Minggu, 26 Oktober 2008

”Kapitalisasi Industri Spiritualitas Itu Berbahaya”

Wawancara dengan KH Lukman Hakim, MA
(Sufiolog dan Pengasuh Kajian Komunitas Sufi di Berbagai Kota)

”Kapitalisasi Industri Spiritualitas Itu Berbahaya”

Pandangan Kiai soal trend sufi sekarang?
Ini sebenarnya soal cara pandang manusia modern yang berorientasi ke ’aku’. Kalau kita melihat seluruh roh dan proses-proses motivasi dalam membangun kepercayaan diri dalam mengeksplorasi ’aku bisa’, ’aku mampu’, ’aku hebat’, dan ’aku kuasa’. Tapi sebenarnya ’aku’ mempunyai sejarah di Prancis dalam drama keagamaan.

Di dalam Al-Quran ada dua ’aku’ yang sangat dramatis, yang merupakan bagian dari tragedi spiritual. Pertama, ini tragedi spiritual yang paling maniak, yaitu tentang ’aku’-nya Iblis. Karena ke’aku’an atas amal ibadahnya dia mengatakan, ana khairun minhu (aku lebih baik dari Adam), pada saat ia itu menjadi takabbur, lalu menjadi kafir dan akhirnya menjadi Iblis.

Kedua, ’aku’nya Firaun yang berbeda latarbelakangnya dengan Iblis. Kalau Iblis latar belakangnya karena prestasi ibadah. Sedang Firaun, dia mengatakan ana rabbukumul a’la (akulah Tuhanmu yang paling tinggi). Ini lantaran Firaun tidak mengenal Tuhan, sejak kecil dia kafir, lalu menjadi Firaun. Kekuatan ’aku’nya ini kelak akan melahirkan apa yang disebut dengan ilmu sihir. Itu semua karena aku, lalu dielaborasi Barat untuk menyihir cara pandang manusia. Mengapa muncul sihir, karena ’aku’, Tuhan itu tidak ada. Ini proses elaborasi alam modern, eksprementalis, sosialis sampai eksistensialis.


Tentang sufisme perkotaan?
Kalau menurut saya, Islam di perkotaan itu ada kecenderungan aktivitas keagamaannya ke arah tontonan, jadi orang melakukan aktivitas keagamaan supaya ditonton. Lantas muncul industri spritual, ini sebenarnya tragedi. Kapitalisasi spritual ini sangat berbahaya. Orang tiba-tiba tertarik karena Tuhan dijadikan komuditas sangat laris sekali.

Sebenarnya definisi tasawuf bagaimana?
Tasawuf itu pada zaman nabi belum ada. Istilah syari’ah saja belum ada, aqidah juga belum ada, istilah tarbiyah juga belum ada. Jadi istilah tasawuf itu dielaborasi dari tiga istilah pada awal munculnya Islam yaitu, Islam, Iman, dan Ihsan. Islam di kemudian hari akan menjadi disiplin ilmu fikih dan syari’ah. Sementara iman, akan menjadi disiplin ilmu teologi dan aqidah. Sedangkan ihsan, akan menjadi disiplin ilmu tasawuf. Ketiga simpul itu, masing-masing menjadi frame dan ada tatanan masing-masing.

Tasawuf baru muncul pada abad ketiga hijriyah, artinya sebelum boleh dikata masih seperti eranya Rasulullah, memang pernah Rasulullah bersabda baik-baik era adalah abadku dan sesudah abadku sampai pada 23 tahun. Itu artinya era Rasul, umatnya masih utuh baik syariatnya, tarekatnya, aqidahnya semuanya masih utuh. Ketika mulai ada degradasi moral di kalangan umat, maka tasawuf dijadikan sebagai terapi, lalu dikembangkan secara akademik, disiplin ilmu tasawuf dan dipelopori oleh beberapa ulama bahkan empat mazhab itu penganut tarekat, walaupun Ahmad Ibnu Hambal masuk tarikat agak akhir. Ia sempat awalnya melarang anaknya dekat sama orang sufi. Tapi ketika beliau masuk sufi, anaknya langsung diminta untuk dekat para ulama sufi, itu yang tidak dibaca oleh Ahmad Bin Hambal. Kemudian sekarang gerakan-gerakan ini memang selalu muncul pada setiap kran kebebasan. Karena puncak dari tasawuf itu adalah Rasulullah bukan siapa-siapa, baik soal metodelogi yang diajarkan pada para sahabat dan yang untuk umum maupun yang khusus. Kelak ilmu khusus itu menjadi pengetahuan-pengetahuan. Di era modern banyak aliran-aliran muncul yang mengatasnamakan tasawuf, tarekat, makrifat tapi tidak lebih dari tasawuf-tasawuf instan yang sebenarnya disebut sufisme. Bahkan banyak yang mengatasnamakan tarekat yang berhubungan dengan proses-proses tasawuf di Indonesia yang suasananya mulai dikenal secara akademik, ketika para kiai mengajar di pesantren, tapi sebelumnya wali songo langsung bentuknya amaliah, tasawuf langsung amaliah. Kelak kulturnya kita rasakan, namun akademiknya baru belakangan.

Kelompok mana saja yang masuk tasawuf instan?
Ya banyaklah, bahkan di iklan di koran-koran misalnya ikut ke makrifat harus bayar sekian. Sekarang atas nama training queotient. Tapi tidak ada yang benar-benar makrifah kepada Allah, sekian banyak manusia mana yang makrifah kepada Allah. Kalau sudah pada industrial dan yang disebut syiar itu dari kedalaman ketaqwaan hati. Dalam dunia tasawuf itu harus mengandalkan Allah lalu baru terekpresi di amaliah bukan sebaliknya.

Kira-kira manfaatnya untuk masyarakat apa?
Karena masyarakat dalam situasi krisis itu selalu muncul yang instan-instan di mana saja. Kita lihat mengapa banyak paranormal, banyak orang yang menjanjikan hal-hal yang instan itu karena krisis. Nah ini kalau ditangkap oleh yang tidak benar ya seperti itu menjadi industri spritual.

Apa karena orang kota tak suka dzikir lama-lama?
Saya punya istilah yang itu diambil dari kata-kata sufi: Sunyi rame-rame, sunyi dalam keramaian, ramai dalam kesunyian. Itu sebenarnya bisa dielaborasi oleh tasawuf orang kota di tengah-tengah kita menghadapi berbagai problem perkotaan. Hati kita tetap sunyi dalam Allah, di tengah-tengah kita sendiri tidak ada siapa-siapa, hati kita tetap ramai dengan dzikrullah. Nah ini yang disebut sunyi dalam ramai, ramai dalam sunyi. Jadi bagaimana caranya ya orang harus berlatih dengan pengetahuan-pengetahuan tasawuf dan amaliahnya di mana seluruh persoalan-persoalan hidup di dunia ini jangan sampai masuk di hati. Hal yang sama kalau wilayah-wilayah ketuhanan jangan dipaksakan masuk pada institusi dunia, nanti semua orang akan mengatasnamakan Tuhan. Lama-lama orang mengatakan ini Tuhan, ini milik Tuhan, kita boleh mengambil dong kan ini milik Gusti Allah, itu kalau hati dielaborasi untuk dunia.

Kalau tasawuf Hamka? Orang kota tak suka ketat ya?
Hamka yang kita kenal adalah kultur tasawuf. Ayahnya seorang sufi dan Hamka sepertinya seorang terpelajar yang coba untuk rasional, tapi pada akhir hayatnya dia menulis tasawuf modern, beliau kemudian mengambil tarekat Naqsyabandiyah, itu yang tidak diikuti oleh Hamkais, pengikutnya belakangan. Sehingga tasawuf hanya dipahami dalam nilai-nilai seperti yang kita kenal Allah itu Esa. Kalau kenal Allah Maha Esa mau ngapain? Tasawuf itu bagaimana komunikasi dengan keesaan itu sendiri, hati kita yang kita kenal. Inilah yang dielaborsi dunia tasawuf agar orang terus menerus online dengan Allah.

Aktivitas kajian sufi kiai sendiri bagaimana?
Ya kita hanya kajian-kajian sufi di berbagai kelompok. Di Jakarta ini ada sekitar 23 komunitas tasawuf. Ada yang kebetulan tarekatnya sama dengan saya, ada juga tarekatnya beda, tapi saya rangkul. Ada majalah sufi untuk memberikan klarifikasi-klarifikasi atas beberapa ketimpangan-ketimpangan tasawuf, selain kita angkat masalah nilai-nilai tasawuf seperti Syaikh Abdul Qadir Jailani, Junaid Al Bagdadi. Tasawuf itu bukan sesuatu yang asing tapi keniscayaan hati yang orang kalau meninggalkan akan mengalami kekeringan hati.

Kajian itu apa rutin?
Ya rutin, ada yang jadwalnya seminggun sekali, dua minggu sekali, sebulan sekali, rata-rata kita buat sebulan sekali. Ya bergantian jadwalnya, bisa Anda lihat di majalah sufi. Dunia tasawuf ini kan ilmunya, amaliahnya namanya tarekat, kemudian pelaku dan namanya sufi. Tapi seluruh definisi tasawuf maupun sufi itu banyak sekali, tapi tujuannya sama yaitu membangun adab. Adab itu lebih tinggi dari akhlaq. Tahapannya, adab, akhlak, baru amal. Adab ini lebih tinggi, lebih agung yang menghubungkan hamba dengan Allah, hamba dengan sesama hamba dan sesama makhluk. Jadi kenapa dulu para sufi punyak ide besar luar biasa. Hampir rata-rata ulama kita sufi. Baru pada era-era tertentu pada abad ke VII Hijriyah munculnya gerakan-gerakan formalisi sufisme yang dipolopori oleh Ibnu Taimiyah. Tapi orang tidak banyak membaca bahwa Ibnu Taimiyah pada usia tua masuk sufi, terutama setelah ketemu Abu Hasan Al-Asy’ari.

Aktifitas sufi di luar kota?
Diluar kota, ada di Surabaya, Malang, Bandung itu sebulan sekali. Kita berharap juga bahwa para ulama itu membimbing. Padahal dulu ceritanya para ulama ketika akan mendirikan NU, dulu kan berdebat nama. Lalu muncul nama Nahdlatul Ulama. Ternyata itu diilhami kitab tasawuf Al-Hikam. ”Janganlah anda bergabung atau berguru kepada orang yang haliyah, rohani maupun wacananya yang tidak menunjukkan anda kepada Allah.” Itu sebenarnya standar NU. Kalau tidak memproduksi ulama, NU akan mengalami degradasi. Para kiai-kiai di pesantren tentu mempunyai itu semua.

Tentang Anand Krisna, bagaimana?
Sufi Krisna itu klenik. Kenapa saya sebut klenik karena mengelaborasi seluruh aliran-aliran sufi yang ada. Pokoknya aliran-aliran sufi dijadikan satu, padahal mungkin ya bisa Anda contohkan mau bikin makanan semua bumbu dimasukin jadi satu, itu mungkin orang muntah, apalagi pada tingkat rohani. Tasawuf bukan produk filsafat, seluruh karya-karya orang sufi itu tidak muncul dari aksioma filosofis, makanya muncul kalimat dalam sufi: cahaya-cahaya para sufi itu mendahului wacananya. Sementara wacana-wacana ulama mendahului cahayanya.

Benarkah tasawuf penghambat ilmu pengetahuan?
Sebenarnya ini hanya soal cara pandang. Al-Quran memang mengecam dunia sampai 115 kali, hanya orang salah mendefenisikan dunia. Dunia adalah masa yang membuat manusia lupa terhadap Allah. Ibadah pun kalau itu lupa terhadap Allah dinilai duniawi. Sama dengan uang halal dengan uang haram kan sama bentuknya. kenapa nilainya beda?

Bagaimana kalau belajar Sufi tanpa guru?
Jangankan sufi, orang mau salat saja tidak pakai guru tidak boleh. Di dunia banyak yang jadi wali tapi jarang yang jadi mursyid, juga banyak mursyid tapi tidak wali. Siapa yang belajar agama tanpa guru, maka dia gurunya adalah syetan. Kita ini masuk ke dunia batin saja, imajinasi syetan itu cepat sekali, ada pintu gerbang untuk dia, cepat sekali, contoh belajar dzikir dari buku. Dalam dunia sufi itu tidak boleh ada tujuan supaya dibukakan rahasia Allah apalagi mencari mukasyafah.
Mashudi Umar dan Haris Muzakky

(Dipublikasikan di Majalah Risalah NU, No.10/Thn II/1429 H)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda