Sabtu, 25 Oktober 2008

Kiai As'ad Syamsul Arifin; Inspirator Asas Pancasila

As’ad kecil lahir pada tahun 1897 M di sebuah perkampungan Syi’ib Ali dekat Masjidil Haram Mekah. Setalah ia besar, lalu diboyong ke tanah air oleh sang ayah Raden Ibrahim atau dikenal dengan Kiai Syamsul Arifin. Di Indonesia, ia tumbuh menjadi ulama besar yang sangat disegani di kancah pertarungan ideologi nasional yang cukup mewarnai kemudian dikenal dengan nama KHR. As’ad Syamsul Arifin.
***
Masih segar dalam ingatan warga NU -waktu itu-, ketika mulai ramai perbincangan mengenai konflik MI-NU dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan membaranya api membicarakan soal rencana pemerintah memberlakukan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi sosial politik maupun kemasyarakatan, tiba-tiba di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo berkumpul ratusan ulama NU untuk mengadakan Musyawarah Nasional (Munas). Ini terjadi pada tanggal 18-21 Desember 1983.

Uniknya, di saat semua ormas Islam banyak menolak asas Pancasila, Munas tersebut justru menerimanya dan menganggapnya bertentangan dengan akidah Islam. Munas juga memutuskan mengembalikan NU ke garis dan landasan perjuangan asalnya, yang kemudian pupoler dengan sebutan kembali ke Khittah 1926. Semua peran itu tidak lepas dari ide brilian Kiai As’ad dalam memulihkan keutuhan NU yang kala itu tercabik-cabik oleh banyak kepentingan.

Adapun rumusan Khittah 1926 hasil Munas Situbondo 1983, pertama, mengembalikan aktivitas NU dari bidang politik ke bidang asalnya, yakni bidang dakwah, pendidikan dan sosial. Terlalu lama NU berkecimpung didunia politik praktis (sejak 1955-1982), hingga garapan pokoknya terbengkalai.

Kedua, menyerahkan sepenuhnya kepada warga NU dalam menyalurkan aspirasi politiknya, apakah ke golkar, PPP maupun PDI –waktu itu- yang memang dipandang baik dan tidak bertentangan dengan Islam.

Ketiga, membenahi organisasi, setelah terperangkat dalam kemelut intern sesuai Munas Alim Ulama di Kali Urang, Yogyakarta tahun 1981, yang melahirkan dua kubu yaitu Cipete dan Situbondo. Pembenahan bidang ini kemudian terbukti dengan terjadinya rekonsiliasi 10 September tahun 1984 di kediaman KH. Hasyim Latif, Sepanjang, Sidoarjo.
Faedah kembalinya NU ke Khittah 1926, disamping rumusan-rumusan di atas, juga mengangkat peran ulama dalam lembaga, seperti Mustasyar dan Syuri’ah, sebagai lembaga tertinggi dalam kepemimpinan NU.

Kiai As’ad yang pada sidang pleno Munas memberikan pengarahan yang dibacakan KH. Imran Rosyadi, sebagai berikut: “NU tanpa ulama adalah bukan NU lagi atau NU tanpa mayoritas ulama dalam kepemimpinan tertingginya adalah bukan kepemimpinan NU lagi”.

Sebenarnya inti dari pengarahan Kiai As’ad itu terangkum dalam keputusan Muktamar NU ke 27 sebagai berikut: “Pada dasarnya NU adalah Jam’iyah Diniyah yang membawa faham keagamaan, maka ulama sebagai mata rantai pembawa faham ahlussunnah wal jamaah, selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbing utama jalannya organisasi”. Keputusan-keputusan brilian dan fundamental ditingkat NU semacam itu, muncul dari Pesantren Sukorejo -orang menyebutnya- yang diasuh oleh Kiai As’ad.

Khittah NU itu dirumuskan sebagai landasan berfikir, bersikap dan bertingkah laku bagi warga NU di semua jenjang dan dalam kegiatan organisasi serta setiap dalam pengambilan keputusan. Landasan tersebut diambil dari intisari cita-cita dasar berdirinya NU, yakni sebagai dasar berkhidmat yang semata-mata dilandasi oleh niat beribadah kepada Allah SWT. Walaupun demikian, Kiai As’ad tidak pernah menduduki jabatan formal di NU. Ia hanya jadi Mustasyar PBNU setelah jadi tuan rumah Munas Alim Ulama dan Muktamar NU yang ke 27 yang bertempat di pesantrennya.

Dalam konteks ke-NU-an, Kiai As’ad merupakan satu-satunya orang yang ditunjuk oleh muktamar NU ke-27 untuk menyusun ahl al-halli wa al-aqdi yang mempunyai otoritas penuh untuk selanjutnya membentuk kepengurusan PBNU setelah NU kembali ke khittah 26, dimana Abdurrahman Wahid menjabat ketua umum PBNU pertama kalinya bersanding dengan KH. Achmad Siddiq sebagai Rais Am PBNU. Ia juga bersama ulama sepuh seperti KH. Ali maksum, KH. Mahrus ali, dan KH. Achmad Siddiq-dikenal sebagai andalan untuk melerai kemelut yang melilit tubuh NU.

Akan tetapi pada mukamar NU ke-28 di Krapyak, Yogyakarta, ketidakharmonisan Kiai As’ad dengan Gus Dur berlangsung terbuka. Ini tercermin dari penyataan Kiai As’ad begitu muktamar selesai. Ia dengan jantan menyatakan ”mufaraqah” terhadap kepemimpinan Gus Dur. Ibarat imam salat, Gus Dur di mata Kiai As’ad sudah batal. Karena itu, tak perlu bermakmum kepadanya, mufaraqah. Tapi, Gus Dur meresponnya dengan ringan. “Mungkin beliau terbawa oleh orang-orang yang melaporkan salah. Lagi pula, wajar saja orang tua marah pada anaknya. Belum tentu laporan orang-orang itu benar,” ujar Gus Dur. Agaknya ucapan Gus Dur itulah yang lebih mengungkap masalah yang sebenarnya. Dan sampai Kiai As’ad wafat Gus Dur belum sempat bertemu dengannya. Sehingga yang tersisa hingga sekarang adalah mengapa waktu itu Gus Dur tidak segera menemui Kiai As’ad? Atau kenapa tidak ada pihak yang berinisiatif mempertemukan keduanya?

Asas Pancasila
Ketika sebagian besar tokoh-tokoh ormas masih sibuk membicarakan rencana pemberlakuan pancasila sebagai satu-satunya asas, Kiai As’ad sudah mengatongi jawabannya. Selain beliau ingin mengembalikan NU ke Khittah asalnya, juga tak mau ketinggalan momentum strategis pada Munas Alim Ulama 1983 itu sebagai ajang perdebatan perihal penerimaan asas tunggal Pancasila.

Memang sebagai organisasi keagamaan (Islam), segala langkah dan gerakannya selalu didasarkan pada kaidah agama. Disisi lain, NU sebagai organisasi kemasyarakatan (sosial) di dalam kehidupan bernegara yang berdasarkan Pancasila. Menerima Pancasila sebagai asas organisasi bukan hanya menggunakan kaidah agama saja, melainkan juga dengan pertimbangan; diantaranya; pertama, bahwa pancasila dirumuskan oleh para tokoh kemerdekaan, termasuk diantaranya KH. A. Wahid Hasyim -tokoh NU.

Kedua, bahwa sila-sila dari Pancasila, terutama sila pertama mencerminkan tauhid, menurut pengertian Islam dan tidak bertentangan dengan agama Islam. Ketiga, bahwa menjaga keutuhan dan kemurnian penafsiran pancasila dari penafsiran yang salah adalah perlu.

Sungguh pun dasar pikiran penerimaan asas Pancasila itu tidak digarap sendiri oleh Kiai As’ad, tapi oleh para tokoh NU -terutama KH. Achmad Siddiq dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Diakui oleh semua tokoh-tokoh NU bahwa peran dan pengaruh Kiai As’ad cukup memberikan warna dalam pencetusan ide brilian itu.

Tidak hanya itu, Munas juga mengeluarkan deklarasi tentang hubungan Pancasila dengan Islam dari sudut sejarah perumusan dan penyusunan sila-sila serta kandungannya. Deklarasi itu dicetuskan di Sukorejo pada 21 Desember 1983. Dan siapa pun tentu masih ingat bahwa Kiai As’ad lah yang pertama kali yang mengemukakan, sila pertama pancasila adalah cerminan dari ajaran tauhid dalam Islam. Bahkan pikiran Kiai As’ad itu dikemukakan langsung kepada Presiden Sueharto, ketika beliau menghadap dalam keperluan perubahan buku PMP.
Ketika sejumlah tokoh Islam mengutip argumen normatif atas penolakannya terhadap Pancasila, dengan tegas Kiai As’ad mengatakan bahwa secara substantif Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai Al-Quran dan al-Sunnah. Walaupun tidak eksplisit kata Al-Quran dan al-Sunnah tidak tercantum dalam sila-sila Pancasila, namun ajaran-ajaran fundamental Islam telah terpatri disana.

“Pada tahun 1983, kalau Kiai As’ad tidak merintis jalan bagi NU untuk mengakui asas Pancasila terus terang saja, tidak pernah ada asas Pancasila. Saya tahu persis masalah ini dan saya ikut jadi sekretaris tim penerimaan asas pancasila,” kata Gus Dur bersaksi dalam buku Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat.

Kiai As’ad telah mengambil peran strategis, ketika para ulama resah gelisah menghadapi problem-problem keumatan dan mereka berkeinginan untuk berhimpun dalam suatu organisasi tertentu, lalu berdirilah NU. Akan tetapi setelah organisasi NU berhasil terbentuk, nama Kiai As’ad sudah tak terdengar lagi. Hampir 20 tahun kemudian, barulah namanya muncul kembali,
ketika mewakili NU menjadi anggota parlemen melalui pemilu 1955.

Lebih seperempat abad kemudian, pertengahan 1982, sosoknya kembali muncul ke publik, yakni di saat NU berada di ambang kehancuran. Kali ini pun hanya sekejap tampil dipentas. Tak lebih dari lima tahun kemudian, karena situasi sudah normal, namanya kembali tenggelam. Penerimaan NU atas Pancasila sebagai satu-satunya asas sebelum ditetapkannya UU keormasan yang dikukuhkan oleh Munas NU di Pesantren Sukorejo, pasti tidak bisa dipisahkan dari pengaruh Kiai As’ad. Bahkan tekad NU untuk kembali ke khittah 26 agaknya tidak luput dari peran yang dimainkannya bersama kiai-kiai yang lain.

Di atas semua itu, apapun kelemahannya, kita harus mengakui bahwa Kiai As’ad telah menorehkan konstribusinya bagi kejayaan Nahdlatul Ulama, Islam dan Indonesia. Kalau kita mengikuti teori eletisme historis yang berpandangan bahwa alur dan warna sejarah itu sesungguhnya dikontruksi dan dikendalikan oleh segelintir aktor, maka Kiai As’ad adalah aktor sejarah yang berperan dalam menggerakkan dan mengendalikan perilaku ribuan umat manusia, terutama di daerah Situbondo, Jawa Timur, sebagai daerah tempat perjuangannya dan kawasan sekitarnya untuk tetap tegak pada acuan-acuan moral dan kemanusiaan. Selanjutnya siapa yang akan menyusul menjadi As’ad-As’ad muda yang lebih brilian dan agresif?
Mashudi Umar

(Dipublikasikan di Majalah Risalah NU, No. 10/Thn II/1429 H)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda