Sabtu, 09 Mei 2009

Membincang Ayat-Ayat Pluralisme Agama




Judul Buku : Argumen Pluralisme Agama;
Membagun Toleransi Berbasis Al-Qur’an
Penulis : Abd. Moqsith Ghazali
Penerbit : KataKita, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : xi + 424 halaman
Peresensi : Mashudi Umar*

Perkembangan pluralisme agama di zaman modern ini tidak berjalan mulus, baik di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Konflik, kekerasan dan perang atas dasar kebencian yang diwarnai sentimen agama begitu tampak. Misalnya, konflik Katolik dan Islam di Filipina, konflik Pelestina dan Israel, Hindu versus Islam di India, juga konflik Hindu, Islam dan Budhisme di Srilangka, atau konflik antara Islam Sunni dan Islam Syi’ah di Pakistan dan lain sebagainya.
Sementara beberapa fakta domestik yang terjadi di Indonesia dapat kita lihat beberapa tahun ini. Misalnya, aksi teror terhadap kaum Ahmadiyah yang dianggap telah sesat dari agama Islam yang lurus dan kasus AKKB yang bentrok dengan Front Pembala Islam (FPI) dan lain-lain. Kekerasan demi kekerasan ini selalu muncul dikala umat yang menolak pluralisme agama merasa terancam. Kasus-kasus ketegangan dan konflik bernuansa agama di Indonesia seringkali melibatkan negara beserta lembaga-lembaga agama (baca: MUI) seringkali diskriminatif dalam mensikapi pluralisme agama.
Dalam konteks Indonesia, pluralisme dimaknai sebagai kemajemukan, keberagaman dan kebhinekaan. Keberagaman bukan hanya sebagai sebuah realitas sosial (pluralitas), melainkan juga sebagai gagasan dan ide-ide segar. Kebhinekaan sudah berlangsung berabad-abad, jauh sebelum negara ini terbentuk dan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 bahwa, ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Atas dasar undang-undang ini, semua warga negara dengan beragam identitas kultural, suku, jenis, kelamin, agama, wajib dilindungi oleh negara. Ini juga berarti negara tidak boleh mendiskriminasi warganya dengan alasan apa pun. Pemerintah dan semua warga negara berkewajiban menegakkan konstitusi tersebut.
Akan tetapi bunyi undang-undang tersebut kurang membumi ditingkat masyarakat, sehingga dalam hubungan antar-umat beragama, trauma sejarah dan hambatan psikologis masih berkembang di kalangan tokoh dan umat beragama sendiri. Peristiwa-peristiwa yang berbau SARA yang terjadi selama ini, atau peristiwa-peristiwa lokal lain yang menyerang kepada penganut yang berbeda pamahaman, dimana agama menjadi isu sentral dan senjata utama untuk membenarkan tindakannya.
Ajaran-ajaran dasar agama yang memuliakan perbedaan di satu sisi dan persamaan di sisi yang lain telah tertimbun oleh “kerikil-kerikil” politik dan kepentingan yang dibalut dengan penafsiran yang eksklusif. Penafsiran seseorang (self) atau kelompok tertentu yang bertekad meruntuhkan segala yang lain (the other) telah terbukti menimbulkan keruwetan relasi antarumat.
Salah satu hambatan yang sering kemudian secara sengaja atau tidak sengaja menjadi konflik ideologis dan memiliki dampak politik adalah masih berkembangnya pola pemahaman keagamaan yang bersifat harfiyah, tekstual, dan parsial dalam melihat eksistensi agama-agama lain.
Adalah sangat penting untuk melihat generalitas dan sekaligus partikularitas ayat-ayat Al-Qur’an secara seimbang. Salah satu persoalan krusial yang di dalamnya terjadi polemik penafsiran yang tampaknya belum selesai adalah bagaimana Al-Qur’an berbicara tentang pluralisme agama. Al-Qur’an diyakini tidak mengandung kontradiksi internal sama sekali, karena kalau hal ini terjadi, maka berarti hilang makna keabadian fungsi dan orisinalitas Al-Qur’an.
Sekelompok ayat secara jelas mengkonfirmasi keberadaan agama-agama monoteistik terdahulu, menegaskan bahwa risalah Nabi Muhammad adalah kelanjutan dari risalah nabi-nabi terdahulu. Memerintahkan orang-orang beriman untuk tidak diskriminatif terhadap nabi-nabi (Al-Qur’an, 3:84) dan menjanjikan bahwa siapa pun dari orang beriman, orang yahudi, Nashrani, Shabi’un dan berbuat kebaikan, akan mendapat rahmat Allah dan keselamatan dari ketakutan dan kesedihan (Al-Qur’an, 3: 62, 5: 69).
Sementara itu, tentang pluralisme agama, kitab suci AI-Qur'an, menyebutkan landasan normatif bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (Qs.2:-256). Karena kemajemukan itu kehendak Allah. Tuhan menciptakan manusia beranekaragam agar mereka saling mengenal, memahami dan bekerjasama (Qs. 13: 49).
Sesungguhnya dalam catatan sumber-sumber primer Islam seperti Al-Qur’an, Hadits, dan sejarah Muhammad SAW, bahwa concern utama Islam adalah membangun pluralisme. Inilah sikap dasar-universal Islam. Sementara sikap sosial politiknya berjalan seiring dinamika hubungan antara umat Islam dan umat agama lain. Suatu waktu umat Islam bermesraan dengan Yahudi dan Kristen. Dan di kala yang lain, karena motif ekonomi-politik, umat Islam berada dalam posisi berhadap-hadapan dengan Kristen dan juga Yahudi. Islam bukan agama yang eksklusif seperti yang dipahami oleh beberapa ormas-ormas baru yang selalu membawa nama Tuhan.
Pluralisme dan kebebasan beragama tidak hanya ditemukan dalam teks-teks Al-Qur’an, melainkan juga dideklarasikan Nabi Muhammad ketika di Madinah. Deklarasi ini dikenal dalam literatur Islam sebagai ”watsiqah al-madinah” (piagam Madinah). Begitu juga di dunia Muslim sudah mengeluarkan deklarasi sejenis yang dikenal dengan ”Deklarasi Kairo.”
Kehadiran buku setebal 424 ini tepat pada waktunya ketika pluralisme dianggap sebagai ancaman. Karya ini menjadi perhatian publik bahkan mengagetkan bagi kalangan yang menolak pluralisme agama yang sesungguhnya menjadi sunnatullah. Ia menyampaikan informasi dari sumber-sumber Islam sendiri tentang kehidupan Nabi Muhammad yang bersinggungan dengan pemeluk agama Yahudi, Nashrani dan agama-agama sebelumya.
Pemetaan yang brilian, cerdas, reflektif dan lugas telah dihadirkan oleh Abd. Moqsith Ghazali, intelektual muda Muslim dan dosen Universitas Paramadina Jakarta yang menjembatani ayat–ayat toleran dan intoleran tentang pluralisme agama berbasis Al-Qur’an dengan argumentasi kuat yang didukung oleh liletarul Islam klasik (baca: kitab kuning) menjadi tambah menarik untuk dibaca oleh siapa pun dan kalangan manapun.
Sebab kitab suci Al-Qur’an diyakini turun tidak dalam suatu historical vacuum, ia turun bertahap untuk menjawab pertanyaan, memberikan tanggapan, bahkan menawarkan ”problem-solving” bagi masyarakat ketika itu, untuk kemudian dijadikan pegangan moral bagi masyarakat sesudahnya. Karena pluralisme agama adalah fakta sosial (sunnatullah) yang selalu ada dan telah menghidupi tradisi agama-agama sebelumnya. Banyak orang bicara toleransi, tapi tak banyak yang punya sumber bacaan kuat dalam literatur klasik.

Buku ini adalah sebuah “ijtihad intelektual” dan merupakan kontribusi penting bagi penguatan toleransi beragama dalam perspektif Muslim. Orang berijtihad haruslah dinamis dan terus dilakukan. Sebagaimana sabda nabi: “Barang siapa yang berijtihad, jika benar akan mendapatkan dua pahala, dan jika salah ia mendapatkan satu pahala.”

*Peresensi adalah Penggiat Buku dan Pemerhati Social Keagamaan tinggal di Jakarta

Dimuat di www.indonesiafile.com




0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda