Rabu, 04 Februari 2009

Heboh, Kakek-Kakek Incar Gadis Bau Kencur

Syeh Puji alias Pujiono mungkin masih wajar, menikahi Ulfa di usia puber kedua. Tapi Ki Masyhurat dan Haji Naning, mereka adalah kakek-kakek uzur yang mengincar gadis-gadis bau kencur. Ki Urat, ia biasa dipanggil, lelaki uzur asal Sumenep-Madura ini, mungkin lebih heboh. Dengan mengoleksi istri 10 orang, ia menikahi istri-istrinya di usia antara 9-12 tahun.

Haji Naning, kakek 65 tahun, asal Dusun Pattontongan, Kecamatan Mandai, Sulawesi Selatan, menikahi Nurlia gadis berusia 11 tahun. Bahkan, Naning mengincar Nurlia sejak masih usia Balita (bayi usia di bawah lima tahun).

Syeh Puji, Ki Urat dan Naning semuanya seperti berkedok orang-orang yang membantu dhuafa. Gadis-gadis muda belia tersebut direlakan orang tuanya untuk dinikahkan dengan kakek-kakek, karena mereka terbelit kemiskinan.
Dari 10 istri Ki Urat, lima di antaranya dipersunting ketika masih di bawah umur. Sebagian besar, orang tua gadis-gadis cilik itu menyatakan ikhlas dan rela putrinya dinikahkan.

‘’Bukan hanya orang tuanya yang menerima dan ikhlas, namun gadis-gadis kecil itu senang hati menerima pinangan Abah,’’ ujar Mujiburrahman orang kepercayaan Ki Urat.
Jibur menjelaskan, mereka yang dinikahi Ki Urat yang tergolong usia dini ( usia di bawah 16 tahun), adalah Ernawati (ketika kelas VI SD), Hindun (dikawini tatkala kelas 1 SMP), Maskiyah ketika masih 15 tahun, Sahama dinikahi saat kelas IV Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) dalam usia 10 tahun. Yang terbilang nyaris cukup umur adalah Linda Yusniah, yang dinikahi saat belum genap 17 tahun.

‘’Ki Urat menyontoh pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah. Dibolehkan mengawini perempuan yang sudah haid karena sudah dianggap aqil baligh. Bahkan belum haid sekalipun dapat dinikahkan asal tidak digauli dulu sebelum haid,’’ ujar Jibur mengutip pendapat ulama madzhab fiqih..

Ketika ditanya apakah setelah perkawinan itu para istri di bawah umur tersebut langsung digauli Ki Urat, Jibur mengaku tidak mengetahui secara pasti. Cuma dia melihat, istri-istri sang kiai yang dikawini dalam usia dini tersebut tidak langsung punya anak sampai bertahun-tahun. Kini para istri Ki Urat yang dinikahi, berusia rata-rata 25 tahun.
‘’Ki Urat kan tahu hukum beristri yang masih di bawah umur. Tidak mungkin beliau mengeksploitasi anak-anak,” kata Jibur.
Komentar Jibur dibenarkan Hj. Maskiyah, istri kelima Ki Urat. Menurutnya, perkawinan di bawah umur tidak perlu diperdebatkan. Yang penting orangtua dan anak yang akan dinikahkan setuju dan sudah dinyatakan aqil baligh atau setidaknya sudah mengalami haid.

“Yang penting, sang suami bertanggungjawab menafkahi istrinya baik secara lahir maupun batin,’’ ujar Maskiyah yang saat dikawin KH Masyhurat berumur 15 tahun.Dari 10 istri Ki Urat, hanya satu yang sudah tua saat dinikahi. Yakni Hj. Zubaidah, yang dikawin sewaktu dia telah berumur 45 tahun. “Jadi tak benar, Ki Urat kawin hanya karena nafsu, melainkan untuk ibadah dan dakwah,’’ tegasnya Maskiyah.
Ki Urat sendiri mengatakan bahwa perkawinannya urusan pribadi dan hak asasi. Bagi dirinya, poligami demi mengikuti sunnah Rasul. Sepanjang memiliki kemampuan secara ekonomi, serta bisa berbuat adil dan baik terhadap istri, ya boleh-boleh saja poligami.

Ia menegaskan, dirinya melakukan pernikahan dengan motif ibadah, bahkan demi syi’ar Islam dan bukan karena dorongan nafsu birahi. “Intinya untuk syi’ar Islam. Kan salah satu cara untuk menyebarkan agama Islam dengan cara memperbanyak keturunan,” tegas kakek yang kini memiliki 24 orang anak.

Sedang Haji Naning, kakek berusia 65 tahun yang memperistri Nurliah, gadis berusia 12 tahun yang tinggal di Mandai, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, punya alasan lain. Katanya, ia menikah gadis bau kencur itu, karena ingin membantu orang tuanya, Sattu Tanyang dan Hani yang kesulitan ekonomi.

Awalnya, keinginan Haji Naning tak mendapat restu pemerintah setempat. Kepala Dusun Tokka, Dg Selle, menolak keras keinginan kakek tua itu, sebelum melamar ke keluarga gadis itu dan mendapat restu dari istri pertamanya.

Akhirnya Naning berhasil meluluhkan orang tua Lia dan Kepala Desa setempat. Pasangan itu dinikahkan Imam Masjid Al-Ikhlas, Yamin pada 27 Desember tahun lalu. Sementara mahar yang diberikan berupa cincin emas satu gram, beras 150 liter dan uang tunai Rp5 juta. Naning becerita selain mahar, biaya nikah ini mengeluarkan uang sebesar Rp 650 ribu. “Saya menikah dengannya tidak ada motif apapun, bahkan saya belum apa-apakan dia,” ujar Naning.

Namun tak lama setelah perhelatan pernikahan, masyarakat heboh begitu tersiar kabar bahwa sang kakek telah menikahi gadis bau kencur. Kepala Kepolisiaan Sektor Kota Mongcongloe Maros, AKP M. Jafar Sain turun langsung memeriksa pasangan itu untuk dimintai keterangan terkait dengan perkawinan tersebut. Naning mengaku tidak tahu bahwa perkawinan di bawah umur itu melanggar aturan. Walaupun akhirnya, Naning bersedia menceraikan istri keduanya tanpa syarat. “Kalau disuruh bercerai saya setuju, saya juga tidak akan menuntut uang dan barang pemberian saya dikembalikan,”katanya.

Menurut Direktur Lembaga Perlindungan Anak Sulawesi Selatan, Mappinawang, mengatakan motivasi perkawinan tidak lazim ini didorong faktor ekonomi. Islam memang tidak memberikan batas usia dalam perkawinan. Akan tetapi, negara kita adalah negara hukum yang melarang pernikahan di bawah umur.

Kantor Urusan Agama (KUA), mesti bekerja ekstra bersosialiasasi bawah pernikahan di bawah umur, entah dengan dalih sunnah nabi dan ekonomi dan sebagainya adalah tindak pencabulan dan eksploitasi terhadap perempuan. Dengan kata lain, eksploitasi, kekerasan dan pencabulan terhadap perempuan masih “berkeliaran” di depan mata perempuan itu sendiri.
Mashudi Umar

Dimuat di majalah Risalah NU, No 11 / Th 11 / 1430 H

1 Komentar:

Pada 25 Oktober 2014 pukul 20.48 , Anonymous Anonim mengatakan...

Kok banyak bgt ya orang sok suci.. Gak bisa jujur pd dirinya sndiri, malah mengatasnamakan agama untuk melegalkan tindakannya yg kejam....

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda