan dan sambutannya luar biasa. Namun setelah itu ada kritik untuk tidak boleh lagi memakai radio tersebut. Padahal bebarapa minggu terakhir, kita mengadakan diskusi meskipun yang hadir tidak terlalu banyak, tapi yang mengikuti di luar itu cukup banyak. Jika kita bisa mengorganisasikan dengan PCI lain termasuk Indonesia, apalagi jika kita punya radio sendiri maka akan lebih bagus lagi.


PCI NU LIBANON

NU di Libanon itu saya sebut komunitas, karena masih di bawah koordinasi NU Syiria. NU di Libanon itu sangat prospektif karena, di Libanon boleh dikata adalah barometer Timur Tengah. Di Libanon ada sekitar 1.000 lebih orang NU, itu terdiri dari pasukan TNI yang bertugas di sana dan NU menjadi kebanggaan mereka ini. Ketika KH Hasyim ke sana mereka lebih suka dibilang TNU dari pada TNI. Dan buktinya mereka minta doa ke Kiai Hasyim. Selain itu, NU di sana juga banyak dari mahasiswa. Alhamdulillah keberadaan NU mendapat respon positif masyarakat lokal. Ada komunitas Asyari di sana yang sangat terkagum kepada NU dan ingin membantu kita.

Kita mendapat bantuan langsung dari pemerintah Libanon. Meski di Libanon masih rawan konflik, toh mereka justru menawarkan beasiswa yang cukup unik. Karena selama ini beasiswa Timur Tengah itu identik dengan Dirosah Islamiah, artinya ilmu-ilmu agama. Namun beasiswa yang ditawarkan Libanon malah disiplin ilmu-ilmu umum, uniknya lagi pendeta pun menawarkan beasiswa kepada orang-orang NU. Kiai Hasyim sudah ketemu pendetanya, dan ingin kerjasama dengan PBNU.

Sedangkan beasiswa umum dari Libanon antara lain meliputi ilmu kesehatan, manajemen, informatika komputer, dan lainnya. Ini nanti menghilangkan kesan bahwa Timur Tengah tidak hanya pintar dalam agama, namun juga cakap dalam ilmu umum. Maka, kita bisa memberi warna yang lain dari lulusan Timur Tengah.
M a s h u d i/Muzakki

Cara Melahirkan ‘Sufi’ Moderen

ESQ menjadi merek Ary Ginanjar dalam mentraining spiritual manusia. Bagaimana bentuk dan model trainingnya, wartawan Risalah NU melaporkannya

Oleh : Mashudi Umar

Penulis bersama Haris Muzakki dari Risalah NU mengikuti pelatihan ESQ (Emotional Spiritual Quotient) yang diadakan oleh Ary Ginanjar di Hotel Pasifik pada tanggal 21-23 Juni 2008 lalu. Penyelenggaraannya sangat mewah untuk ukuran pelatihan. Penulis melihat di antara beberapa peserta dari kalangan eksekutif papan atas, anggota legislatif, Polri, TNI, artis, selebritis, aktivis, dan ormas, bahkan dari luar negeri juga seperti Thailand, Malaysia, ikut jadi peserta. Penulis jadi kaget, ada apa dengan pelatihan ESQ yang pesertanya kalangan elite, orang berduit, dan tempatnya juga di hotel berbintang?

Pada hari pertama, seksi acara -menurut penulis- sangat disiplin mengantarkan dan menanyakan peserta. Lalu penulis bersama Muzakki masuk, di dalam sudah banyak peserta, penulis terlambat tidak sesuai dengan jadwal yang diberikan. Di depan Ary Ginanjar sudah siap menyambut peserta dan memperkenalkan diri beserta pelatih-pelatih yang lain. Dia juga menyambut perwakilan dari NU untuk berdiri memperkenalkan terhadap peserta yang lain. “Mana yang dari NU, silahkan berdiri,” kata Ary Ginanjar. Akhirnya kami yang dari NU semuanya berdiri sambil melambaikan tangan pada peserta yang lain.

Dalam pengantarnya, ia menjelaskan tentang training ESQ, “bahwa pelatihan ini tidak perlu ditulis, semuanya sudah lulus sambil dia ketawa. Saya bukan ustad, bukan dai saya minta maaf terhadap ustad-ustad dari NU dan Muhammadiyah,” kata Ary Ginanjar. Setelah perkenalan selesai, lalu ia memutar dan membacakan ayat-yat suci Al-Quran yang berkaitan dengan kehidupan dan ke-Esaan Tuhan. Ia sendiri membaca dan memberikan penafsiran. Karena di depan sudah disiapkan papan yang sangat lebar sekali. Ketika ia membacakan ayat-ayat Al-Quran tadi baik yang berkaitan dengan kematian, tentang reziki, tentang ke-Esaan Tuhan, semuanya itu dibarengi dengan iringan musik yang menggetarkan badan disamping juga suaranya yang lantang membuat peserta terhipnotis termasuk penulis.
S
elanjutnya ia memberikan beberapa metodelogi terhadap peserta, setelah membacakan ayat-ayat tadi, sebelum acara ditutup diisi dengan permainan, olah raga fisik dan nyanyian kebanggaan ESQ. Lalu Ary Ginanjar juga memperkenalkan ciri khas pelatihan ESQ, misalnya setiap selesai pelatihan dan mau isrirahat dan salat, peserta sesama jenis harus saling salaman dan cium pipi dan juga mengucapkan “pagi” kepada seluruh peserta training. “Jadi setiap peserta kalau ketemu pada peserta yang lain harus mengucapkan pagi, ini mengambil dari ayat Al-Quran yang berbunyi Wa Al-Dhuha, yang diartikan “pagi”.”

Dan dia memperkenalkan juga ciri khas dan karakter pribadi ESQ tentang 7 (tujuh) budi utama: jujur, tanggung jawab, visioner, disiplin, kerjasama, adil, dan peduli, sambil memainkan tangan sesuai dengan petunjuknya. Setiap mau istirahat tujuh budi utama ini selalu dinyanyikan oleh Ary Ginajar dan alumni-alumninya.

Memasuki hari yang kedua, model penyampaian juga tidak jauh berbeda dengan hari pertama, tapi hari kedua penulis melihat seorang Ary Ginanjar benar-benar membuat hipnotis peserta dengan ayat-yat Al-Quran yang dia tafsirkan serta sebab turunnya ayat (asbabul nuzul). Peserta di sini benar-benar dibuat histeris, menangis melihat apa yang disampaikan Ary Ginajar yang diiringi suara musik. Lampu dimatikan, peserta duduk lesehan, dan di depan sudah siap memutar ayat-ayat Al-Quran. Peserta mendengarkan dengan khusyuk, ingat pada dosa, harus istigfar bahkan sebagian ada yang menangis sambil menyebut ”Allahu Akbar”, ”Astagfirullahal Adhim, ampunilah dosa kami.” Ary ginanjar menambah velome suaranya yang lantang, peserta benar-benar terhiptonis oleh metodelogi yang dimainkan. Seakan-akan benar-benar terjadi gambaran tersebut.

Menurut penulis, katakutan peserta karena raungan suara yang diciptakan melalui musik tadi yang ditengahi suara Ary yang lantang. Waktu menangis hanya satu jam. Setelah itu peserta bisa happy lagi, ketawa lagi. Bahkan Ary memainkan tebak-tebakan berhadiah. Di tengah-tengah istirahat ini, penulis sambil menyantap snack yang disediakan oleh panitia berkenalan dengan peserta yang lain yang ternyata dari Yogya. Dia datang dari jauh dengan membayar mahal untuk mengikuti acara ini.

Masuk pada hari ketiga, hari terakhir ternyata suguhannya beda. Penulis disuguhi formulir untuk menanam saham terhadap kantor ESQ. penulis bertanya-tanya lagi dalam hati, pelatihan kok ada sahamnya ini, pelatihan apa ini? Sementara panitia yang lain sibuk mengantarkan formulir kepada peserta yang lain dan yang punyak duit. Penulis yang tidak punya uang langsung memasukkan formulir ke dalam tas diam-diam.

“Kantor ESQ ini berlantai 25 sesuai dengan jumlah nabi,” kata Ary Ginanjar memulai meminta sumbangan dan menggugah kantong peserta. “Kalau kantor ini selesai nanti kita training tidak perlu menyewa hotel lagi, karena sudah ada tempatnya. Dan lantai 25 adalah mushalla, tempatnya orang salat, bertasbih dan istigfar,” kata Ary Ginajar. Sebagian peserta sudah ada yang mengisi formulir itu dan menulis nominalnya. Minimal uang yang disodorkan sebesar Rp 1 juta. “Untuk mahasiswa bisa utang,” kata Ary, mencoba menjelaskan terhadap paserta yang mahasiswa.

Formulir yang sudah diisi, langsung disetorkan kepada panitia. Tapi penulis tidak tahu berapa jumlah semuanya uang yang dikumpulkan dari 900-an orang peserta. “Kalau ikut pelatihan ini berarti dapat petunjuk,” ujar Ary Ginanjar. Menurut hemat penulis mana ada dengan waktu yang sangat singkat sekali orang bisa dapat petunjuk dari Allah, orang bisa menangis, orang bisa sadar apalagi hanya beberapa jam saja. Apalagi yang melatih (maaf) menurut penulis cara menafsirkan Al-Quran sangat instan sekali, tidak memahami Asbabul Nuzul, dan mengartikan Asmaul Husna ambil apa adanya, seperti membaca buku diterjemahan-terjemahan itu.

Dalam teori tradisional, teori pesantren, orang yang mengartikan Al-Quran harus memahami ilmu balaghah, ilmu mantiq, juga nahwu-sharaf sebagai kerangka metodelogi pemaknaan-pemaknaan Al-Quran. Termasuk juga harus memahami azbabul nuzul dan ilmu tafsir.

(Dipublikasikan di Majalah Risalah NU,No.10/Thn II/1429 H)

Mudik, Mempertegas solidaritas Sosial

Oleh: Mashudi Umar*

Lebaran adalah nama lain dari hari raya umat Islam, baik hari raya Idul Fitri maupun hari Raya Idul Adha yang dirayakan setiap tahun atau setiap bulan Syawal setelah sebulan umat Muslim melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Menjelang Idul Fitri, atau akrab disebut lebaran, jutaan orang yang berada di kota-kota mulai berduyun-duyun pulang ke kampung halaman masing-masing. Mudik, itulah istilah yang dipakai untuk menandai fenomena menjelang lebaran tersebut.

Mudik yang berasal dari istilah Betawi ini, dulunya dianggap ungkapan yang memalukan.
Pada tahun 1950-an, anak-anak sekolah dasar di Jakarta selalu merasa malu kalau dikatakan orang udik (hulu), (Kontowijoyo: 1993). Soalnya itu artinya ia diejek sebagai orang desa atau orang yang kampungan. Namun, sekarang, mudik menjadi kebanggaan tersendiri. Terbukti, jutaan saudara kita memadati angkutan umum sampai-sampai pemerintah harus mengadakan perhelatan nasional untuk urusan ini. Sejumlah bus cadangan dioperasionalkan, kapal-kapal perang disulap jadi angkutan umum. Pengertian mudik jarang ditujukan kepada orang kota yang pulang ke kota juga. Mudik seolah sudah menjadi ritus budaya yang begitu mentradisi dalam masyarakat kita. Fenomena mudik berhubungan erat dengan perayaan Idul Fitri atau lebaran yang berpuasa sebulan penuh.

Dari segi ritus budaya, mudik biasanya ditandai dua hal, pertama, mudik menjadi kebutuhan primer tahunan masyarakat urban. Kedua, kendati punya hubungan waktu dengan Idul Fitri yang notabene ritual Islam, mudik juga melibatkan hampir semua lapisan masyarakat (umat), termasuk non-Muslim. Mudik sudah berubah menjadi tradisi budaya yang dipunyai segala kelas sosial dalam masyarakat. Tradisi mudik dijadikan sebagai wahana jembatan nostalgia dengan masa lampau (Kontowijoyo: 1993).

Relasi sosial di perkotaan (tempat mereka mengais rezeki) berbeda 180 derajat dengan solidaritas sosial yang dibangun di pedesaan yang lebih mengedepankan ikatan emosional, moralitas dan kekerabatan. Model solidaritas masyarakat perkotaan cenderung didasarkan pada relasi pekerjaan dan kepentingan, khususnya interes ekonomi. Kompetisi sebagai orang kota membawa kelelahan serta kesumpekan yang luar biasa beratnya. Maka, mudik menjadi ajang melepas kelelahan serta kesumpekan tersebut. Di dalam momen mudik itu, misalnya dilakukan ziarah kubur, di mana di sini relasi dengan masa lampau dicoba dibangun kembali.

Karena itu, bisa dipahami, meski saat perjalanan mudik menemui kesengsaraan, tapi semua itu seolah tak pernah menyurutkan maksud mereka untuk mudik ke kampung asal. Kaum pemudik itu malahan menunggu momentum penting tersebut. Mereka hendak berbagi kegembiraan pada hari perayaan Idul Fitri itu bersama keluarga, saudara, dan kerabat semasa kecil di kampung asal. Spirit itulah yang membuat tradisi mudik tersebut berlangsung sampai sekarang. Karenanya, mudik dan lebaran Idul Fitri lazimnya dijadikan sebagai ajang berbagi kegembiraan antar sesama umat manusia terutama bagi mereka yang mampu dengan mereka yang tidak mampu atau mereka yang tergolong kaya dengan mereka yang miskin sebagai sebuah bentuk perayaan atas kemenangan tersebut.

Lebaran Idul Fitri karena berbarengan dengan kewajiban menunaikan zakat, maka relatif sedikit dimaknai oleh masyarakat sebagai momentum keagamaan atau momentum kesucian untuk berbagi dengan fakir miskin. Lihat misalnya artis, selebritis, pengusaha, legislatif, eksekutif dan orang-orang yang sukses ketika pulang kerumah asal. Mereka berbaur dan berbagi rezeki dengan masyarakat yang tidak mampu. Akan tetapi belakangan ini, momentum suci ini tercederai oleh budaya modern yang mengedepankan penampilan fisik.

Lebaran cenderung dimaknai dan diimplementasikan sebagai ajang “pamer” dan ajang mempertontonkan barang-barang yang serba baru. Maka ketika jelang lebaran datang misalnya, masjid-masjid sudah mulai mengalami kekurangan jama’ah, sebab yang terjadi adalah pergeseran aktivitas masyarakat dari masjid ke tempat pusat-pusat perbelanjaan seperti mal-mal besar, supermaket dan pasar tradisional. Tujuannya tentunya tidak lain dan tidak bukan untuk mengonsumsi barang-barang baru untuk diperagakan di hari lebaran nantinya.
Perilaku yang demikian tentunya tidak salah secara keseluruhan, karena, ketika memang itu menjadi sebuah kebutuhan maka bukanlah masuk dalam sikap yang konsumtivisme, akan tetapi ketika mereka mengkonsumsi barang yang serba baru tersebut bukan berdasarkan logika kebutuhan, maka di situlah praktik konsumtivisme itu terjadi.

Hanya saja, belakangan ini, mudik yang awalnya sesuai dengan tradisi silaturrahmi kerap berubah tujuan. Mudik menjadi ajang pamer harta. Sebagian besar calon pemudik mengakui terus terang, rencananya akan membawa sejumlah harta benda, baik berupa uang ataupun barang (termasuk kendaraan), tatkala mudik. Padahal, sebenarnya, bila diutamakan aspek silaturrahmi yang terkandung dalam makna mudik, ia bisa bermakna positif dalam memperluas rezeki. Sebab, saat silaturrahmi, timbul rasa kasih sayang dan kesamaan visi atau membangun komitmen hidup untuk saling menolong, bahkan lebih dari itu.

Apalagi sebelumnya didahului dengan berpuasa, di mana ia merupakan sarana/ajang melatih diri untuk menahan perilaku yang merusak jalinan persaudaraan semisal menghina, melecehkan, memfitnah dan lainnya. Walhasil, semua pihak dari kelas sosial manapun yang mudik dan akan merayakan lebaran Idul Fitri diharapkan untuk memanfaatkan ajang itu dalam rangka mempererat solidaritas sosial dan tali silaturrahmi kepada saudara, kolega, teman, mitra bisnis ataupun lawan dan antar umat.

Karenanya, kita harus membetulkan niat diri (nawaitu) dan perilaku kita sebelum mudik, sehingga menghasilkan kualitas jalinan persaudaraan sejati. Jagalah hati, jangan dikotori dengan hal-hal negatif misalnya dengan sikap pamer harta, sombong, arogan dan semacamnya, sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an, “janganlah kamu sombong di atas bumi”, (wala tamsyi fi al-ardhi maraha). Semoga.

*Penulis Adalah Pemerhati Sosial Keagamaan & Dewan Redaksi Majalah Risalah PBNU Jakarta


(Telah dipublikasikan di Majalah PEMDA Pamekasan Jawa Timur)

Sabtu, 25 Oktober 2008

Perebutan Wacana di “Republik” NU

Judul Buku: Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati
Penulis: As’ad Said Ali
Pengantar: Dr KH Sahal Mahfudz
Penerbit: LP3ES, Jakarta
Cetakan: I, Juli 2008
Tebal: (xxiv + 264) halaman
Peresensi: Mashudi Umar

Progresivitas pemikiran kalangan muda dan dinamika yang terjadi di kalangan ulama Nahdlatul Ulama (NU) belakangan ini mungkin tidak terbayangkan oleh KH Ahmad Siddiq, saat pertama merumuskan pentingnya kembali ke Khittah 1926. Saat itu, KH Ahmad Siddiq hanya memimpikan para ulama mendidik santrinya tidak hanya menjadi muqallid a’ma (pengikut buta), tetapi untuk menjadi muqallid lebih baik. Harapan itu sekarang sudah terlampaui, tidak hanaya menjadi muqallid yang lebih baik, tetapi merambah lebih jauh, yaitu mengeksplorasi pendekatan manhaji (metodelogis) dalam meneropong berbagai persoalan kontemporer. Kesan jumud dan antikamajuan yang selama ini melekat pada jamiyyah nahdliyyah, dengan sendirinya terhapus oleh dinamika perkembangan NU selama lebih dari dua dekade belakangan ini.

Perkembangan seperti ini tidak dihasilkan secara mudah. Perjuangan gigih KH Achmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada pertengahan dekade 1980-an dalam meletakkan NU, sebagaimana perjuangan KH Hasyim Asy’ari pada 1926, memberi andil penting dalam mempersiapkan perubahan-perubahan yang terjadi sebelumnya. Doktrin Ahlussunnah wal Jamaah yang menjadi napas organisasi dengan sadar, tidak pernah dikesampingkan, malah diperkukuh dengan memberi visi baru. Dan, muatan baru itu bermula dari gagasan sederhana, bagaimana melakukan kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam klasik.

Seperti memahami definisi fikih sebagai, “al-ilmu bi al-ahkam al-syar’iyah al-amaliyah al-muktasab min adillatiha al-tafshiliyyah” (mengetahui hukum syar’i amaliah yang di gali dari petunjuk-petunjuk yang bersifat global), fikih memiliki peluang yang sangat luas untuk berjalan seiring dengan perkembangan zaman.

Karena itu, paradigma fikih sosial harus didasarkan atas keyakinan bahwa fikih harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan dlaruriyah (primer), kebutuhan hajjiyah (sekunder) dan kebutuhan tahsiniyah (terseir). Fikih sosial bukan sekedar alat melihat setiap peristiwa dari kacamata hitam-putih sebagaimana cara pandang fikih yang lazim kita temukan, tetapi fikih sosial juga menjadikan fikih sebagai paradigma pemaknaan sosial.

Gejala kemajuan yang muncul di kalangan muda NU memang semacam konsekuensi yang tidak bisa terhindarkan. Dekade 1980-an adalah awal dari “panen raya” kalangan intelektual di lingkungan NU. Generasi baru yang berpendidikan ganda ini tidak sepenuhnya mampu diserap dalam lingkungan NU yang masih didominasi kalangan ulama tua. Mereka kemudian mencari jalan lain, dengan beraktivitas dalam gerakan mahasiswa, gerakan lembaga swadaya masyarakat dan lainnya. Perkenalan dengan dunia luar pesantren itu ternyata cukup banyak mengubah struktur berpikir kalangan muda NU.

Pergumulan kalangan muda NU dengan gagasan, agenda dan jaringan di luar pesantren dan NU itu, pada akhirnya melahirkan apa yang mereka sebut sebagai gerakan “kultural”. Suatu gerakan yang berbasis pada pengembangan pemikiran dan pemberdayaan masyarakat akar rumput. Dalam kerangka gerakan, agenda aksinya tersusun berdasarkan pemikiran yang lebih konsepsional dalam melakukan pemberdayaan terhadap berbagai masalah mutakhir.

Dalam konteks inilah, lahir gagasan Islam Trasformatif, Islam Liberal, The Wahid Institute, Rahima, Islam Emansipatoris hingga pada gagasan Islam Postradisionalis, dan lain-lain. Dari komunitas kultural itu, lalu muncul tokoh-tokoh muda brilian dan intelektual seperti Abdul Moqsith Ghazali, Rumadi, Ulil Absar Abdallah, Achmad Suaedy, Abdul Mun’im, Zuhairi Misrawi, Imam Aziz, Imdadun Rahmat, Khamami Zada, Marzuki Wahid, dan lain-lain. Ketika gagasan itu semakin matang, dan kritis benturan langsung dengan pemikiran tradisional ulama NU yang sudah terpatri sebelumnya tidak bisa dihindarkan.

Benturan itu terjadi karena sejak awal gerakan kultural merupakan perlawanan “diam-diam” kalangan muda terhadap kecenderungan umum NU saat itu yang sangat tergoda dengan kehidupan politik. Dalam persepsi mereka, Khittah NU 1926 semestinya menghentikan NU dari kecendrungan politik praktis dan mengkonsentrasikan sepenuhnya pada gerakan keagamaan dan kultural.

Namun, impian ini tidak mudah diwujudkan, dunia politik bagaimana pun tetap memesona. Sejumlah aktivis NU mendapat peluang lebih besar pascakeputusan Khittah 1926 dengan berkiprah pada sejumlah partai politik. Sementara, NU sendiri pernah diletakkan Gus Dur sebagai kekuatan semi oposisi pada masa akhir Orde Baru. Puncaknya, pada masa reformasi, Pengurus Besar NU pernah memfasilitasi terbentuknya sebuah partai politik baru dan NU struktural harus bersusah payah membela Gus Dur tatkala menjadi presiden. Jadi, berpolitik memang seakan kegiatan yang tak kenal lelah, baik yang dilakukan “NU politik” maupun—terkadang—NU struktural”, walaupun tentu dengan modes operandi yang berbeda.

Di tengah membuncahnya aktivitas politik itu, institusi NU seringkali menjadi “korban”. Pemilihan kepala daerah, baik Jawa Timur maupun Jawa Tengah, menjadi fakta, semua pihak merebut suara NU. Bahkan, di Jawa Timur, kader NU potensial sama-sama masuk putaran kedua yaitu, Khofifah Indar Parawansa, Ketua Umum (nonaktif) Pengurus Pusat Muslimat NU, Calon Gubernur, dan Saifullah Yusuf, Ketua Umum (nonaktif) Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor, sebagai Calon Wakil Gubernur.

Kecenderungan inilah yang dilawan gerakan kultural. Mereka meletakkan gerakannya sebagai alternatif dari gerakan “NU struktural” maupun “NU politik” yang dianggap mudah membelokkan NU menjadi kekuatan politik.

Jadi, sekarang NU pada dasarnya mempunyai tiga aset penting selain para ulama. Pertama, adalah kalangan terpelajar dan intelektual yang sedang giat menekuni pemikiran keagamaan. Dan, bagaimana menjaga aset ini agar tidak terlepas dan tercerai-berai, apalagi direbut kelompok Islam transnasional, harus tetap menjadikan NU sebagai rumah besar mereka. Kedua adalah kalangan pengusaha dan ketiga adalah politisi yang tersebar di berbagai partai.

Kalimat “inside NU” atau “what’s right with NU” sangat tepat untuk mengapresiasi buku ini. Sebuah buku yang sangat komprehensif dalam membedah jeroan NU, terutama pergolakan pemikiran yang telah dan sedang terjadi di kalangan generasi muda NU. Pemetaan yang brilian, cerdas dan lugas telah dihadirkan As’ad Said Ali, Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang tidak hanya menyoroti dimensi siyasah (politik), tsaqafah (budaya) dan fiqrah (pemikiran), akan tetapi juga dimensi yang sangat mendesak untuk diprioritaskan, yaitu istishadiyah (perekonomian).

Pergumulan anak muda NU dalam berinteraksi dengan neoliberalisme juga terpapar dengan gamplang dalam buku ini. Juga menghadirkan pengamatan cermat tentang perubahan besar yang terjadi pada jantung tradisi NU sebagai buah perubahan di “dunia dalam” dan “dunia luar” yang membawa sintesis kreatif antara tradisi dan inovasi. Sebuah buku penting tentang peta ke-NU-an, ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an.
Peresensi adalah Alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur

(Dipublikasikan di NU Online, www.nu.or.id, tanggal 25/08/08)

“Pangeran Sufi Bertutur”


Judul Buku : Mutiara Agung Pangeran Sufi Al-Junaid Al-Bagdhady
Penulis : KH. Moh. Lukman Hakim
Penerbit : Cahaya Sufi, Jakarta
Cetakan : I, April 2008
Tebal : (xix + 317) halaman
Peresensi : Mashudi Umar*

Tasawuf sesungguhnya bukan sesuatu penyikapan yang pasif atau apatis terhadap kenyataa sosial. sebaliknya seperti di teguhkan oleh Dr. Abu Al-Alaf Afifi dalam studinya tentang taswuf Islam klasik, tasawuf berperan besar dalam mewujudkan sebuah revolusi moral spritual dalam masyarakat. Dan bukankah moral spritual ini merupakan ethical basis atau al-asisayatu-akhlaqiyah bagi suatu formulasi sosial seperti dunia pendidikan? Kaum sufi adalah kelompok garda depan ditengah masyarakatnya. Mereka seringkali memimpin gerakan penyadaran akan adanya penindasan dan penyimpangan sosial.

Selain itu tasawuf juga merupakan metode pendidikan yang membimbing manusia kedalam harmoni dan keseimbangan total. Metode ini bertumpu pada basis keharmonisan dan pada kesatuan dengan totalitas alam. Dengan demikian, perilakunya tampak sebagai manefistasi cinta dan kepuasaan dalam segala hal. Bertasawuf yang benar berarti sebuah pedidikan bagi kecerdasan emosi dan spritual –kini dikenal dengan ESQ-. Intinya adalah belajar untuk tetap mengikuti tuntuntan agama, entah itu berhadapan musibah, keberuntungan, kedengkian orang lain, kaya, miskin, atau dalam kondisi pengendalian diri atau pengembangan potensi diri. Sufi-sufi besar seperti Rabi’ah Al-Adawiyah, Al-Ghazali, Sirri Al-Siqthi, Asad Al-Muhasabi dan Junaid Al-Bagdadi, telah memberikan tauladan kepada umat bagaimana pendidikan yang baik itu. Di antaranya berproses menuju perbaikan diri dan pribadi yang pada gilirannya akan menggapai puncak makrifatullah, yakni sang khaliq sebagai ujung terminal perjalanan manusia dipermukaan bumi ini.

Kata-kata tasawuf makin banyak dikenal orang sejak periode Hasan al Basri, putra kelahiran Madinah tahun 21 H / 642M dan wafat pada tahun 729 M. Pada tahun 37 H, setahun setelah perang Shiffin, ia pindah ke Basrah. Di sini ia memulai karirnya sebagai ulama, seorang zahid yang yang sangat berpengaruh. Para ulama tasawuf berpendapat, Hasan Basrilah orang pertama yang mengajarkan ilmu tasawuf yang melambangkan awal sikap asketik dan mengkritisi pemerintahan yang dzalim, karena telah larut dan basah oleh kehidupan dunia dan kering kerontang pada kehidupan akhirat. Motivasi itu disebabkan kemenangan umat Islam yang gilang gemilang pada tahun 711 M, tanpa diimbangi tempaan batin untuk tetap memelihara sikap kemanusiaan mereka.

Sampai abad pertengahan dalam mekanisme penyebaran Islam, kehidupan tasawuf semakin memuncak dan mengalami kemasyhuran, sehingga bermunculan tokoh-tokoh spektakuler semisal al-Hallaj yang menerima eksekusi pancung di tahun 309 H. Imam al-Ghazali, sebagai tokoh yang dijadikan acuan para sufi moderat. Al- Ummi, Abdul Qadir jailani, Ibnu Arabi, adalah menjadi bukti bahwa dimensi spritual lebih menarik para pelakunya ketimbang ilmu lahir.

Pemahaman sufi yang sesungguhnya menjadi sangat menarik ditengah-tengah komersialisasi komunitas sufi diperkotaan bahkan tidak sega-segan untuk meng”komuditas” terhadap Tuhan, untuk dijadikan bisnis miliyaran khususnya di Jakarta. Penulis menyarankan kepada seluruh masyarakat khususnya masyarakat perkotaan untuk hati-hati terhadap model “bisnis spritual-sufi” dengan topeng training, workshop atau pertemuan yang harus mengganti kontribusi jutaan rupiah hanya untuk mencapai ma’rifatullah atau ketenangan jiwa dengan waktu yang sangat singkat, apalagi pembimbingnya tidak kapabel, tidak alim terhadap profesi tersebut. Carilah guru yang sesungguhnya!

Buku ini dibagi menjadi tiga bab yang berkaitan dengan aktivitas dan ketokohan Junaid Al-Bagdhadi yang dilahirkan di kota Irak. Mutiara Agung Pangeran Sufi menjelaskan beberapa hal diantaranya tentang tauhid, taubat, uzlah, gelombang nafsu, dalam perspektif sufi al-Junaid, dll.
Sementara itu, pada konteks studi-studi orientalis dalam hal ini al-Junaid menempati posisi pemikiran yang senantiasa di anggap “misteri” yang dalam. Berbagai metode dilakukan untuk membuka tirai agar bisa mengulas perkembangan pemikiran kaum sufi dalam lingkaran tasawuf.

Sebenarnya kehidupan al-Junaid di Baghdad tidak semulus ketokohannya. Seringkali ia dikejar dan ditangkap, karena dituduh sebagai pelaku kekufuran dan kezindiqan. Ini juga menimpa al-Hallaj, murid al-Junaid dalam eksekusi kematian dan penyaliban, karena ia telah memperkenalkan publikasi rahasia-rahasia spritual. Apalagi pandangan al-Hallaj yang di salah pahami oleh khalayak seputar wujud rabbany dan wujud insany yang mendorong masyarakat terjerumus dalam pandangan “serba boleh”, yang ini merupakan pandangan kalangan yang mewenangkan segala yang haram dan mengabaikan hukum-hukum syariat melalui metode ketiadaan dan ketidakwujudan mereka kemudian disebut ahlul ibahah.

Di tengah realitas itu, bagaimana al-Junaid mampu mengintegrasikan norma yang berbeda-beda tersebut dalam relevansi tasawuf dan doktrin Islam? Bagaimana ia melepaskan diri yang tidak bisa dilakukan oleh al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Busthami ataupun ahlul ibahah (liberalis kebatinan) seperti Rabah dan Kulaib.

Al-Imam Syekh al-Junaid al-Bagdhadi bagi kalangan umat Islam khususnya warga NU adalah tokoh pemuka, pangeran sekaligus “burung merak” yang indah nan agung dari kalangan mereka. Ia adalah pemimpin kaum sufi di zamannya sekaligus menjadi panutan berabad-abad bagi kekuatan umat Islam seluruh dunia. Ia adalah simbol para wali di zamannya sekaligus pahlawan kaum yang telah menggapai tahap makrifatullah. Ia berguru kepada para ulama dan pakar sufi, sepert Al-Muhasiby, Adz-Dzary, Abu Sa’id Al-Kharraz dan ulama besar yang lain. Ia juga melahirkan murid yang terkenal seperti Asy-Syibli dan al-Hallaj.

Al-Junaid mengatakan, apabila kefana’an wujud hamba yang manunggal menuju wujud yang haq, terkadang menyeret pada istilah hulul dan ittihad. Maka ia membuat paradigma kebenaran bahwa fana tersebut adalah fana dalam Allah melaluinya kembalinya hamba yang manunggal kepada al-baqa’ setelah mengalami al-fana’ dan kembali pada al-khudur setelah mengalami al-ghaibah (hal 137). Tahap ini menurut dia adalah tahap kesadaran, sehingga hamba yang manunggal kembali kepada wujud semula.

Lukman Hakim, tokoh NU yang berprofesi sebagai seorang sufiolog -orang memberikan nama-, karena ia mempunyai komunitas sufi di Jabotabek yang berjumlah satu juta orang tiap paguyuban / tempat, bahkan melebar ke Surabaya dan Malang, pengumpul sekaligus menyimpulkan buku ini dari majalah Sufi yang dia pimpin sendiri, mencoba menguraikan tokoh sufi yaitu Junaid Al-Bagdhadi atas beberapa tutur-kata dengan bahasa yang sangat mudah dimengerti. Buku ini sangat penting untuk dijadikan referensi, baik sebagai pemimpin, jama’ah maupun pelaku sufi itu sendiri karena menambah pengetahuan dan wawasan tentang makna dan aplikasi tasawuf-sufi. Selamat membaca!

(Dipublikasikan di Majalah Risalah NU, No. 10/thn II/1429 H)

Fatimah Binti Khattab; Perempuan Yang Ikut Membesarkan Dunia Islam

Fatimah Binti Khattab Bin Naufal Al-Quraisyi adalah saudara perempuan Al-Faruq Umar Bin Khattab. Ia termasuk wanita angkatan pertama yang berbaiat kepada Rasulullah. Ia memeluk Islam sebelum saudara lelakinya masuk Islam. Tapi ia selalu menyembunyikan keIslamannya dari saudara lakinya yang bengis waktu itu. Ia hidup berkhidmat kepada dakwah Islam, dan dalam berkhidmat dia mengalami banyak peristiwa. Khabab Bin Al-Arat berungkali mengajari Fatimah dan Sa’ad Bin Zaid (suaminya) membaca al-Qur’an. Dengan tekun Khabab memberikan hafal-hafalan ayat-ayat Allah. Ia bacakan, lalu mereka menirukan , hingga kemudioan hafal.

Para pakar menceritakan tentang peristiwa masuk Islamnya Umar Bin Khattab sebagai berikut: Pada suatu hari Umar Bin Khattab pergi dengan menghunus pedang untuk membunuh Rasulullah. Ditengan jalan, ia bertemu dengan seorang laki-laki dari golongan Bani Zahrah, kemudian menanyakan hendak kemana tujuan Umar pergi? Lalu Umar mengatakan bahwa ia bermaksud hendak membunuh Muhammad Bin Abdillah. Mendengar jawaban Umar, lelaki tersebut memperingatkan Umar bahwa Bani Hasyim dan Bani Zahrah akan memberikan pembalasan yang lebih kejam, bila sampai membunuh Muhammad. Lalu lelaki itu mengalihkan pembicaran kepada masalah yang sangat ajaib yang perlu Umar pikirkan.

Lalu Umar menanyakan masalah yang dirasa ajaib itu. Lantas ia menjawab, “Wahai Umar, sebaiknya anda pergi saja menemui saudara perempuanmu dan suaminya. Karena mereka telah meninggalkan agama nenek moyangnya, dan beriman kepada ajaran yang dibawa Muhammad”.

Mendengar kabar tersebut, Umar segera mengubah tujuan, pergi kerumah saudara perempuannya. Setelah sampai dirumah Fatimah ternyata disana ada Khabab Bin Al-Arat. Mengetahui Umar datang, Khabab langsung bersembunyi. Lalu Umar menanyakan suara yang didengarnya dari luar pintu. Fatimah segera mengambil lembaran yang berisi ayat-ayat al-Qur’an, dan menyembunyikan kedalam sakunya. Lalu Fatimah dan suaminya bertanya kepada umar, ”Ya Umar, adakah engkau mendengar sesuatu?” Jawab Umar, ”Demi Tuhan, aku telah mendengar kabar, bahwa kamu berdua telah mengikuti agama Muhammad.” Lantas Umar memukul Sa’ad (adik iparnya). Fatimah segera berdiri menghalangi, tetapi ia malah dipukul juga, hingga terluka dan berdarah mukanya. Spontan Fatimah dan Sa’ad menyampaikan pernyataan dihadapan Umar, bahwa mereka telah masuk Islam serta beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan kepada Umar mereka mempersilahkan untuk berbuat apa saja terhadap diri mereka.

Melihat darah mengalir diwajah adiknya, Umar merasa menyesal, lalu berkata kepada mereka, ”berikan kepadaku lembaran yang kalian baca tadi, agar aku dapat melihat apa yang dibawa Muhammad.” Jawab Fatimah, ” Kami takut engkau berbuat kasar terhadapnya.” Lalu Umar berkata, ” Jangan takut. Aku tidak akan berbuat sesuatu.” Umar pun kembali bersumpah dengan menyebut nama-nama berhala, bahwa ia akan mengembalikan tulisan tersebut setelah dibaca.

Setelah Umar mengucapkan sumpah atas nama berhala, timbullah keinginan dari Fatimah, agar kakaknya masuk Islam. lalu ia berkata, wahai saudarku! Sesungguhnya engkau najis lantaran kesyirikanmu, sedangkan lembaran ini tidak boleh disentuh kecuali orang-orang yang suci. Oleh karena itu mandilah lebih dahulu sebelum engkau menyentuh lembaran ini.” kemudian Umar memenuhi apa yang menjadi perintah adiknya. Ia langsung mandi. Setelah selesai mandi, lalu fatimah memberikan Shahifah kepada Umar. Dan ternyata dalam lembaran itu terdapat tulisan al-Qur’an yang terjemahannya sebagai berikut: ”Thaha. Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut kepada Allah, yakni diturunkan dari Allah yang menciptakan dari bumi dan langit yang tinggi. Yakni Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arsy. kepunyaan-Nyalah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi , semua yang ada diantara keduanya, dan semua yang ada di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia yang lebih tersembunyi. Dialah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia. Dia mempunyai Asmaul Husna (nama-nama yang baik).” (QS. Thaha: 1-8). Setelah selesai membaca teks ayat-ayat al-Qur’an yang berada dalam lembaran yang diberikan oleh Fatimah, lalu Umar berkata, ”alangkah indah dan mulianya kalam ini.”

Mendengar kabar Umar, bahwa lembaran yang dibaca berisikan sesuatu yang indah lagi mulia, Khabab Bin Al-Araq kemudian segera keluar dari persembunyiaannya. Ia bersembunyi karena takut di hajar Umar Bin Khattab. Lalu ia berkata, ”Ya Umar, demi Allah sungguh aku sangat mengharapkan engkau menjadi orang yang diistiwamakan Allah lantaran doa Rasulullah. Sebab kemarin aku telah mendengar beliau berdoa; ” Allahumma Ayyidil Islama Bi Abil Hakam Ibni Hisyam Au Bi Umar Ibnil Khattab; (Ya Allah perkuatlah Islam dengan Abil Hakam Bin Hisyam (Abu Jahal) atau Dengan Umar Bin Khathab.” karena itu, bertakwalah kamu kepada Allah, wahai Umar.” lalu Umar berkata,” Wahai Khabab tunjukkanlah kepadaku dimana Muhammad berada. Aku akan masuk Islam.” Jawab Khabab,”Beliau sedang berada disebuah rumah di dekat sahafa bersama beberapa orang sahabat.”

Umar lalu menyarungkan pedangnya dan pergi menemui Rasulullah. Setelah sampai kepada tempat yang dituju, Umar segera mengetuk pintu, berdirilah seorang sahabat meengintip dari celah-celah pintu. Dan ternyata yang berada diluar adalah Umar Bin Khattab sambil menyandang pedang. Lalu ia kembali kepada Rasulullah dengan perasaan takut, seraya berkata, ”Ya Rasulullah, yang ada diluar adalah Umar Bin Khathab. Ia menyandang pedang.” Lalu Hamzah Bin Abdul Muthallib berkata, persilahkan ia masuk.” bila ia bermaksud baik, maka kita sambut dengan baik. Dan bila dia bermaksud jahat, maka kita bunuh ia dengan pedangnya sendiri.” Lantas Rasulullah bersabda, ” Izinkan Umar masuk.”

Setelah Rasulullah memberikan izin, Umar Bin Khattab segera dipersilahkan masuk dan beliau temui di beranda. Lalu ia memegang tali celana atau selendang, kemudian mengikat erat-erat, seraya berkata, ”Wahai putra al-Khattab, apakah yang mengantarkan dirimu kemari?” Umar menjawab, ya Rasulullah, aku datang untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta semua ajaran yang datang dari sisi Allah.” mendengar jawaban Umar, Rasulullah langsung bertakbir, hingga seluruh penghuni rumah itu (para sahabat) mengetahui, bahwa Umar telah memeluk Islam. kemudian berpencarlah para sahabat, dan mereka merasa bangga setelah Hamzah dan Umar masuk Islam. Mereka tahu, bahwa kedua orang ini akan menjadi pembela dan pelindung Rasulullah dari gangguan dan serangan musuh.

Itulah salah satu kisah masuknya Islam singa padang pasir -orang menyebutnya terhadap Umar Bin Khattab-. Ia tergugah hatinya, lantaran membaca kalam Ilahi, berkat bimbingan adik kandungnya Fatimah bin Khattab. Ia tidak malu-malu berlutut di hadapan Rasulullah menyatakan keIslamannya. Kalau dulu pedangnya selalu terhunus untuk mengahmpiri leher pendukung-pendukung Muhammad, kini terhunus untuk memangal kepada setiap orang yang berani mengahalangi dakwah Islam. Karena itu, ia mendapat gelar al-Faruq (pemisah yang hak dan yang batil).

Fatimah Binti Khattab termasuk wanita yang dikarunia usia panjang. Ia masih berkesempatan menyaksikan kakak kandungnya menjadi khalifah yang menggantikan Abu Bakar Shidiq. Fatimah termasuk salah seorang diantara sepuluh orang yang mula-mula masuk Islam serta menganjurkan kaum wanita Quraisy untuk mengikuti jejak kakaknya. Sampai akhirnya banyak wanita dan laki-laki Quraisy yang masuk Islam karenanya. Fatimah juga seorang sastrawati yang andal, cerdas dan sangat mencintai kebajikan. Ia telah berhasil meluluhkan kakak kandungnya yang keras bagai batu karang, yang atas bimbingannya kemudian menyatakan masuk Islam. Wallahu A’lam Bi As-Shawab.
Mashudi Umar

(Dipublikasikan di Majalah Risalah NU, No.10/thn II/1429 H)

Kiai As'ad Syamsul Arifin; Inspirator Asas Pancasila

As’ad kecil lahir pada tahun 1897 M di sebuah perkampungan Syi’ib Ali dekat Masjidil Haram Mekah. Setalah ia besar, lalu diboyong ke tanah air oleh sang ayah Raden Ibrahim atau dikenal dengan Kiai Syamsul Arifin. Di Indonesia, ia tumbuh menjadi ulama besar yang sangat disegani di kancah pertarungan ideologi nasional yang cukup mewarnai kemudian dikenal dengan nama KHR. As’ad Syamsul Arifin.
***
Masih segar dalam ingatan warga NU -waktu itu-, ketika mulai ramai perbincangan mengenai konflik MI-NU dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan membaranya api membicarakan soal rencana pemerintah memberlakukan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi sosial politik maupun kemasyarakatan, tiba-tiba di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo berkumpul ratusan ulama NU untuk mengadakan Musyawarah Nasional (Munas). Ini terjadi pada tanggal 18-21 Desember 1983.

Uniknya, di saat semua ormas Islam banyak menolak asas Pancasila, Munas tersebut justru menerimanya dan menganggapnya bertentangan dengan akidah Islam. Munas juga memutuskan mengembalikan NU ke garis dan landasan perjuangan asalnya, yang kemudian pupoler dengan sebutan kembali ke Khittah 1926. Semua peran itu tidak lepas dari ide brilian Kiai As’ad dalam memulihkan keutuhan NU yang kala itu tercabik-cabik oleh banyak kepentingan.

Adapun rumusan Khittah 1926 hasil Munas Situbondo 1983, pertama, mengembalikan aktivitas NU dari bidang politik ke bidang asalnya, yakni bidang dakwah, pendidikan dan sosial. Terlalu lama NU berkecimpung didunia politik praktis (sejak 1955-1982), hingga garapan pokoknya terbengkalai.

Kedua, menyerahkan sepenuhnya kepada warga NU dalam menyalurkan aspirasi politiknya, apakah ke golkar, PPP maupun PDI –waktu itu- yang memang dipandang baik dan tidak bertentangan dengan Islam.

Ketiga, membenahi organisasi, setelah terperangkat dalam kemelut intern sesuai Munas Alim Ulama di Kali Urang, Yogyakarta tahun 1981, yang melahirkan dua kubu yaitu Cipete dan Situbondo. Pembenahan bidang ini kemudian terbukti dengan terjadinya rekonsiliasi 10 September tahun 1984 di kediaman KH. Hasyim Latif, Sepanjang, Sidoarjo.
Faedah kembalinya NU ke Khittah 1926, disamping rumusan-rumusan di atas, juga mengangkat peran ulama dalam lembaga, seperti Mustasyar dan Syuri’ah, sebagai lembaga tertinggi dalam kepemimpinan NU.

Kiai As’ad yang pada sidang pleno Munas memberikan pengarahan yang dibacakan KH. Imran Rosyadi, sebagai berikut: “NU tanpa ulama adalah bukan NU lagi atau NU tanpa mayoritas ulama dalam kepemimpinan tertingginya adalah bukan kepemimpinan NU lagi”.

Sebenarnya inti dari pengarahan Kiai As’ad itu terangkum dalam keputusan Muktamar NU ke 27 sebagai berikut: “Pada dasarnya NU adalah Jam’iyah Diniyah yang membawa faham keagamaan, maka ulama sebagai mata rantai pembawa faham ahlussunnah wal jamaah, selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbing utama jalannya organisasi”. Keputusan-keputusan brilian dan fundamental ditingkat NU semacam itu, muncul dari Pesantren Sukorejo -orang menyebutnya- yang diasuh oleh Kiai As’ad.

Khittah NU itu dirumuskan sebagai landasan berfikir, bersikap dan bertingkah laku bagi warga NU di semua jenjang dan dalam kegiatan organisasi serta setiap dalam pengambilan keputusan. Landasan tersebut diambil dari intisari cita-cita dasar berdirinya NU, yakni sebagai dasar berkhidmat yang semata-mata dilandasi oleh niat beribadah kepada Allah SWT. Walaupun demikian, Kiai As’ad tidak pernah menduduki jabatan formal di NU. Ia hanya jadi Mustasyar PBNU setelah jadi tuan rumah Munas Alim Ulama dan Muktamar NU yang ke 27 yang bertempat di pesantrennya.

Dalam konteks ke-NU-an, Kiai As’ad merupakan satu-satunya orang yang ditunjuk oleh muktamar NU ke-27 untuk menyusun ahl al-halli wa al-aqdi yang mempunyai otoritas penuh untuk selanjutnya membentuk kepengurusan PBNU setelah NU kembali ke khittah 26, dimana Abdurrahman Wahid menjabat ketua umum PBNU pertama kalinya bersanding dengan KH. Achmad Siddiq sebagai Rais Am PBNU. Ia juga bersama ulama sepuh seperti KH. Ali maksum, KH. Mahrus ali, dan KH. Achmad Siddiq-dikenal sebagai andalan untuk melerai kemelut yang melilit tubuh NU.

Akan tetapi pada mukamar NU ke-28 di Krapyak, Yogyakarta, ketidakharmonisan Kiai As’ad dengan Gus Dur berlangsung terbuka. Ini tercermin dari penyataan Kiai As’ad begitu muktamar selesai. Ia dengan jantan menyatakan ”mufaraqah” terhadap kepemimpinan Gus Dur. Ibarat imam salat, Gus Dur di mata Kiai As’ad sudah batal. Karena itu, tak perlu bermakmum kepadanya, mufaraqah. Tapi, Gus Dur meresponnya dengan ringan. “Mungkin beliau terbawa oleh orang-orang yang melaporkan salah. Lagi pula, wajar saja orang tua marah pada anaknya. Belum tentu laporan orang-orang itu benar,” ujar Gus Dur. Agaknya ucapan Gus Dur itulah yang lebih mengungkap masalah yang sebenarnya. Dan sampai Kiai As’ad wafat Gus Dur belum sempat bertemu dengannya. Sehingga yang tersisa hingga sekarang adalah mengapa waktu itu Gus Dur tidak segera menemui Kiai As’ad? Atau kenapa tidak ada pihak yang berinisiatif mempertemukan keduanya?

Asas Pancasila
Ketika sebagian besar tokoh-tokoh ormas masih sibuk membicarakan rencana pemberlakuan pancasila sebagai satu-satunya asas, Kiai As’ad sudah mengatongi jawabannya. Selain beliau ingin mengembalikan NU ke Khittah asalnya, juga tak mau ketinggalan momentum strategis pada Munas Alim Ulama 1983 itu sebagai ajang perdebatan perihal penerimaan asas tunggal Pancasila.

Memang sebagai organisasi keagamaan (Islam), segala langkah dan gerakannya selalu didasarkan pada kaidah agama. Disisi lain, NU sebagai organisasi kemasyarakatan (sosial) di dalam kehidupan bernegara yang berdasarkan Pancasila. Menerima Pancasila sebagai asas organisasi bukan hanya menggunakan kaidah agama saja, melainkan juga dengan pertimbangan; diantaranya; pertama, bahwa pancasila dirumuskan oleh para tokoh kemerdekaan, termasuk diantaranya KH. A. Wahid Hasyim -tokoh NU.

Kedua, bahwa sila-sila dari Pancasila, terutama sila pertama mencerminkan tauhid, menurut pengertian Islam dan tidak bertentangan dengan agama Islam. Ketiga, bahwa menjaga keutuhan dan kemurnian penafsiran pancasila dari penafsiran yang salah adalah perlu.

Sungguh pun dasar pikiran penerimaan asas Pancasila itu tidak digarap sendiri oleh Kiai As’ad, tapi oleh para tokoh NU -terutama KH. Achmad Siddiq dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Diakui oleh semua tokoh-tokoh NU bahwa peran dan pengaruh Kiai As’ad cukup memberikan warna dalam pencetusan ide brilian itu.

Tidak hanya itu, Munas juga mengeluarkan deklarasi tentang hubungan Pancasila dengan Islam dari sudut sejarah perumusan dan penyusunan sila-sila serta kandungannya. Deklarasi itu dicetuskan di Sukorejo pada 21 Desember 1983. Dan siapa pun tentu masih ingat bahwa Kiai As’ad lah yang pertama kali yang mengemukakan, sila pertama pancasila adalah cerminan dari ajaran tauhid dalam Islam. Bahkan pikiran Kiai As’ad itu dikemukakan langsung kepada Presiden Sueharto, ketika beliau menghadap dalam keperluan perubahan buku PMP.
Ketika sejumlah tokoh Islam mengutip argumen normatif atas penolakannya terhadap Pancasila, dengan tegas Kiai As’ad mengatakan bahwa secara substantif Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai Al-Quran dan al-Sunnah. Walaupun tidak eksplisit kata Al-Quran dan al-Sunnah tidak tercantum dalam sila-sila Pancasila, namun ajaran-ajaran fundamental Islam telah terpatri disana.

“Pada tahun 1983, kalau Kiai As’ad tidak merintis jalan bagi NU untuk mengakui asas Pancasila terus terang saja, tidak pernah ada asas Pancasila. Saya tahu persis masalah ini dan saya ikut jadi sekretaris tim penerimaan asas pancasila,” kata Gus Dur bersaksi dalam buku Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat.

Kiai As’ad telah mengambil peran strategis, ketika para ulama resah gelisah menghadapi problem-problem keumatan dan mereka berkeinginan untuk berhimpun dalam suatu organisasi tertentu, lalu berdirilah NU. Akan tetapi setelah organisasi NU berhasil terbentuk, nama Kiai As’ad sudah tak terdengar lagi. Hampir 20 tahun kemudian, barulah namanya muncul kembali,
ketika mewakili NU menjadi anggota parlemen melalui pemilu 1955.

Lebih seperempat abad kemudian, pertengahan 1982, sosoknya kembali muncul ke publik, yakni di saat NU berada di ambang kehancuran. Kali ini pun hanya sekejap tampil dipentas. Tak lebih dari lima tahun kemudian, karena situasi sudah normal, namanya kembali tenggelam. Penerimaan NU atas Pancasila sebagai satu-satunya asas sebelum ditetapkannya UU keormasan yang dikukuhkan oleh Munas NU di Pesantren Sukorejo, pasti tidak bisa dipisahkan dari pengaruh Kiai As’ad. Bahkan tekad NU untuk kembali ke khittah 26 agaknya tidak luput dari peran yang dimainkannya bersama kiai-kiai yang lain.

Di atas semua itu, apapun kelemahannya, kita harus mengakui bahwa Kiai As’ad telah menorehkan konstribusinya bagi kejayaan Nahdlatul Ulama, Islam dan Indonesia. Kalau kita mengikuti teori eletisme historis yang berpandangan bahwa alur dan warna sejarah itu sesungguhnya dikontruksi dan dikendalikan oleh segelintir aktor, maka Kiai As’ad adalah aktor sejarah yang berperan dalam menggerakkan dan mengendalikan perilaku ribuan umat manusia, terutama di daerah Situbondo, Jawa Timur, sebagai daerah tempat perjuangannya dan kawasan sekitarnya untuk tetap tegak pada acuan-acuan moral dan kemanusiaan. Selanjutnya siapa yang akan menyusul menjadi As’ad-As’ad muda yang lebih brilian dan agresif?
Mashudi Umar

(Dipublikasikan di Majalah Risalah NU, No. 10/Thn II/1429 H)

"Diskursus Pemikiran Antargolongan"


Judul Buku: Debat Khilafiyah, dari Tawasul hingga Piagam Jakarta
Penulis: Mukhlas As-Syarkani Al-Falahi
Penerbit: LTMI NU, Jakarta
Cetakan: 1, Agustus 2008
Tebal: (VI + 211) halaman
Peresensi: Mashudi Umar

Dalam perjalanan sejarahnya, NU selalu memberikan kontribusi yang besar kepada negara dan agama. Tidak saja di medan perjuangan fisik dan politik NU berperan, namun juga tidak kalah penting di medan tegaknya Islam rahmatan lil ’alamin, yang menjadi isu penting pada International Conference of Islamic Scholars (ICIS) ke-3 awal Agustus lalu, dengan cara melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah sampai ke dunia internasional, sehingga di bidang budaya dan amaliah pun NU tetap toleran.

Buku Debat Khilafiyah, dari Tawasul hingga Piagam Jakarta, sangat ”menggelitik” warga NU. Mereka yang pada Orde Baru diserang, dipojokkan, dipinggirkan, bahkan dalil-dalil amalannya yang merupakan aktivitas sehari-hari selalu diperdebatkan. Bahkan, masjid-masjid yang dibangun dengan jerih payah dan dana dari merogeh kocek kantung pribadi para warga nahdliyin pun direbut beberapa oknum aliran-aliran baru “Islamisme”.

Tidak tanggung-tanggung untuk meresahkan kaum muslimin, terutama warga NU, muncul buku karya Mahrus Ali berjudul, Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik. Amalan warga nahdliyin dianggap perbuatan syirik, menyesatkan dan kufur.

Semua peristiwa itu direkam apik oleh penulis Mukhlas As-Syarkani Al-Falahi, penulis buku keagamaan yang paling produktif di Malaysia. Dia juga lebih mendetil mengulas bagaimana tata ibadah umat Islam di Indoensia. Dia bisa membandingkan secara faktual. Isinya mengenai yang sedang hangat diperdebatkan di tingkat masyarakat, baik kelas bawah, menengah, atas. Khususnya perdebatan amalan-amalan yang dilakukan warga NU.

Perdebatan furu’iyah yang terjadi pada warga NU menjadi menu utama dalam pembahasan buku ini. Misal, soal amalan tawasul yang telah diamalkan sejak zaman Nabi Muhammad, kemudian dilanjutkan para Sahabatnya, tabiin, para ulama mazhab dan sampailah pada zaman sekarang ini, kini mulai dipersoalkan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai pemberantas TBC (takhayyul, bid’ah, churafat).

Belakangan, gerakan yang menyebut dirinya pemberantas TBC itu juga diperkuat kelompok yang menamakan gerakan Salafi. Gerakan Salafi dan gerakan anti-TBC ke mana-mana, dalam berceramah, hanya khusus menghabisi amalan-amalan ibadah masyarakat dengan tuduhan bid’ah, khurafat dan sesat.

Banyak orang yang salah dalam menyikapi permasalahan berstatus ”khilafiyah”. Banyak orang yang tatkala mengahadapi khilafiyah, memilih sikap tidak mau mencari pendapat yang benar. Ia menetapkan keputusan untuk tidak mau mempelajari yang sebenarnya. Sehingga bersikap acuh, kurang menghargai terhadap pendapat orang lain.

Tidak semua khilafiyah itu bisa diberikan toleransi dan bisa dimufakati. Kita hanya wajib memberi toleransi dan saling menghargai pendapat yang ada pada khilafiyah yang mu’tabar (yang menjadi perhatian serius yang sedang diperlukan solusinya dalam kehidupan sehari-hari). Jika pada semua khilafiyah kita memberikan toleransi, maka sungguh kacau agama ini. Misal, salat wajib lima waktu, kemudian ada yang mengatakan tidak wajib. Ini yang tidak ada toleransinya, bahwa salat itu wajib bagi seluruh umat Islam.

Debat khilafiyah sesungguhnya adalah belajar demokrasi untuk menghargai pendapat orang lain, bukan berdasar pada rasa benci, ingin menyindir atau mengumbar hawa nafsu. Jika harus dengan cara diskusi, maka lakukan diskusi dengan cara yang baik, santun dan menghargai pendapat orang lain, sebagaimana yang dikatakan Imam Abu Hanifah, qauluna shahihun yakhtamilu al- khata’, wa qauluhum al-khatha’ yahtamilu al-shahih (pendapat saya bisa benar, bisa salah, dan pendapat kamu bisa salah, bisa benar).

Buku ini, secara tidak langsung, juga memperkuat nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah dalam perspektif amalan sehari-hari warga NU yang sudah jadi pegangan, di antaranya, ziarah kubur, jumlah rakaat tarawih, talqin, bid’ah, perayaan Maulid Nabi, yasinan, tradisi haul, istighasah, dan lain-lain dengan metodologi debat khilafiyah antaraliran yang berbeda.

Buku ini juga lucu, karena membuat Anda akan tertawa, semakin renyah untuk ditertawakan. Maksudnya bukan ditertawakan dalam arti dilecehkan, tetapi tertawa karena ada faktor lucu. Juga diiringi perdebatan pengetahuan yang berbeda, tapi dengan cara homuris, mengungkapkan referensi dengan dalil masing-masing kelompok dan kadang-kadang tegang. Cara pengungkapannya pun gagah berani, tanpa tedeng aling-aling. Semua diungkap secara jelas, jernih, dan memikat. Fakta yang benar-benar terjadi di tengah realitas kemajemukan kehidupan kita, khususnya umat Islam.

Sesungguhnya, amalan-amalan zikir dan salawat yang sudah mengakar dalam tradisi NU, karena memang memiliki dasar dan argumentasi yang kuat sesuai dalil-dalil yang ada, juga tidak gampang terkecoh dan terprovokasi oleh tulisan-tulisan yang menyudutkan praktik/amaliah yang selama ini dilakukan kalangan nahdliyin sebagai mayoritas umat Islam di Indonesia.

Ada orang bilang, tanpa perdebatan, maka kehidupan tidak akan dinamis. Ada kalanya pula perdebatanlah yang mengawali sebuah peperangan. Sungguh mendebarkan.

Peresensi adalah Pegiat Buku, Alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur

(Dipublikasikan di http://www.nu.or.id/, tanggal 13-10-2008)

Berpuasa Secara Kualitatif, Bagaimana?

MASHUDI UMAR
Penulis, Dewan Redaksi Majalah Risalah PBNU Jakarta

Pengertian ibadah puasa secara fiqih adalah menahan (imsak) untuk tidak melampiaskan keinginan nafsu (makan, minum dan bersetubuh) sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Sedangkan secara psikologis, puasa adalah upaya untuk menahan dari perbuatan mazmumah (tercela) seperti mengumpat, marah, dendam, hasud, sombong berlaku zalim dan sebagainya. Dengan demikian, maka puasa merupakan proses memaksimalkan pengendalian atau controlling dalam setiap aktifitas manusia.

Sementara controlling dari segi manajemen mempunyai peran yang sangat urgen dalam usaha mencapai tujuan sebuah organisasi. Eksistensi manusia di muka bumi ini memerlukan kontrol diri, agar sikap pemikiran dan tingkalakunya tidak keluar dari garis ilahiah dan garis insaniah. Dengan kata lain ibadah yang dilakukan oleh manusia mengekspresi ketaatan kepada Ilahi dan empati yang dalam terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Maka, ibadah puasa merupakan proses untuk membangun ?hablum minallah dan hablum minannas?

Dalam dimensi ilahiah (ta'abbudi) ibadah puasa tercermin ketika manusia bersedia untuk tidak makan, minum dan bersetubuh di siang hari dengan penuh keikhlasan. Karena rasa ihlas itulah Allah memberi perhatian yang khusus terhadap ibadah puasa. Sementara, kualitas dan pahala ibadah puasa dikaitkan dengan sejauh mana hubungannya dengan sesama manusia. Maka di sini kemudian ada semacam kredo: jika seseorang berpuasa kemudian tidak diimbangi dengan kepedulian dan empati kepada persoalan kemanusiaan, maka akan merusak pahala ibadah puasa itu sendiri.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan ada seorang wanita yang melakukan ibadah puasa, namun begitu tengah hari perutnya sakit dan kemudian muntah darah, daging busuk dan kotoran lain dari perutnya. Peristiwa ini kemudiaan dilaporkan kepada Rasul, ternyata wanita itu berpuasa. Namun puasanya wanita ini hanya sebatas fisik terhadap anggota badannya saja, sementara tabiatnya yang suka menyakiti orang lain dan mencaci terhadap sesama tetap dilakukan padahal dia berpuasa. Karena kasus ini, kemudian keluar Hadits yang berbunyi: ?Kam min shoimin laisa lahu minsiyamihi illal atshi wal-jui, Artinya: banyak orang yang berpuasa tetapi mereka tidak mendapat pahala (hikmah) dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.

Kisah di atas mengandung pesan bahwa puasa mengandung dimensi ilahiah dan insaniah. Edwar Mortimer dalam bukunya Islam & Power menyimpulkan bahwa Islam pada hakikatnya lebih banyak memfokuskan pada dimensi kehidupan manusia (social), ketimbang dimensi ritual, seperti ibadah puasa yang identik dengan ritual (ta'bbudi) ternyata di dalamnya tersirat dimensi sosial yang amat besar, sehingga pahala puasa dikaitkan dengan kesolehan sosial.

Namun dalam realitas kehidupan sehari-hari nilai sosial dimensi ibadah, ternyata kurang mendapat apresiasi yang sewajarnya dari umat Islam. Yang terjadi malah sebaliknya, di kalangan masyarakat kita banyak orang yang mampu mengekspresikan dimensi ritualnya, namun mengabaikan dimensi sosial. Maka yang terjadi, meskipun puasa telah meluas dilakukan di masyarakat, tetapi efek positif khususnya dimensi sosial dari puasa belum memberi kontribusi yang besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Fenomena ini dapat kita lihat misalnya, adanya penyimpangan yang masih tumbuh subur di kalangan masyarakat kita. Mereka berpuasa, tetapi dalam waktu bersamaan melakukan pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, melakukan penindasan, melakukan kezaliman ekonomi secara sadar. Mandat dan amanah yang diberikan belum dimaksimalkan untuk kemaslahatan rakyat, fasilitas yang disediakan yang seharusnya digunakan melayani dan membangun akses masyarakat, justru digunakan untuk mempersulit dengan aturan birokrasi yang membebani masyarakat.

Selama ini terlihat para penguasa dan pemimpin bangsa ini dari pusat sampai daerah belum terlihat ada kesungguhan secara maksimal untuk membuat kebijakan yang memberi maslahah secara umum. Namun sebaliknya, hanya digunakan untuk membangun kekuatan dirinya dan kroninya. Sekarang ini, kita dapat menyaksikan pada saat para petani menjerit karena tingginya cost produksi, justru pada saat panen mereka harus berhadapan dengan kondisi pasar yang mengancam mereka. Harga gabah anjlok dan tidak menguntungkan petani yang diakibatkan dari kebijakan pemerintah tentang impor beras. Efek domino selanjutnya adalah terus meningginya angka kemiskinan dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan. Pada waktu yang sama kualitas kesehatan dan pendidikan bangsa kita dari waktu ke waktu cenderung mengalami penurunan.

Begitu juga orang-orang kaya di negeri ini belum memperlihatkan kepedulian mengeluarkan zakat dan sedekah secara maksimal, padahal potensi zakat di negeri ini mencapai triliunan rupiah. Namun realitas yang terjadi sebaliknya, yaitu kemampuan dan kekayaan justru digunakan untuk pamer kekayaan. Fenomena ini dapat kita saksikan dengan menjamurnya mobil mewah seiring dengan menjamurnya pengemis dan anak jalanan, pengamen di jalan raya di kota-kota besar di negeri ini.

Anomali sosial ini juga bisa kita lihat pada misalnya menjamurnya rumah dan apartemen mewah dan pada saat yang sama diiringi oleh menjamurnya gubuk-gubuk liar di pinggir-pinggir sungai yang kumuh dan tempat?tempat pemukiman di kawasan yang tidak sehat serta membahayakan keselamatan jiwa. Fakta ini memperjelas bahwa jurang pemisah antara kaya dan miskin begitu dalam di negeri ini. Sebenarnya penguasalah yang seharusnya paling bertanggungjawab membuat kebijakan untuk mempersempit jarak antara si kaya dan miskin, tetapi kenyataannya kebijakan yang ada, justru semakin memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin.

Melihat fenomena ini sepertinya memperkuat hipotesa bahwa ibadah puasa belum memberi dampak positif terhadap kehidupan bangsa ini. Ini karena, ibadah puasa yang kita amalkan belum tercermin dalam dimensi sosial. Puasa akhirnya hanya menjadi semacam seremonial ritual yang kehilangan makna esensi ruhaniah, Ilahiah dan insaniahnya. Dus, dengan demikian puasa semacam ini belum dapat memberi dampak positif terhadap sikap, pemikiran, mental dan komitmen para pemimpin, penguasa dan komponen bangsa ini dalam upaya memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara secara bersama-sama. Dengan kata lain, idealnya puasa dapat membentuk insan yang bertakwa dan kepribadian yang baik, terutama para pemimpin dan elit bangsa ini.

Maka hadirnya Ramadhan merupakan momentum dan kesempatan baik membangun kesadaran memperbaiki kondisi bangsa, yang dapat dimulai dengan memperbaiki kualitas ibadah puasa. Sudah barang tentu adalah ibadah puasa yang mampu mengekspresikan dimensi ilahiah (ritual) dan insaniah (social) secara bersamaan. Ibadah puasa yang seperti inilah yang memberi dampak positif terhadap perbaikan bangsa dan akan mendapat rahmat, ampunan dan dibebaskan dari api neraka.

Jika waktu sebulan ini oleh para penguasa, pemimpin dan segenap komponen bangsa dapat melakukan puasa secara kualitatif sehingga para penguasa memperlihatkan kebijakan yang memihak kepada rakyat, bertekad menegakkan keadilan dan memberi palayanan kepada masyarakat secara tulus dan ikhlas. Kemudian orang-orang kaya sadar mengeluarkan zakat dan ini akan menjadi tradisi dan kultur yang terus meningkat. Maka, di masa mendatang, insya Allah kondisi kehidupan bangsa dan negara akan berangsur-angsur membaik. Tentu seiring dengan membaiknya kualitas ibadah puasa kita. Amin.

(telah dipublikasikan di Duta Masyarakat, Kamis 04-09-08)