Senin, 29 Juni 2009

Mahbub Djunaidi;

Berjuang Lewat Pena

Dunia pers indonesia tak akan bisa melupakan nama mahbub djunaidi yang pernah tiga kali memimpin organisasi kewartawanan, PWI, mahbub juga dikenal sebagai pemikir NU.
Ia lahir di Jakarta, 27 juli 1933, anak pasangan dari H. Djunaidi dan Ibu Muchsinati. Ayahnya sebagai Kepala Biro Peradilan Agama pada Kementerian Agama yang setiap awal ramadhan dan malam idul fitri mengumumkan hasil rukyah melalui radio. Mahbub Djunaidi, sebagaimana anak-anak Indonesia pada umumnya di zaman revolusi kemerdekaan, usia sekolahnya panjang. Dia baru duduk dikelas satu SMP menginjak usia 16 tahun, saat seharusnya menyelesaikan sekolah pertama. Usia 16 tahun itu bersamaan dengan waktu pemulihan kedaulatan RI dari Belanda tahun 1949.
Menginjak usia remaja, Mahbub Djunaidi bergabung ke dalam Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), organisasi kader partai NU (saat itu), selagi masih duduk di SMA. Dia hadir di kongres pertama IPNU di Malang 1955 yang dibuka oleh Presiden RI Sukarno, di saat negeri ini beberapa bulan lagi akan menyelenggarakan pemungutan suara pemilu pertama.

Gerakan Mahasiswa
Mahbub mulai menulis waktu SMP dan waktu di SMA tulisan-tulisannya sudah dimuat di majalah-majalah bergengsi waktu itu, seperti Siasat (sajak), Mimbar Indonesia (esai), Kisah, Roman, Star Weekly, Tjinta (cerita pendek). Ia terjun ke dunia jurnalistik pada tahun 1958 mengisi harian duta masyarakat yang kemudian ia menjadi Pemimpin Redaksinya pada tahun 1960-1970.
Di tengah memimpin Duta Masyarakat sebagai corong partai warga nahdlyyin-saat itu-, ia juga berhasil mendeklarasikan organisasi mahasiswa NU yang berafiliasi ke partai NU (waktu itu) yang bernama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada tahun 1960. Ia sendiri sebagai ketua umum pertama selama dua periode. Sekarang organisasi ini menjadi besar dan tumpuan mahasiswa yang berbasis nahdliyyin. Pendek kata, dimana ada cabang NU, disitu ada PMIInya, karena pernah menjadi anak kandung saat NU jadi partai politik.
Sebagai sebuah organisasi kader partai yang tergolong besar, tidak bisa lain dia juga harus seorang pendidik. Pada tahun 1961, melalui kongres pertama PMII dilahirkan pokok-pokok pikiran yang diwadahi dalam apa yang disebut “deklarasi tawangmangu”. Deklarasi tersebut isinya meliputi pandangan tentang dan sikap terhadap sosialisme Indoensia, pendidikan nasional, kebudayaan nasional dan lain-lain. Deklarasi tawangmangu merupakan refleksi PMII terhadap isu nasional pada saat itu.
Mahbub berusaha dengan sungguh penuh agresif menjadikan PMII sebagai wadah pembentukan kader, sebagaimana diamanatkan kepadanya oleh musyawarah mahasiswa NU seluruh Indonesia. salah satu cara membentuk jiwa dan menempa semangat kader adalah melalui lagu-lagu mars PMII, lagu yang di nyanyikan setiap saat akan acara penting PMII sampai sekarang masih tetap dipertahankan.
Sehingga tidaklah berlebihan kantor PB PMII, Bangunan seluas 400 meter persegi yang beralamat di Jl Salemba Tengah 57A Jakarta Pusat bernama “Graha Mahbub Djunaidi”. Pemberian nama Graha Mahbub Djunaidi tersebut merupakan penghormatan kepada Ketua Umum PMII pertama yang menjabat selama dua periode pada tahun 1960-1963 dan 1963-1966, kata Malik Haramain, Ketua Umum PB PMII tahun 2003-2005 saat peresmian kantor tersebut.
Setelah aktif sebagai Ketua Umum PMII, Mahbub kemudian diminta pula membantu pengembangan Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor). Ia sempat duduk sebagai salah satu ketua pimpinan pusat organisasi kader NU untuk kalangan pemuda tersebut. untuk organisasi inipun, Mahbub menulis lirik lagu marsnya yang tetap di gunakan sampai sekarang.
Setelah dirasa cukup membantu pada organisasi kader muda NU, akhirnya ia di tarik ke rahim NU-nya yaitu sebagai Wakil Sekjend PBNU (1970-1979) dan Wakil Ketua PBNU mulai tahun 1984-1989.
Setelah terjadi pasifikasi politik NU pada muktamar di Situbondo, Jawa Timur tahun 1984 dengan jargon kembali ke khittah 1926, Mahbub pun mempunyai penafsiran sendiri tentang hal itu. Ia memperkenalkan menggagas istilah “khittah plus”. Menurutnya, kembali ke khittah 1926 bukanlah merupakan perwujudan dari sebuah perjuangan. Pendek kata, Mahbub menginginkan NU kembali berpolitik praktis sebagai wadah aspirasinya, mengingat NU –waktu itu- selalu dipinggirkan.

Pena Sebagi Teman Karib Dan Politikus
Selama sepuluh tahun memimpin media harian Duta Masyarakat sebagai corong partai NU -saat itu-, tulisan-tulisan Mahbub yang menggelitik mulai di kenal oleh wartawan-wartawan senior dan media-media baik cetak maupun eletronek. Lambat laun tapi pasti, ia terpilih sebagai Ketua PWI periode 1965, 1968, dan 1970 ini dikenal sebagai sosok yang prigel, luwes, dan profilik dalam menuangkan gagasan-gagasannya lewat tulisan. Mahbub Djunaidi dikenal sebagai penulis dengan gaya bahasa yang lugas, sederhana, dan humoris. Bagi dunia pers, nama Mahbub Djunaidi bukanlah nama yang asing lagi.
Sebagai seorang wartawan, Mahbub adalah wartawan pemikir yang cerdas dan "kental", namun juga jenaka dan penuh kejutan-kejutan dalam setiap tulisannya. Dalam istilah sekarang, ia adalah seorang yang humanis dan moderat.
Menurut Jakob Oetama, Pendiri dan Pemimpin Umum harian KOMPAS yang kenal secara pribadi, mengamati Mahbub mencapai formatnya yang optimal sebagai wartawan, justru ketika ia bebas dari beban-beban menjadi pemimpin redaksi Duta Masyarakat dan sebagai aktivis partai atau keorganisasian lainnya.
Mahbub menulis untuk rubrik Asal-Usul tiap hari minggu di harian Kompas selama 9 tahun tanpa jedah, sambil masih juga diminta penerbitan pers lainnya menulis topik-topik tertentu seperti Tempo, Pelita dan lain-lain. Sebagian tulisan-tulisannya, lebih dari 100 judul telah diterbitkan menjadi buku 'Mahbub Djunaidi Asal Usul'. Di situ dia justru menjadi besar. Sebagai politikus, wartawan dan sastrawan, sosok pemikirannya tampil.
Sosok Mahbub Djunaidi, masih menurut Jakob, mempunyai gaya keunikan tersendiri dalam tulisannya. Ia seakan bersaksi dalam buku “Mahbub Djunaidi, Seniman Politik Dari Kalangan NU Modern”. Menurutnya, kalau kebanyakan penulis adalah menganalisa suatu masalah dan baru menjelaskan ide-nya, maka Mahbub tidaklah demikian. Baginya, suatu peristiwa, kejadian, atau sosok orang bisa dijadikan alat untuk menjelaskan ide-idenya.
Dunia politik pun tak lepas dari hari-hari Mahbub Djunaidi. Ketika NU berafiliasi ke PPP, Mahbub Djunaidi menduduki jabatan sebagai salah seorang wakil ketua DPP PPP dan kemudian di Majelis Pertimbangan Partai (MPP).

Bela Wartawan
Tapi, sebelum itu, Mahbub juga pernah menjadi anggota DPR-GR/MPRS. Nah, dalam posisi inilah naluri kewartawanannya muncul. Ia mengetuai pansus penyusunan RUU tentang ketentuan pokok pers. Dalam tim pansus tersebut ia dibantu oleh Sayuti Melik, RH Kusman, Soetanto Martoprasonto, dan Said Budairi. Sebagai seorang politikus, ia tetap memikirkan nasib pers di Indonesia. Hal ini diwujudkannya melalui penyusunan perundang-undangan pers semasa almarhum menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) tahun 1965.
Sebagai jurnalis, penulis dan sastrawan, Mahbub telah meraih prestasi yang sangat baik. Tulisanya sebagai Pemred Duta Masyarakat telah menunjukkan benang merah dari gagasan dan pikirannya mengenai berbagai masalah yang dihadapi bangsa kita. Perjalanan panjang dalm organisasi di lingkungan NU dapat menjadi bukti dari pengabdiannya kepada masyarakat. Kiprahnya sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dapat dari petunjuk dari pengabdiannya dalam mengembangkan kehidupan pers nasional.
Tulisannya sebagai sastrawan telah menununjukkan keragaman kemampuan yang dimilikinya dengan meraih penghargaan sastra tingkat nasional. Kolom “Asal Usul” yang dimuat secara tetap di tiap hari minggu harian Kompas selama jangka waktu yang cukup lama menunjukkan kemampuan Mahbub dalam menulis dan daya pikat tulisannya terhadap masyarakat. Gaya tulisannya sekarang banyak ditiru oleh penulis Indonesia.
Terlepas dari plus-minusnya selama berinteraksi dengan koleganya semasa hidup, Mahbub Djunaidi adalah manusia biasa. Manusia adalah makhluk yang punyak banyak kesalahan dan kelemahan. Kita menilai mereka tidak semata-mata sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai manusia.
Yang pasti Mahbub Djunaidi adalah tokoh nasional yang bersahaja, seorang jenius yang berkarakter mengamati perkembangan hidup melalui tulisan-tulisannya, penggerak organisasi dan seniman politik yang dimiliki oleh NU dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sementara Mahbub Djunaidi meninggal dunia pada tahun 1995 di usia 62 tahun, usia yang masih cukup untuk beraktivitas dan berjuang. Mashudi Umar

Dimuat di Majalah Risalah NU, No.12 / Thn II /1430 H

Melacak Akar Sejarah ‘Fatwa’

Judul Buku : Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam
Penulis : KH. Makruf Amin
Cetakan : Pertama, 2008
Penerbit : eLSAS Jakarta
Tebal : xiv + 384 Halaman

Sebagai sumber utama ajaran Islam, al-Qur’an sengaja didesain untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang menyangkut masalah hukum secara global. Sebab jika dijelaskan secara rinci, bisa jadi al-Qur’an kehilangn relevansi dengan dinamika masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan dari masa ke masa. Untuk merinci dan memberikan petunjuk pelaksanaan suatu ajaran (hukum), khususnya masalah ibadah, inilah tugas Rasulullah yang dijelaskan melalui sunnahnya.
Di sisi lain problem dan permasalahan kehidupan manusia semakin hari kian bertambah kompleks dan beragam. Permasalahan-permasalahan yang awalnya dapat dicover secara eksplisit oleh kedua sumber pokok ajaran Islam tersebut, seiring dengan perjalanan waktu, mulai bermunculan problem-problem sosial yang belum ditemukan di dalam kedua sumber tersebut.
Di sinilah kita bisa melihat bahwa Islam bisa didisain sedemikian rupa oleh Allah Swt sebagai agama pamungkat yang diturunkan-Nya dimuka bumi ini. Ajaran-ajaran Islam tetap relevan sepanjang zaman (shalih likulli zaman wa makan) dala menjawab setiap permasalahan yang ada walaupun teks keagamaan (an-nushus as-syariyyah) secara kuantitatif tidak bertambah. Allah tidak menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah yang merupakan sumber utama ajaran Islam dalam bentuk baku, final, dan siap menjawab secara rinci semua permasalahn yang ada baik yang telah, sedang, dan akan terjadi. Sebab jika demikian, ajaran Islam akan cepat usang, basi dan hilang kemampuannya untuk merespon segala persoalan yang senantiasa berkembang dengan pesat.
Teks normatif yang telah berhenti secara kuantitatif pada abad ke-14 yang lalu akan mengalami banyak kesulitan dalam merespon secara keseluruhan perkembangan permasalah yang terjadi, padahal permasalahan tersebut akan senantiasa berkembang dari waktu ke waktu.
Kondisi obyektif yang berkaitan dengan permasalahan manusia yang setiap saat bertambah banyak yang memerlukan tanggapan logis-yuridis dari nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah yang belum tercover secara eksplisit, mewajibkan bagi orang yang yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukan “ijtihad” sebagai respon terhadap permasalahan yang baru muncul.
Anugrah akal yang diberikan Allah kepada manusia menjadikannya sebagai makhluk yang selalu ingin tahu, berkembang dan berinovasi. Melalui pranata ijtihad ini, manusia dapat mengeksplorasi akal pikirannya untuk mencari jawaban atas permasalahan baru dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah yang diperlukan dalam melakukan ijtihad. Pranata ijtihad inilah sebabnya yang menjadi salah satu sebab ajaran Islam mampu menjawab setiap persoalan umat manusia yang semakin banyak dan kompleks.
Dengan begitu, mengingat ketatnya syarat dan kriteria untuk melakukan ijtihad dan sulitnya seseorang boleh melakukan ijtihad, maka dengan sendirinya ijtihad tidak mungkin dilakukan oleh setiap orang. Bagi orang yang tidak mampu melaksanakan ijtihad sendiri, wajib baginya untuk mengikuti pendapat orang-orang yang ahli dalam hal ini adalah ulama.
Saat ini, sudah jarang sekali ditemukan fatwa yang dilakukan oleh perorangan karena menjadi suatu yang berat bagi seorang individu untuk menguasai berbagai sisi keilmuan yang komprehensif sebagai prasyarat sebagai seorang mufti (memberi fatwa). Yang paling mungkin untuk dilakukan saat ini adalah fatwa yang dilakukan secara kolektif, yang pada umumnya dilakukan oleh para ulama dari berbagai disiplin ilmu yang tergabung dalam organisasi keislaman tertentu. Di antara contoh fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga atau organsasi sosial kemasyarakatan seperti, Majmah Albuhust Al-Islami, Majmah Al-Fiqh Al-Islami, Rabitah Alam Al-Islami, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan orgasnisasi keislaman lainnya.
Dalam sistem hukum Islam, fatwa mempunyai peranan yang cukup dominan dalam memberikan pertimbangan hukum keagamaan kepada masyarakat, sekalipun ia tidak punyak kekuatan hukum yang mengikat (ghair mulzimah).
Memang jika dilihat dari sejarahnya, fatwa sebagai salah satu pranata dalam pengambilan keputusan hukum Islam memiliki kekuatan yang cukup dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari eksisnya sejumlah mazhab hukum yang memiliki corak pemikiran masing-masing sesuai dengan kondisi sosio kulturnya. Terfragmentasinya kesimpulan hukum Islam yang tergambar dari beberapa mazhab yang ada dapat dirunut jauh ketika pada masa sahabat nabi. Pada masa itu, terjadi keberagaman fatwa dalam mengahadapi suatu peristiwa.
Keberagaman fatwa ini diwarisi oleh generasi berikutnya yakni para Tabi’in, dimana pada masa ini, lahir dua aliran besar dalam sistem pengambilan sistem hukum Islam, yaitu fiqih hijaz yang terkenal dengan aliran Ahlu Al- Hadist. Adapun fiqih Irak dikenal dengan Ahlu Al-Ra’yu. Setelah itu berkembang lagi dan tambah mengkristal dalam mazhab-mazhab yang lahir sesuai dengan konteks waktu, tempat dan kondisi sosial kulturnya. Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim yang menyatakan bahwa “kesimpulan fatwa bisa berbeda disebabkan oleh perubahan zaman, tempat, keadaan dan konteksnya”.
Dalam konteks masyarakat Indoensia, status fatwa lembaga keagamaan termasuk didalamanya fatwa Majelis Ulama Indonesia mempunyai pengaruh yang tidak kecil walaupun tidak sebanding dengan ormas yang lain. Beberapa bulan yang lalu MUI mengadakan “Ijtimak Ulama Indonesia” dengan menghasilkan beberapa keputusan yang dianggap kontroversi oleh masyarakat, diantaranya adalah haramnya merokok bagi anak-anak, wanita hamil dan merokok di tempat umum. Kedua, mengharamkan untuk golput (tidak memilih) selama masih ada pemimpin yang bisa dipercaya (versi MUI). Ketiga adalah mengharamkan olahraga Yoga.
Kehadiran buku dengan judul “Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam” ini yang ditulis oleh Kiai Makruf Amin sebagai akademisi (ulama, cendikiawan) dan juga praktisi, Ketua Komisi Fatwa MUI sangat menarik untuk dijadikan referensi dan kekuatan teoritis dalam memandang hukum Islam. Karena berdasarkan sisi akademik yang sifatnya Nazhari (deduktif dan teoritis), dikombinasikan dengan pengalaman empirik yang sifatnya Istiqra’i (induktif, penelitian terlibat) pemikiran fiqih.
Buku ini juga dapat menjelaskan masalah fiqhiyyah dengan dua pendekatan sekaligus, pendekatan akademik yang lebih bersifat teoritis dan pendekatan praktis yang bersifat empiris. Mashudi Umar

Dimuat di Majalah Risalah NU, No 12 / Thn II /1430 H

Senin, 22 Juni 2009

Agama Sebagai Rahmatan Lil'alamin

Oleh Mashudi Umar

Ada tendensi yang sangat umum, betapa agama dalam perkembangan terakhir telah hadir sebagai sosok yang tumpul dan mandul. Agama cenderung dikeramatkan, tapi tidak ampuh mengatasi problem-problem kemanusiaan. Agama hanya dijadikan sebagai obat penenang. Seringkali ia hadir seakan-akan menjadi jampi-jampi keselamatan di tengah-tengah pengikutnya dalam ketertindasan dan keterbelakangan. Inilah mungkin yang dimaksud oleh Marx ketika mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat (opium of society).
Mengapa Marx menyebut sebagai candu? Sebab agama membuat manusia hidup dalam suatu dunia imaji yang absurd. Baginya, agama adalah semacam eskapisme, yakni suatu usaha untuk keluar dari alam nyata ke alam imajinatif agar dapat masuk suatu dunia lain yang tidak lagi ditandai penderitaan dan kesusahan, kehidupan yang sempurna Hanya melalui agamalah, seseorang bisa meraih keselamatan eskatalogis nanti. Jampi-jampi keselamatan agama inilah yang memberi jaminan seseorang untuk menjadi penghuni surga.
Namun dalam sejarahnya, agama selalu ditarik dan dikaitkan dengan kekuasaan, yakni menjadi legitimasi bagi kekuasaan tertentu. Bilamana penguasa memutuskan perang, maka agama tidak boleh tidak harus pula melegitimasi itu pula. Berdasarkan catatan sejarah, penindasan, kekejaman, dan ketimpangan sosial terjadi atas pembenaran agama. Fungsi agama sebagai medium protes sosial dan sumber kritisisme menjadi bungkam dihadapan Negara (kekuasaan). Alih-alih menjadi media pembebasan, agama justru hadir sebagai legitimasi Negara untuk melakukan penindasan terhadap umatnya. Menurut Ignas Kleden (2000), kecenderungan ini muncul karena agama dipahami sebagai ideology.
Pertanyaannya, benarkah agama sebagai legitimator penguasa untuk membenarkan segala tindakan? Karena agama menjadi tangan kanan penguasa yang pada akhirnya agama mengalami stagnasi, menutup diri dan tidak berdealektik dengan umatnya. Hal inilah yang melahirkan status sosial ketidakadilan dan penderitaan masyarakat lemah, sehingga Marx membagi dua kategori yaitu kelas elit dan kelas bawah. Kita lihat misalnya, baik dulu, sekarang dan yang akan datang, tetap banyak korelasi yang sangat kuat untuk melahirkan dan menciptakan ketimpangan-ketimpangan sosial di masyarakat. Karena agama sudah mengintegrasikan, membenarkan bahkan mendistorsi kenyataan fenomena sosial yang ada.Pada sisi yang lain, bukan berarti agama ikut serta merta dalam problem kemanusiaan.
Secara ideal, agama selalu hadir dalam gagasan-gagasan besar kemanusiaan. Agama memang dihadirkan Tuhan bagi manusia untuk seluruh pembebasan terhadap seluruh bentuk penindasan, tirani, dan perbudakan manusia. Di akui atau tidak , agama telah memfilter manusia dari lubang jarum dan membangunkan manusia ke posisi awal sebaga manusia yang sempurna dan lengkap (insanul kamil). Agama telah melahirkan suatu peradaban manusia kearah yang lebih baik dan menghargai antarsesamanya. Manusia tidak perlu beragama tanpa tanggung jawab sosial, bahwa hubungan horizontal ini sangat mempengaruhi terhadap baik dan tidaknya manusia, baik di hadapan Tuhan maupun antarsesamanya.Kenyataan sosial dewasa ini sangat paradoks terhadap beberapa kejadian akhir-akhir ini, dimana agama tampil di tengah-tengah masyarakat dengan muka suram, sangar dan keras. Sungguh naof, agama dengan cita-citanya untuk mensejahterakan dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kehancuran dan ketidakpastian.
Cita-cita agama (Islam) sebagai Rahmatan Lilalamin tidak mampu menutupi lebih-lebih menyelesaikan penderitaan manusia menjadi impian dan angan-angan belaka. Sehingga agama sering dipahami sebagai pembuka konflik yang tiada akhir.Kalau demikian, agama tidak mempunyai daya tarik dan tawar-menawar yang bisa memikat terhadap problem kemanusiaan. Justru manusia semakin jauh untuk beragama. Agama pada pra Islam dari tiga agama besar dunia (Yahudi, Nashrani dan Zoroasther) tidak mampu menjadi pisau penghalang untuk mendamaikan umatnya. Saat itu, simpul-simpul kemanusiaan nyaris putus, dimana-mana manusia saling menjegal satu sama lain. Hubungan horizontal yang dilumuri darah, pembunuhan sejak peristiwa Kain dan Habel, akhirnya berujung pada rusaknya hubungan vertikal dengan Tuhan.
Untuk itu, agama harus mendifenisikan kembali posisinya dengan tanggung jawab kemanusiaanya (responsible humanition), agama harus hadir dan keluar dari persembunyiannya di ruang privat yang hening dan damai yang kemudian merangsek hadir dan bangkit ditengah-tengah public yang gaduh, ramai, dan damai. Bukan untuk membangun kebesaran simbolik komunalistik, tetapi untuk menyingkirkan ketertindasan, sebagai musuh kemanusiaan bersama.
Agama hadir sebagai pahlwan sejati yang membebaskan manusia tanpa melihat suku, ras, warna kulit dan akan menyinari dunia modern dengan cahaya kebenaran. Dengan kata lain, pluralitas beragama merupakan sunnatullah dan fakta sosial di tengah-tengah masyarakat yang tidak terbantahkan. Bersamaan dengan itu, harus terjadi sharring, berinteraksi dengan lintas agama beserta umatnya ke dalam religiuitas bersama. Inilah titik temu seluruh agama-agama dan arena jihad paling akbar dan sejati sebagai manefistasi dari agama sebagai rahmatan lil'alamin. Semoga. Wallahu Alam
Penulis adalah Redaktur Majalah Risalah NU Jakarta

Dimuat di HU Pelita,12 Juni 2009

Kelurga Berkualitas Ciptakan Bangsa Bermartabat


Judul : Fikih Keluarga (Menuju Keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah, Keluarga Sehat, Sejahtera dan Berkualitas)

Penulis : Chalil Nafis

Penerbit : Mitra Abadi Press, Jakarta

Cetakan : Pertama, Mei 2009

Tebal : v + 284 halaman

Peresensi : Mashudi Umar*


Bukanlah suatu kebetulan jika Al-Qur'an seringkali menyebut urusan tentang keluarga. Menurut Abdul Wahab Khallaf, pakar hukum Islam dan ushul fiqh, ditemukan sebanyak 70 ayat yang secara spesifik mengulas soal keluarga. Bahkan, semua penjelasan tentang hukum Islam dalam Al-Qur’an tidak ada yang lebih rinci dari pada hukum keluarga yang di dalamnya antara lain diulas soal perkawinan, perceraian dan segala hal lain menyangkut hubungan lelaki-perempuan.

Keluarga merupakan unsur sentral dalam ajaran Islam. Sebab unit keluarga memang merupakan sendi utama masyarakat. Atas landasan unit-unit keluarga yang sehat akan berdiri tegak bangunan masyarakat yang sehat. Karena, perkawinan dalam Islam adalah sebuah ikatan bathiniyah dan dhahiriyah antara dua pasangan setara yang telah mengucapkan ijab qabul.


Mendambakan pasangan ideal adalah fitrah manusia sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit di bendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama (Islam) mensyari’atkan dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita, sehingga terlaksananya perkawinan, dan beralihlah kerisauan pria dan wanita menjadi ketentraman (sakinah). Sebagaimana di tegaskan dalam Al-Qur’an, “segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangang agar kamu menyadari (kebesaran Allah).” (QS. adz-Dzariyat : 51: 49)

Islam sangat mementingkan pembinaan pribadi dan keluarga. Akhlak yang mulya baik pada pribadi-pribadi dan keluarga, akan menciptakan masyarakat yang baik dan harmonis juga. Karena itu, hukum keluarga menempati posisi penting dalam hukum Islam. Hukum keluarga dirasakan sangat erat kaitannya dengan keimanan seseorang.

Paradigma berkeluarga seorang muslim berasal dari motivasi bahwa berkeluarga adalah untuk beribadah kepada Allah, mengikuti sunnah Nabi, menjaga kesucian diri, dan melakukan aktivitas sehari yang berkaitan dengan keluarga. Sehingga pusat perhatiannya dalam berkeluarga adalah meningkatkan kualitas ruhiyah, fikriyah, nafsiyah (emosi kejiwaan), jasadiyah, dan sosialisasi setiap anggota keluarganya. Sebagaiman sabda Rasulullah SAW yang berbunyi; “sesungguhnya menikah adalah sunnahku, barang siapa yang tidak mengikuti sunnahku maka dia bukan golonganku.”(HR Bukhari dan Muslim).

Jadi sangat penting bagi seorang muslim membangun kompetensi untuk membangun keluarga. Apa itu kompetensi berkeluarga? Kompetensi keluarga adalah segala pengetahuan, keterampilan, dan sikap dasar yang harus dimiliki agar seseorang dapat berhasil membangun rumah tangga yang kokoh yang menjadi basis penegakan nilai-nilai Islam di masyarakat dan membangun moralitas anak bangsa.

Maka tak heran jika Rasulullah SAW menyuruh kita untuk pandai-pandai memilih pasangan hidup. Abi Hurairah RA berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Berbahagialah orang yang menikahi wanita karena agamanya, dan merugilah orang yang menikahi wanita hanya karena harta, kecantikan, dan keturunannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits di atas menegaskan kepada umat Islam untuk memilih perempuan (calon istri) karena agamanya dan moralitasnya yang kuat bukan karena harta dan kecantikannya. Seperti fondasi suatu pembangunan yang kuat, maka bangunan yang berdiri di atasnya akan kuat pula. Oleh karena itu, Islam sangat mendukung dan sangat menganjurkan adanya sebuah rumah tangga seorang muslim yang tenteram, damai, sehingga terbentuk sebuah fondasi yang kuat bagi terwujudnya suatu tatanam masyarakat yang educatif, cerdas dan bijaksana.


Visi Keluarga Sakinah Dan Sejahtera

Membangun keluarga sangat terkait dengan berbagai kendala dan pengaruh. Terlebih di tengah arus deras globalisasi yang serba terbuka, kompetitif di semua bidang yang tanpa disadari turut merubah gaya hidup dan pola perilaku. Konsekuensi dari era globalisasi banyak membawa warna bagi keluarga Indonesia. Sejatinya keluarga seperti apakah yang menjadi impian, pilihan dan harapan bagi keluarga-keluarga khususnya masyarakat Indonesia?

Membangun keluarga sakinah mawaddah wa rahmah (samara) adalah sasaran yang ingin dicapai seorang muslim dalam membentuk berkeluarga. Dalam keluarga yang samara itulah kita akan melahirkan pribadi Islami untuk saat ini dan masa depan yang lebih cerah.


Salah satu tujuan orang berumah tangga adalah untuk mendapatkan sakinah atau ketenangan dan ketentraman tersebut. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS. Ar-Rum [30]: 21).

Ayat di atas menerangkan bahwa, bahwa perempuan itu adalah sebagai tempat menenangkan dan menentramkan seluruh anggotanya. Jadi kedudukan perempuan dalam keluarga menurut Islam adalah sebagai motor penggerak bagi maju mundurnya sebuah keluarga, sebab di tangan perempuanlah diserahkan kepemimpinan di dalam rumah tangga.

Keluarga sakinah merupakan pilar pembentukan masyarakat ideal yang dapat melahirkan keturunan yang shalih. Di dalamnya kita akan menemukan kehangatan, kasih sayang, kebahagiaan, dan ketenangan yang akan dirasakan oleh seluruh anggota keluarga.


Keluarga adalah sebuah institusi yang minimal memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut. Pertama, fungsi religius, yaitu keluarga memberikan pengalaman keagamaan kepada anggota-anggotanya. Kedua, fungsi efektif, yakni keluarga memberikan kasih sayang dan melahirkan keturunan. Ketiga, fungsi sosial; keluarga memberikan prestise dan status kepada semua anggotanya. Keempat, fungsi edukatif; keluarga memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Kelima, fungsi protektif; keluarga melindungi anggota-anggotanya dari ancaman fisik, ekonomis, dan psiko-sosial; dan keenam, fungsi rekreatif yaitu bahwa keluarga merupakan wadah rekreasi bagi anggotanya.

Dus, kehadiran buku setebal 284 halaman ini yang ditulis oleh Cholil Nafis, intelektual muda NU yang juga Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Bahtsul Masail NU (LBMNU) penting untuk dijadikan referensi, sumber bacaan oleh kalangan muslim yang bercita-cita menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Buku ini dilengkapi dengan beberapa data yang akurat, valid baik secara tekstual dan kontekstual.


Dengan demikian, apabila tatanan keluarga berkualitas maka menjadi fondasi yang tangguh bagi berdirinya tatanan masyarakat dan bangsa untuk mempunyai kehormatan dan harga diri ketika berhadapan dengan bangsa-bangsa yang lain. Dengan kata lain, bahwa terciptanya keluarga sakinah dan sejahtera akan terwujud kemajuan sebuah bangsa yang bermartabat dan berwibawa sesuai dengan cita-cita para founding father’s yang telah mendahului kita semua. Wallahu A’lam Bis Shawab*

Peresensi adalah Pecinta Buku dan Pemerhati Sosial Keagamaan, Tinggal di Jakarta


Dimuat di http://www.nu.online.com/. 15/06/09

Kamis, 04 Juni 2009

Menakar Mashlaha dan Mafsadat Golput

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang pengharaman bagi Golongan putih (golput) masih menuai kontroversi dan kecaman baik dari pengamat, intelektual, ormas, politisi dan masyarakat sendiri, walaupun juga ada yang mendukung. Wacana golput yang sempat mengemuka merupakan pandangan yang wajar
Persoalan golput dalam sistem demokrasi memang menjadi ganjalan jika jumlahnya sangat besar. Golput yang besar diyakini mengganggu ketenangan legitimasi proses demokrasi melalui pemilu ini. Kadang golput lebih besar jumlahnya dari pemilih, sehingga inilah yang sangat dikhawatirkan oleh parpol dan calon legislatif yang akan bertarung untuk lolos ke senayan.
Sementara itu, munculnya golput disebabkan tiga faktor yakni kekacauan yang disebabkan kekecewaan pemilih seperti tidak memperoleh kartu pemilih. Selanjutnya, faktor pragmatis disebabkan alasan yang mendesak atau situasi sehingga tidak memungkinkan untuk memilih. Faktor terbesar munculnya golput disebabkan adalah ideologis yang beranggapan memilih atau tidak sama saja.
Intelektual muda muslim, Abd. Moqsith Ghazali, menilai Majelis Ulama Indonesia (MUI) memang tidak perlu mengeluarkan fatwa haram tentang golput, katanya ketika Todays Dialogue dengan Kiai Makruf Amin di Metrotv (3/2) tentang “Obral Fatwa Haram MUI”.
“Jika ingin mendorong peningkatan partisipasi masyarakat terhadap pemilihan umum, sebaiknya mengeluarkan anjuran untuk menggunakan hak pilihnya,” tuturnya. Karena fatwa MUI juga tidak mengikat (ghairu multazam) untuk diikuti oleh umat Islam, kecuali kedudukan MUI berubah menjadi lembaga negara seperti MK atau MA.
Ketua fatwa MUI KH. Makruf Amin, mengatakan bahwa kesepaktan dalam Ijtima` Ulama kemarin adalah memilih pemimpin yang mempunyai kreteria: Pertama, jujur. Kedua, amanah. Ketiga, beriman dan Keempat, memperjuangkan aspirasi ummat Islam. Adalah hukumnya wajib.
Sedangkan, menurut ia, memilih pemimpin yang tidak mempunyai kreteria diatas adalah haram. Kalau tidak memilih pemimpin sama sekali alias golput padahal ada pemimpin yang jujur, amanah, beriman dan memperjuangkan aspirasi ummat adalah haram yang kemudian dimaknai golput.
KH Ma`ruf Amin mengakui, bahwa fatwa tentang kewajiban menggunakan hak pilih atau lebih populer dengan istilah fatwa golput memberi keuntungan pada partai-partaiIslam."Pemilih Islam, terutama yang tradisional, pasti akan ikut partai Islam," kata Ma`ruf Namun, untuk meraih suara pemilih rasional tentu partai-partai Islam tetap harus berjuangkerasbersaingdenganpartaisekuler.
Meski demikian, lanjut Ma`ruf, alasan utama dikeluarkannya fatwa itu lebih pada upaya untuk mendorong partisipasi masyarakat, terutama kalangan Islam, agar turut terlibat dalam pemilu yang merupakan sarana untuk memilih pemimpin."Nashbul imamah (memilih pemimpin) ini menurut perspektif agama adalah termasuk kewajiban," ujar kiai Makruf yang juga dewan pengarah bank-bank syari’ah kepada Risalah NU.
Menurut dia , karena anggota DPR/DPRD itu juga Ahli Syuraa, Ahlu hali wall aqdi (Ahli tempat orang-orang bermusyawarah), sedangkan Nabi sendiri diperintahkan oleh Allah untuk bermusyawarah dalam semua hal (wasyawirhum fil amri). Kalau Nabi saja dalam memecahkan perkara itu disuruh untuk bermusyawarah, apalagi yang bukan Nabi.
Sementara itu, menurut Masdar Farid Mas’udi, Ketua PBNU, bahwa golput dalam sejarah Islam sudah terjadi mada masa Khulafaurrasyidin. “Sayyidina Ali itu tidak ikut memilih Abu Bakar untuk mengganti nabi,” katanya.
Dalam fikih syiasah, menurut Masdar yang juga Direktur P3M, memilih pemimpin yang adil atau nasbu al imam bil al-adli ada kewajiban bagi setiap orang yang sudah berhak memilih, karena keadilan merupakan kunci dari setiap kepemimpinan. Dan yang menentukan kepemimpinan yang adil bukan tergantung dari coblosannya akan tetapi mengawal kepemimpinannya hingga kekuasaan berakhir.
Sedangkan keputusan yang hanya menghukumi memilih pemimpin (nasbu al imam) saja, tidak ada adilnya itu tidak bisa, karena orang memilih pemimpin yang tidak adil tidak ada gunanya, kepemimpinan hanya dua menit selesai.
“akan tetapi kalau memilih pemimpin yang adil kita harus mengawalnya selama lima tahun penuh, setelah dipilih tidak boleh di tinggalkan, kalau di tinggalkan menjadi dholim. Untuk memilih pemimpin yang adil merupakan kewajiban kaffah (fardlu kifayah),” tutur Masdar ketika ditemui Risalah NU.
Dikatakan Masdar, untuk memastikan menjadi pemimpin yang adil itu harus di kawal, bukan memilih pemimpin (nasbul imam) lalu ditinggal, yang mencoblos itu ikut dosa.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menilai, fatwa haram golput yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum tentu mendongkrak perolehan suara partai Islam pada pemilu nanti."Saya kira, tidak ada kaitan antara fatwa itu dengan kenaikan perolehan suara partai Islam," kata Hasyim yang dilansir oleh beberapa media kemuka.
Partai yang dinilai mampu memperjuangkan kesejahteraan yang akan dipilih, apa pun asasnya. Partai Islam dinilai tidak mampu membuktikan ke-Islam-annya dalam realitas politik, yang dilakukan sekedar formalisasi, belum mewujudkan Islam sebagai rahmat."Tingkahnya juga sama dengan partai sekuler. Pintar mendalil kalau perilakunya berbeda dengan yang didalilkan, ya sama saja. Masih baik yang sekuler tidak pakai memperkosa dalil," katanya tegas.
Golput bukan sebuah sikap politik yang berdiri sendiri. Karenanya, tidak dapat pula rakyat dipersalahkan dengan hukum yang tunggal. Seharusnya yang dilakukan MUI sebagai panutan umat atau warga memberikan evaluasi atau koreksi yang melatarbelakangi munculnya tindakan golput tersebut. Bukan malah menghakimi orang yang akan melakukan golput. Jadi MUI harus meninjau dengan kritis yang menyebabkan masyarakat golput.
Karena itu, memilih merupakan hak, dan hilangnya kepercayaan terhadap sebuah partai menjadi faktor semakin meningkatnya jumlah golput. Di tambah dengan tingkah laku para anggota Dewan yang dalam pandangan masyarakat memalukan, karena melakukan korupsi dan janji-janji kesejahteraan, membuat rakyat malas memilih wakilnya. Mashudi Umar

Sabtu, 09 Mei 2009

Membincang Ayat-Ayat Pluralisme Agama




Judul Buku : Argumen Pluralisme Agama;
Membagun Toleransi Berbasis Al-Qur’an
Penulis : Abd. Moqsith Ghazali
Penerbit : KataKita, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : xi + 424 halaman
Peresensi : Mashudi Umar*

Perkembangan pluralisme agama di zaman modern ini tidak berjalan mulus, baik di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Konflik, kekerasan dan perang atas dasar kebencian yang diwarnai sentimen agama begitu tampak. Misalnya, konflik Katolik dan Islam di Filipina, konflik Pelestina dan Israel, Hindu versus Islam di India, juga konflik Hindu, Islam dan Budhisme di Srilangka, atau konflik antara Islam Sunni dan Islam Syi’ah di Pakistan dan lain sebagainya.
Sementara beberapa fakta domestik yang terjadi di Indonesia dapat kita lihat beberapa tahun ini. Misalnya, aksi teror terhadap kaum Ahmadiyah yang dianggap telah sesat dari agama Islam yang lurus dan kasus AKKB yang bentrok dengan Front Pembala Islam (FPI) dan lain-lain. Kekerasan demi kekerasan ini selalu muncul dikala umat yang menolak pluralisme agama merasa terancam. Kasus-kasus ketegangan dan konflik bernuansa agama di Indonesia seringkali melibatkan negara beserta lembaga-lembaga agama (baca: MUI) seringkali diskriminatif dalam mensikapi pluralisme agama.
Dalam konteks Indonesia, pluralisme dimaknai sebagai kemajemukan, keberagaman dan kebhinekaan. Keberagaman bukan hanya sebagai sebuah realitas sosial (pluralitas), melainkan juga sebagai gagasan dan ide-ide segar. Kebhinekaan sudah berlangsung berabad-abad, jauh sebelum negara ini terbentuk dan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 bahwa, ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Atas dasar undang-undang ini, semua warga negara dengan beragam identitas kultural, suku, jenis, kelamin, agama, wajib dilindungi oleh negara. Ini juga berarti negara tidak boleh mendiskriminasi warganya dengan alasan apa pun. Pemerintah dan semua warga negara berkewajiban menegakkan konstitusi tersebut.
Akan tetapi bunyi undang-undang tersebut kurang membumi ditingkat masyarakat, sehingga dalam hubungan antar-umat beragama, trauma sejarah dan hambatan psikologis masih berkembang di kalangan tokoh dan umat beragama sendiri. Peristiwa-peristiwa yang berbau SARA yang terjadi selama ini, atau peristiwa-peristiwa lokal lain yang menyerang kepada penganut yang berbeda pamahaman, dimana agama menjadi isu sentral dan senjata utama untuk membenarkan tindakannya.
Ajaran-ajaran dasar agama yang memuliakan perbedaan di satu sisi dan persamaan di sisi yang lain telah tertimbun oleh “kerikil-kerikil” politik dan kepentingan yang dibalut dengan penafsiran yang eksklusif. Penafsiran seseorang (self) atau kelompok tertentu yang bertekad meruntuhkan segala yang lain (the other) telah terbukti menimbulkan keruwetan relasi antarumat.
Salah satu hambatan yang sering kemudian secara sengaja atau tidak sengaja menjadi konflik ideologis dan memiliki dampak politik adalah masih berkembangnya pola pemahaman keagamaan yang bersifat harfiyah, tekstual, dan parsial dalam melihat eksistensi agama-agama lain.
Adalah sangat penting untuk melihat generalitas dan sekaligus partikularitas ayat-ayat Al-Qur’an secara seimbang. Salah satu persoalan krusial yang di dalamnya terjadi polemik penafsiran yang tampaknya belum selesai adalah bagaimana Al-Qur’an berbicara tentang pluralisme agama. Al-Qur’an diyakini tidak mengandung kontradiksi internal sama sekali, karena kalau hal ini terjadi, maka berarti hilang makna keabadian fungsi dan orisinalitas Al-Qur’an.
Sekelompok ayat secara jelas mengkonfirmasi keberadaan agama-agama monoteistik terdahulu, menegaskan bahwa risalah Nabi Muhammad adalah kelanjutan dari risalah nabi-nabi terdahulu. Memerintahkan orang-orang beriman untuk tidak diskriminatif terhadap nabi-nabi (Al-Qur’an, 3:84) dan menjanjikan bahwa siapa pun dari orang beriman, orang yahudi, Nashrani, Shabi’un dan berbuat kebaikan, akan mendapat rahmat Allah dan keselamatan dari ketakutan dan kesedihan (Al-Qur’an, 3: 62, 5: 69).
Sementara itu, tentang pluralisme agama, kitab suci AI-Qur'an, menyebutkan landasan normatif bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (Qs.2:-256). Karena kemajemukan itu kehendak Allah. Tuhan menciptakan manusia beranekaragam agar mereka saling mengenal, memahami dan bekerjasama (Qs. 13: 49).
Sesungguhnya dalam catatan sumber-sumber primer Islam seperti Al-Qur’an, Hadits, dan sejarah Muhammad SAW, bahwa concern utama Islam adalah membangun pluralisme. Inilah sikap dasar-universal Islam. Sementara sikap sosial politiknya berjalan seiring dinamika hubungan antara umat Islam dan umat agama lain. Suatu waktu umat Islam bermesraan dengan Yahudi dan Kristen. Dan di kala yang lain, karena motif ekonomi-politik, umat Islam berada dalam posisi berhadap-hadapan dengan Kristen dan juga Yahudi. Islam bukan agama yang eksklusif seperti yang dipahami oleh beberapa ormas-ormas baru yang selalu membawa nama Tuhan.
Pluralisme dan kebebasan beragama tidak hanya ditemukan dalam teks-teks Al-Qur’an, melainkan juga dideklarasikan Nabi Muhammad ketika di Madinah. Deklarasi ini dikenal dalam literatur Islam sebagai ”watsiqah al-madinah” (piagam Madinah). Begitu juga di dunia Muslim sudah mengeluarkan deklarasi sejenis yang dikenal dengan ”Deklarasi Kairo.”
Kehadiran buku setebal 424 ini tepat pada waktunya ketika pluralisme dianggap sebagai ancaman. Karya ini menjadi perhatian publik bahkan mengagetkan bagi kalangan yang menolak pluralisme agama yang sesungguhnya menjadi sunnatullah. Ia menyampaikan informasi dari sumber-sumber Islam sendiri tentang kehidupan Nabi Muhammad yang bersinggungan dengan pemeluk agama Yahudi, Nashrani dan agama-agama sebelumya.
Pemetaan yang brilian, cerdas, reflektif dan lugas telah dihadirkan oleh Abd. Moqsith Ghazali, intelektual muda Muslim dan dosen Universitas Paramadina Jakarta yang menjembatani ayat–ayat toleran dan intoleran tentang pluralisme agama berbasis Al-Qur’an dengan argumentasi kuat yang didukung oleh liletarul Islam klasik (baca: kitab kuning) menjadi tambah menarik untuk dibaca oleh siapa pun dan kalangan manapun.
Sebab kitab suci Al-Qur’an diyakini turun tidak dalam suatu historical vacuum, ia turun bertahap untuk menjawab pertanyaan, memberikan tanggapan, bahkan menawarkan ”problem-solving” bagi masyarakat ketika itu, untuk kemudian dijadikan pegangan moral bagi masyarakat sesudahnya. Karena pluralisme agama adalah fakta sosial (sunnatullah) yang selalu ada dan telah menghidupi tradisi agama-agama sebelumnya. Banyak orang bicara toleransi, tapi tak banyak yang punya sumber bacaan kuat dalam literatur klasik.

Buku ini adalah sebuah “ijtihad intelektual” dan merupakan kontribusi penting bagi penguatan toleransi beragama dalam perspektif Muslim. Orang berijtihad haruslah dinamis dan terus dilakukan. Sebagaimana sabda nabi: “Barang siapa yang berijtihad, jika benar akan mendapatkan dua pahala, dan jika salah ia mendapatkan satu pahala.”

*Peresensi adalah Penggiat Buku dan Pemerhati Social Keagamaan tinggal di Jakarta

Dimuat di www.indonesiafile.com




Sabtu, 04 April 2009

Membaca Ulang Kontrak Politik Nabi

Oleh : Mashudi Umar

Bulan Rabiul awwal, suatu bulan bersejarah bagi umat Islam, tepatnya pada 12 Rabiul Awwal tahun fil (gajah), yakni lahirnya sosok manusia teladan umat sepanjang zaman, uswah hasanah yang menjadi cerminan manusia terbaik sepanjang masa. Dialah Muhammad SAW. Hari lahir Nabi Muhammad SAW biasa disebut dengan istilah Maulid Nabi atau dalam bahasa Jawa biasa disebut mulud.
Kelahiran seorang anak manusia menjadi istimewa, ketika seseorang yang lahir kemudian mampu memberikan kontribusi yang besar bagi sejarah peradaban manusia. Dia berhasil menggoreskan tinta emas dalam catatan kehidupannya, mengubah kondisi masyarakat yang penuh dengan kebiadaban, ketertindasan, ketidakadilan, kebodohan, dan kemiskinan, menjadi sebuah masyarakat yang beradab, merdeka, cerdas, egaliter, toleran, dan hidup dalam suasana penuh keadilan dan kesejahteraan.

Masyarakat Arab Pra-Islam
Kondisi masyarakat Arab jahili pra-Islam pada waktu Muhammad dilahirkan, bukanlah sebuah tatanan masyarakat yang ideal. Pelbagai kebobrokan melingkupi seluruh sendi kehidupan; agama, sosial-politik, budaya dan sendi-sendi kehidupan lainnya.Dalam ranah agama, paham paganisme (penyembahan terhadap berhala) menjadi keyakinan yang mendarah daging bagi masyarakat Arab ketika itu.
Bahkan, menurut catatan sejarah setiap suku memiliki berhala sendiri. Takhayul bagi mereka adalah sebuah agama yang kuat, seluruh sendi kehidupan mereka dikendalikan oleh takhayul.Kehidupan sosial-politik saat itu juga sangat memprihatinkan. Fanatisme kesukuan menjadi harga mati. Setiap orang bangga akan eksistensi sukunya, sehingga tidak ada ruang bagi orang lain di luar sukunya. Mereka selalu menganggap bahwa hanya suku atau kelompoknya yang paling baik dan berkuasa.
Maka, ketika sentimen kesukuan ini dinodai, pertumpahan darah pun tak dapat dielakkanlagi. Di sisi lain, masyarakat ketika itu sangat memarginalkan posisi perempuan. Eksistensi perempuan tidak dihargai sama sekali. Mereka dianggap sebagai warga kelas dua yang tidak memiliki harkat dan martabat sebanding dengan kaum laki-laki. Keberadaan mereka, baik secara sosial-politik, budaya maupun ekonomi tidaklah bebas. Bahkan mereka dianggap sebagai beban hidup. Sungguh mengerikan Kondisi yang tidak kalah buruknya terjadi pada aspek budaya. Sejarah menyebut masyarakat Arab ketika itu dengan istilah jahiliyah (masa kebodohan). Ilmu pengetahuan menjadi barang langka.
Masyarakat Arab pada waktu itu, menganggap belajar baca-tulis adalah suatu hal yang sia-sia dan hanya buang-buang waktu saja. Kondisi seperti ini yang pada gilirannya menyebabkan mereka berpikir sempit, lebih mengedepankan otot daripada otak. Setiap persoalan diselesaikan dengan cara kekerasan, tidak dengan pikiran jernih.Di tengah kondisi masyarakat yang demikian rusak di berbagai sendi kehidupan itulah, lahir seorang anak manusia yang kelak merombak seluruh tatanan kehidupan jahiliyah, membebaskan masyarakat dari kebodohan menuju pencerahan, kebiadaban menjadi keberadaban, serta ketertindasan menuju kemerdekaan dengan pancaran sinar ilahi, dialah Muhammad saw.
Sejalan dengan bergulirnya waktu, pada usianya yang ke-40, Muhammad SAW mendapat titah berupa wahyu dari Allah SWT. untuk menjadi seorang Rasul (utusan). Mulai saat itu, Muhammad SAW resmi diangkat menjadi seorang Rasul yang mengemban misi profetik, menyebarkan risalah Ilahiyah, menegakkan dakwah amar makruf nahi munkar.Sadar akan amanat yang telah diembankan kepadanya, maka kemudian beliau menyusun strategi dakwah untuk membebaskan masyarakat Arab dari belenggu kemusyrikan, kungkungan kebodohan, cengkeraman penderitaan dan penindasan, serta memperjuangkan harkat dan maratabat manusia sesuai dengan kodratnya.
Perlahan tapi pasti, beliau mulai mengikis paham paganisme, menghilangkan kemusyrikan menuju masyarakat tauhid, mengubah kepercayaan kepada takhayul menuju rasionalitas di bawah bimbingan wahyu, membebaskan kaum mustadh'afin (lemah) dari ketertindasan menuju masyarakat merdeka, serta mengangkat harkat dan martabat perempuan sesuai dengan kodratnya sebagai manusia.
Dalam kurun waktu 23 tahun masa kenabiannya, beliau berhasil membebaskan masyarakat dari beragam bentuk kejahiliyahan; baik dalam bidang akidah, ibadah, ilmu pengetahuan, sosial-politik-ekonomi maupun segala sendi kehidupan lainnya. Selama bentangan waktu tersebut, dalam menjalankan misi dakwahnya, dengan dilandasi semangat pembebasan (liberatif), pencerahan (enlightenment) dan perbaikan (reformasi) sesuai dengan petunjuk wahyu, beliau sukses menciptakan sebuah tatanan masyarakat madani (berperadaban) yang penuh dengan semangat religius, mencintai ilmu pengetahuan, berpikir rasional di bawah bimbingan wahyu, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Karena itulah, tidak salah seandainya generasi intelektual muslim modern mencoba mencari dalam contoh Nabi di Madinah itu suatu ilham untuk mengelola masyarakat modern. Salah satu kebijakan politik yang sering dianggap sebagai kejeniusan Muhammad (Abqariyyat Muhammad), adalah ketika dia memprakarsai suatu kontrak politik antara umat Islam dan kelompok-kelompok sosial lain di Madinah saat itu. Dokumen kontrak ini, dalam sejarah Islam, dikenal sebagai Mitsaq al-Madinah atau Perjanjian Madinah, atau Piagam Madinah.
Penulis Mesir, Muhammad Husen Haikal, dalam Hayat Muhammad (Peri Hidup Muhammad), menyebut hal ini sebagai watsiqah siyasiyyah atau dokumen politik yang menjamin kebebasan iman, kebebasan pendapat, perlindungan atas negara, hak hidup, hak milik, dan pelarangan kejahatan. Muhammad memang seorang rasul, tetapi lebih penting lagi dia adalah pemimpin suatu komunitas konkret yang menjadi embrio sebuah negara di Madinah saat itu. Singkatnya, kehadiran seorang Muhammad di tengah kondisi masyarakat yang bobrok baik kehidupan agama maupun sosialnya, mampu memberikan nuansa kehidupan baru yang lebih agamis, membebaskan dan mencerahkan.
Aka tetapi, bahwa kita (umat Islam) tidak harus mengikuti kebijakan Nabi baik di mekkah dan di Madinah saat itu, harus ditiru 100% pada masa sekarang. Bagaimanapun, contoh Nabi sangat dikondisikan oleh konteks sosial dan sejarah yang spesifik pada saat itu. Model Madinah dan mekkah bisa menjadi inspirasi dan ilham untuk mencari bentuk pengelolaan kehidupan modern sekarang ini bagi umat Islam, tetapi model itu bukanlah juklak yang harus ditiru setindak demi setindak. Umat Islam harus merumuskan sendiri model baru yang sesuai dengan tantangan yang lebih kompleks saat ini.
Oleh sebab itu, melalui refleksi Maulid Nabi Muhammad Saw kali ini, dan menjelang pemilu legislatif dan pemilihan presiden 2009, semoga hadir di hadapan kita sosok manusia-manusia religius yang memiliki semangat pembebasan, memanusiakan manusia. Sehingga mampu menyinergikan antara komitmen keagamaan (spiritual) dan kemanusiaan (sosial), demi terwujudnya masyarakat religius yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga kesejahteraan dan kemakmuran benar-benar dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Semoga!

Penulis adalah pemerhati sosial keagamaan, tinggal di Jakarta

Tulisan ini telah dimuat di HU Pelita, tanggal 28 Mei 2009