Kamis, 11 Desember 2008

Rindu kepada Cak Nur


Judul : All You Need Is Love, Cak Nur di mata anak muda
Editor : Ihsan Ali Fauzi & Ade Armando
Penerbit : Yayasan Paramadina
Cetakan : Oktober 2008
Tebal : 208 halaman

Di ranah pemikiran tentang ke-islaman, demokrasi, dan keindonesiaan, figur alm Prof Dr Nurcholis Madjid (selanjutnya disebut Cak Nur) adalah fenomena yang sangat menarik. Sebagai seorang yang well-versed dalam masalah-masalah ke-islaman, juga kaitannya dengan khazanah-khazanah klasik dan modern, Cak Nur telah melakukan jihad intelektual tanpa henti sampai pada akhir hayatnya. Semua itu dilakukan dengan penuh ketekunan, kritis, dan bertanggung jawab.

Cak Nur telah mewariskan, khususnya anak-anak muda Indonesia, sebuah ensiklopedia pemikiran yang sangat kaya dan diramu dari berbagai sumber unit peradaban umat manusia. Dari karya-karya yang telah dihasilkannya tidak berlebihan, kalau kita katakan bahwa Cak Nur berwawasan universal dengan Islam sebagai dermaga tempat bertolaknya. Gagasan dan cita-cita untuk menciptakan sebuah dunia yang adil dan ramah, tanpa diskriminasi dan eksploitasi, sebagaimana yang dirindukan oleh para Nabi dan para filsuf, juga masyarakat Indonesia. Ia melihat ada kesenjangan yang sangat jauh antara ajaran Islam sejati dengan realitas sosial yang melingkari umat.

Majalah Tempo, pernah menyebut Cak Nur sebagai "lokomotif" pemikiran Islam Indonesia atau ujung terdepan dari sebuah rangkaian "gerbong" pemikiran Islam yang lain di negeri ini. Jika dilihat dari dua periode penting dalam sejarah pemikiran Cak Nur, yaitu 1973, ide tentang sekularisasi dan 1992, ide Islam yang "hanif". Ia telah menggerakkan horizon pemikiran Islam ke batas cakrawala baru atau menembus batas tradisi tentang dunia Islam.

Ide tentang sekularisasi misalnya, mempunyai dampak yang penting dalam pelbagai hal sekaligus. Secara politis, ide itu telah berdampak pada desakralisasi lembaga-lembaga Islam yang selama ini dianggap suci dan angker. Secara keagamaan, ide itu mendorong umat untuk membedakan secara tegas antara dua wilayah, yaitu "wilayah sakral" dan "wilayah profan".

Ide ini, secara tidak langsung, berarti juga mempunyai makna bahwa dalam agama sendiri pun, harus dibedakan antara "pikiran manusi tentang agama" dan agama itu sendiri. Yang pertama adalah relatif dan kedua adalah absolut. Sementara, ide Cak Nur itu berkorespondensi dengan ide yang kemudian datang belakangan dan dikenalkan oleh pemikir Mesir, yaitu Nasr Hamid Abu Zaid, yang kemudian dipakai sebagai alat analisis oleh banyak pemikir-pemikir Islam muda saat ini, yaitu ide tentang, "al-khithab al-dini" (wacana tentang agama) dengan "al-dinn" (agama itu sendiri). Sebagaimana kita tahu, inilah peralatan intelektual yang secara efektif, dipakai oleh banyak kalangan intelektual Islam modern untuk mengkritik fundamentalisme Islam yang saat ini sedang marak di Indonesia.

Pemikiran Cak Nur itu menggerus kesadaran umat Islam yang tengah tertidur lelap, karena memang nyaris tidak ada lagi isu yang menggetarkan publik sejak kegagalan sidang Majelis Konstituante pada 1959, di mana majelis itu gagal menyepakati dasar negara Indonesia antara Islam atau Pancasila. Tak pelak, pemikiran Cak Nur berhadapan secara frontal dengan pemikiran para tokoh Masyumi yang merupakan representasi politik umat Islam ketika itu.
Buku ini ditulis oleh 30 anak-anak muda Indonesia dari berbagai latar belakang pendidikan, minat dan profesi yang rindu terhadap pemikiran Cak Nur. Tulisan ini adalah pilihan dan yang terbaik di antara beberapa tulisan yang masuk dalam bentuk esai pendek yang ringan dan mudah dicerna.

Anak-anak muda yang progresif dan hendak melanjutkannya ini, seakan-akan menulis surat dan curhat kepada Cak Nur akan kegelisahan masa depan agama (Islam) yang inklusif, antidiskriminasi dan cinta damai, juga demokrasi, serta kebebasan berpikir. Kekerasan demi kekerasan atas nama menjalankan syariat agama (Islam) semakin meningkat di bumi Nusantara ini.

Dus, buku ini hendak merekam, bagaimana kiprah Cak Nur selama hayatnya beresonansi di kalangan anak-anak muda kontemporer, satu lapisan generasi yang bukan ukurannya untuk dijadikan tempat berteduh dan mengaktualisasi ide-ide brilian, ketika ia pertama kali menarik gerbong pembaharuannya. Dengan kata lain, bagaimana anak-anak muda melihat, merekam Cak Nur baik pikirannya, buku-bukunya, perilaku, dan kebersahajaanya? Sambil mengenang Cak Nur, kita terutama generasi muda Indonesia sedang belajar darinya dan cita-cita hendak melampauinya. Semoga "Cak Nur di sana" tetap mengikuti perkembangan Indonesia.

[Mashudi Umar, Aktivis Pers dan Peserta Pesantren Ilmu Kemanusiaan dan Kenegaraan (PeKiK) Indonesia]

(Dimuat di Suara Pembaruan, Minggu 30-11-2008)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda