Sabtu, 04 April 2009

Membangun Pendidikan Islam Pluralis

Oleh: Masyhudi Umar*

Pendidikan pada hakekatnya adalah sesuatu yang luhur karena di dalamnya mengandung misi kebajikan. Karena suksesnya seseorang dan maju tidaknya suatu bangsa amat tergantung pada tingkat pendidikannya. Pendidikan tidaklah sekedar proses kegiatan belajar mengajar an sich, melainkan juga sebagai proses penyadaran untuk menjadikan manusia sebagai "manusia”. Dengan kata lain pendidikan merupakan sarana untuk menjadikan manusia sebagai "manusia sadar" yang sesungguhnya.
Akan tetapi, siapa kemudian menyangka tatkala diskursus tersebut teraplikasi dalam bentuknya yang riil -seperti dalam bentuk sekolah dan semacamnya—ia kerapkali terseret pada kepentingan. ideologi dan politik. kekerasan khususnya pada pendidikan Islam dalam menyikapi pluralisme agama.
Sejarah telah mencatat, kerusuhan sosial yang berbau SARA di tanah air sejak dari Pekalongan (1995), Tasikmalaya dan Situbondo (1996). Kalimantan Barat sampai terjadi ke Ambon dan Maluku (1999) dan lain sebagainya. Ada keseganan tersendiri untuk menyebut agama sebagai salah satu faktor penyebab konflik dan kerusuhan di tanah air. ada ketidak beraniaan berterus terang mengenai aib sendiri. Sehingga masyarakat tidak perlu lagi mempertanyakan ulang bagaimana sesungguhnya praktik metodologi dalam pendidikan agama. khususnya agama Islam, baik yang menyangkut materi, metodologi di sekolah-sekolah, pesantren-pesantren, diskusi-diskusi dan masyarakat pada umumnya. Dengan demikian upaya untuk memperlunak kekakuan dan mencairkan kebekuan pemikiran keagamaan dan ketegangan hubungan sosial-keagamaan dari masing-masing kelompok penganut agama belum di anggap terlalu penting untuk diarak melalui dunia pendidikan
Dunia pendidikan kita, khususnya pendidikan Islam -sejak era kolonial kemerdekaan dan bahkan era reformasi ini- masih banyak menyisakan persoalan yang tidak pernah diselesaikan. Sistem pendidikan lebih banyak dibangun di atas dekrit kebijakan yang mereproduksi ideologi penguasa kaum borjuis. Bahkan lahir dari rahim kesadaran pembangunan masyarakat baru secara revolusioner dan "visioner".

Problematika Epistemologis-Metodologis
Selama ini berkembang wacana transmisi pendidikan Islam yang bersifat indoktrinatif yang mengedepankan isi dan muatan materi dan pada proses dan metodologi. Transmisi keilmuan pendidikan Islam mengesankan apa adanya melalui jalan formalitas sehingga anak didik menjadi kaku dan tertutup terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Iebih-Iebih mengakui adanya pluralisme agama. Anak didik hanya dikenyangkan dengan pelbagai materi tanpa dipedulikan energi potensial aktual dan ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta didik keluar dari ekslusivitas keberagamaan
Wacana kafir-iman, muslim-nonmuslim. baik dan buruk. surga-neraka. seringkali menjadi bahan pelajaran khusus di kelas yang selalu diindoktrinasi dan di paksakan. Inilah salah satu problematis pendidikan Islam ditingkat materi dan metodologinya. Kritisisme sistematik dan paradigmatik keilmuan dalam pendidikan Islam kurang mendapatkan perhatian serius dari para Intelektual Muslim, tokoh pendidikan Islam dan guru ngaji, sehingga sangat berpengaruh terhadap cara pandanag Islam terhadap agama lain.
Dalam sejarah pemikiran Islam, sedikitnya ada tiga konstruksi epistemologis teori pengetahuan. Pertama, pengetahuan rasional sebagaimana dicerminkan oleh Filosof muslim, seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Bajjah dan Ibnu Rusyd. Kedua, pengatahuan inderawi (yang terbatas pada sifikasi sumber perolehan ilmu pengetahuan) sebagaimana dipraktekkan dalam empirisme barat Keliga, pengetahuan kasyf yang diperoleh melalui kekuatan intuitif. Di dunia Islam, konstruksi terutama dan ketigalah yang Iebih banyak dilakukan, sementara yang kedua kurang nendapatkan perhatian yang layak sekalipun Al-Qur"an sendiri lebih banyak menekankan perolehan pengetahuan melalui inderaui.
Cara berfikir dan mentalitas dikotomis di atas berimplikasi kepada cara pandang seseorang dalam realitas kehidupan. Seseorang yang menekankan kepada formalitas agama berpandangan bahwa terubahan hanya akan ’menggorogoti’ identitas agama yang sudah diyakini atau kalau bukan ’memurtadkan’ manusia beragama. Sementara orang yang mencoba nengadaptasi setiap perubahan akan merasa ’congkak’ dengan scsuatu yang serba modern dan canggih. faedahnya adalah bagaimana mengawinkan cara berfikir mentalitas ini dalam kerangka integrasi dengan tidak mempertentangkan secara metodologis shifting paradigm masing-masing.
Leonard Swidler, dalam bukunya, Death Or Dialogue, mengatakan. bagi mereka yang masih menggunakan paradigma eksklusif yang lebih cendrung untuk mengisolasi diri dan enggan hidup berdampingan dengan umat agama lain, tidak akan mendapatkan tempat dalam arena kehidupan keagamaan masa kini.
Dalam konteks inilah, pendidikan Islam sebagai media penyadaran umat dihadapkan pada problem bagaimana mengembangkan teologi inklusif dan pluralis, sehingga di dalam masyarakat Islam akan tumbuh pemahaman yang inklusif dan harmonisasi agama-agama di tengah kehidupan masyarakat multikulturalisme. Tertanamnya kesadaran multikulturalis dan pluralitas masyarakat, akan menghasilkan corak paradigma beragama yang hanief dan toleran. Ini semua harus dikerjakan pada level bagaimana membawa pendidikan Islam ke dalam paradigma yang toleran dan inklusif.
Fazlur Rahman (1984) menyatakan pentingnya pendidikan kreatif dan kritis sebagai konsekvvensi basis etik ajaran Islam dalam Al-Qur’an. Maka disarankan adanya pemikiran dan mentalitas yang positif dan kreatif Adanya kebenaran tunggal ini menjadi akar tumbuhnva sistem dan orentasi keagamaan yang indoktrinatif bukan education. Karena itu, pendidikan Islam lebih merupakan indoktrinasi tunggal yang tak mungkin dibantah, akhirnya ruang kelas laksana "penjara" yang pengap tanpa peluang masuknya udara pemikiran kritis dan inovatif
Memimjam istiliah Paulo Freire, diformulasikan dalam fisafat pendidikan, sudah saatnya pendidikan Islam diarahkan pada area pembebasan dari belenggu-belenggu doktrin-paksaan-agama yang eksklusif dan intoleran menuju formulasi pendidikan Islam yang inklusif dan pluralis. Karena sejak awal cita-citanyar pendidikan harus menjadi proses "pemerdekaan” bukan penjinakau sosial budaya (social and cultural domescation) yang diarahkan pada paradigma serba esklusif.
Karena itu, merekonstruksi paradigma dan metodologi pendidikan Islam yang eksklusif adalah tuntutan sejarah yang harus dilakukan secara integral, sistematis, liberatif dan radikal. Sehingga dapat diarahkan dan menumbuhkan sikap dan pola keberagaman yang inklusif dan pluralis untuk menghargai dan menghormati agama lain tanpa konflik. Wallahu a 'lam bis-shawab

*Penulis adalah Pemimpin Umum Bulettin Surau KKPS Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Tulisan ini telah dimuat di Bulettin Surau KKPS Nurul Jadid Kerja Sama Dengan Yayasan TIFA Jakarta, Edisi 1 Juni 2006

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda