Sabtu, 25 Oktober 2008

Berpuasa Secara Kualitatif, Bagaimana?

MASHUDI UMAR
Penulis, Dewan Redaksi Majalah Risalah PBNU Jakarta

Pengertian ibadah puasa secara fiqih adalah menahan (imsak) untuk tidak melampiaskan keinginan nafsu (makan, minum dan bersetubuh) sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Sedangkan secara psikologis, puasa adalah upaya untuk menahan dari perbuatan mazmumah (tercela) seperti mengumpat, marah, dendam, hasud, sombong berlaku zalim dan sebagainya. Dengan demikian, maka puasa merupakan proses memaksimalkan pengendalian atau controlling dalam setiap aktifitas manusia.

Sementara controlling dari segi manajemen mempunyai peran yang sangat urgen dalam usaha mencapai tujuan sebuah organisasi. Eksistensi manusia di muka bumi ini memerlukan kontrol diri, agar sikap pemikiran dan tingkalakunya tidak keluar dari garis ilahiah dan garis insaniah. Dengan kata lain ibadah yang dilakukan oleh manusia mengekspresi ketaatan kepada Ilahi dan empati yang dalam terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Maka, ibadah puasa merupakan proses untuk membangun ?hablum minallah dan hablum minannas?

Dalam dimensi ilahiah (ta'abbudi) ibadah puasa tercermin ketika manusia bersedia untuk tidak makan, minum dan bersetubuh di siang hari dengan penuh keikhlasan. Karena rasa ihlas itulah Allah memberi perhatian yang khusus terhadap ibadah puasa. Sementara, kualitas dan pahala ibadah puasa dikaitkan dengan sejauh mana hubungannya dengan sesama manusia. Maka di sini kemudian ada semacam kredo: jika seseorang berpuasa kemudian tidak diimbangi dengan kepedulian dan empati kepada persoalan kemanusiaan, maka akan merusak pahala ibadah puasa itu sendiri.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan ada seorang wanita yang melakukan ibadah puasa, namun begitu tengah hari perutnya sakit dan kemudian muntah darah, daging busuk dan kotoran lain dari perutnya. Peristiwa ini kemudiaan dilaporkan kepada Rasul, ternyata wanita itu berpuasa. Namun puasanya wanita ini hanya sebatas fisik terhadap anggota badannya saja, sementara tabiatnya yang suka menyakiti orang lain dan mencaci terhadap sesama tetap dilakukan padahal dia berpuasa. Karena kasus ini, kemudian keluar Hadits yang berbunyi: ?Kam min shoimin laisa lahu minsiyamihi illal atshi wal-jui, Artinya: banyak orang yang berpuasa tetapi mereka tidak mendapat pahala (hikmah) dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.

Kisah di atas mengandung pesan bahwa puasa mengandung dimensi ilahiah dan insaniah. Edwar Mortimer dalam bukunya Islam & Power menyimpulkan bahwa Islam pada hakikatnya lebih banyak memfokuskan pada dimensi kehidupan manusia (social), ketimbang dimensi ritual, seperti ibadah puasa yang identik dengan ritual (ta'bbudi) ternyata di dalamnya tersirat dimensi sosial yang amat besar, sehingga pahala puasa dikaitkan dengan kesolehan sosial.

Namun dalam realitas kehidupan sehari-hari nilai sosial dimensi ibadah, ternyata kurang mendapat apresiasi yang sewajarnya dari umat Islam. Yang terjadi malah sebaliknya, di kalangan masyarakat kita banyak orang yang mampu mengekspresikan dimensi ritualnya, namun mengabaikan dimensi sosial. Maka yang terjadi, meskipun puasa telah meluas dilakukan di masyarakat, tetapi efek positif khususnya dimensi sosial dari puasa belum memberi kontribusi yang besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Fenomena ini dapat kita lihat misalnya, adanya penyimpangan yang masih tumbuh subur di kalangan masyarakat kita. Mereka berpuasa, tetapi dalam waktu bersamaan melakukan pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, melakukan penindasan, melakukan kezaliman ekonomi secara sadar. Mandat dan amanah yang diberikan belum dimaksimalkan untuk kemaslahatan rakyat, fasilitas yang disediakan yang seharusnya digunakan melayani dan membangun akses masyarakat, justru digunakan untuk mempersulit dengan aturan birokrasi yang membebani masyarakat.

Selama ini terlihat para penguasa dan pemimpin bangsa ini dari pusat sampai daerah belum terlihat ada kesungguhan secara maksimal untuk membuat kebijakan yang memberi maslahah secara umum. Namun sebaliknya, hanya digunakan untuk membangun kekuatan dirinya dan kroninya. Sekarang ini, kita dapat menyaksikan pada saat para petani menjerit karena tingginya cost produksi, justru pada saat panen mereka harus berhadapan dengan kondisi pasar yang mengancam mereka. Harga gabah anjlok dan tidak menguntungkan petani yang diakibatkan dari kebijakan pemerintah tentang impor beras. Efek domino selanjutnya adalah terus meningginya angka kemiskinan dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan. Pada waktu yang sama kualitas kesehatan dan pendidikan bangsa kita dari waktu ke waktu cenderung mengalami penurunan.

Begitu juga orang-orang kaya di negeri ini belum memperlihatkan kepedulian mengeluarkan zakat dan sedekah secara maksimal, padahal potensi zakat di negeri ini mencapai triliunan rupiah. Namun realitas yang terjadi sebaliknya, yaitu kemampuan dan kekayaan justru digunakan untuk pamer kekayaan. Fenomena ini dapat kita saksikan dengan menjamurnya mobil mewah seiring dengan menjamurnya pengemis dan anak jalanan, pengamen di jalan raya di kota-kota besar di negeri ini.

Anomali sosial ini juga bisa kita lihat pada misalnya menjamurnya rumah dan apartemen mewah dan pada saat yang sama diiringi oleh menjamurnya gubuk-gubuk liar di pinggir-pinggir sungai yang kumuh dan tempat?tempat pemukiman di kawasan yang tidak sehat serta membahayakan keselamatan jiwa. Fakta ini memperjelas bahwa jurang pemisah antara kaya dan miskin begitu dalam di negeri ini. Sebenarnya penguasalah yang seharusnya paling bertanggungjawab membuat kebijakan untuk mempersempit jarak antara si kaya dan miskin, tetapi kenyataannya kebijakan yang ada, justru semakin memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin.

Melihat fenomena ini sepertinya memperkuat hipotesa bahwa ibadah puasa belum memberi dampak positif terhadap kehidupan bangsa ini. Ini karena, ibadah puasa yang kita amalkan belum tercermin dalam dimensi sosial. Puasa akhirnya hanya menjadi semacam seremonial ritual yang kehilangan makna esensi ruhaniah, Ilahiah dan insaniahnya. Dus, dengan demikian puasa semacam ini belum dapat memberi dampak positif terhadap sikap, pemikiran, mental dan komitmen para pemimpin, penguasa dan komponen bangsa ini dalam upaya memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara secara bersama-sama. Dengan kata lain, idealnya puasa dapat membentuk insan yang bertakwa dan kepribadian yang baik, terutama para pemimpin dan elit bangsa ini.

Maka hadirnya Ramadhan merupakan momentum dan kesempatan baik membangun kesadaran memperbaiki kondisi bangsa, yang dapat dimulai dengan memperbaiki kualitas ibadah puasa. Sudah barang tentu adalah ibadah puasa yang mampu mengekspresikan dimensi ilahiah (ritual) dan insaniah (social) secara bersamaan. Ibadah puasa yang seperti inilah yang memberi dampak positif terhadap perbaikan bangsa dan akan mendapat rahmat, ampunan dan dibebaskan dari api neraka.

Jika waktu sebulan ini oleh para penguasa, pemimpin dan segenap komponen bangsa dapat melakukan puasa secara kualitatif sehingga para penguasa memperlihatkan kebijakan yang memihak kepada rakyat, bertekad menegakkan keadilan dan memberi palayanan kepada masyarakat secara tulus dan ikhlas. Kemudian orang-orang kaya sadar mengeluarkan zakat dan ini akan menjadi tradisi dan kultur yang terus meningkat. Maka, di masa mendatang, insya Allah kondisi kehidupan bangsa dan negara akan berangsur-angsur membaik. Tentu seiring dengan membaiknya kualitas ibadah puasa kita. Amin.

(telah dipublikasikan di Duta Masyarakat, Kamis 04-09-08)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda