Sabtu, 25 Oktober 2008

“Pangeran Sufi Bertutur”


Judul Buku : Mutiara Agung Pangeran Sufi Al-Junaid Al-Bagdhady
Penulis : KH. Moh. Lukman Hakim
Penerbit : Cahaya Sufi, Jakarta
Cetakan : I, April 2008
Tebal : (xix + 317) halaman
Peresensi : Mashudi Umar*

Tasawuf sesungguhnya bukan sesuatu penyikapan yang pasif atau apatis terhadap kenyataa sosial. sebaliknya seperti di teguhkan oleh Dr. Abu Al-Alaf Afifi dalam studinya tentang taswuf Islam klasik, tasawuf berperan besar dalam mewujudkan sebuah revolusi moral spritual dalam masyarakat. Dan bukankah moral spritual ini merupakan ethical basis atau al-asisayatu-akhlaqiyah bagi suatu formulasi sosial seperti dunia pendidikan? Kaum sufi adalah kelompok garda depan ditengah masyarakatnya. Mereka seringkali memimpin gerakan penyadaran akan adanya penindasan dan penyimpangan sosial.

Selain itu tasawuf juga merupakan metode pendidikan yang membimbing manusia kedalam harmoni dan keseimbangan total. Metode ini bertumpu pada basis keharmonisan dan pada kesatuan dengan totalitas alam. Dengan demikian, perilakunya tampak sebagai manefistasi cinta dan kepuasaan dalam segala hal. Bertasawuf yang benar berarti sebuah pedidikan bagi kecerdasan emosi dan spritual –kini dikenal dengan ESQ-. Intinya adalah belajar untuk tetap mengikuti tuntuntan agama, entah itu berhadapan musibah, keberuntungan, kedengkian orang lain, kaya, miskin, atau dalam kondisi pengendalian diri atau pengembangan potensi diri. Sufi-sufi besar seperti Rabi’ah Al-Adawiyah, Al-Ghazali, Sirri Al-Siqthi, Asad Al-Muhasabi dan Junaid Al-Bagdadi, telah memberikan tauladan kepada umat bagaimana pendidikan yang baik itu. Di antaranya berproses menuju perbaikan diri dan pribadi yang pada gilirannya akan menggapai puncak makrifatullah, yakni sang khaliq sebagai ujung terminal perjalanan manusia dipermukaan bumi ini.

Kata-kata tasawuf makin banyak dikenal orang sejak periode Hasan al Basri, putra kelahiran Madinah tahun 21 H / 642M dan wafat pada tahun 729 M. Pada tahun 37 H, setahun setelah perang Shiffin, ia pindah ke Basrah. Di sini ia memulai karirnya sebagai ulama, seorang zahid yang yang sangat berpengaruh. Para ulama tasawuf berpendapat, Hasan Basrilah orang pertama yang mengajarkan ilmu tasawuf yang melambangkan awal sikap asketik dan mengkritisi pemerintahan yang dzalim, karena telah larut dan basah oleh kehidupan dunia dan kering kerontang pada kehidupan akhirat. Motivasi itu disebabkan kemenangan umat Islam yang gilang gemilang pada tahun 711 M, tanpa diimbangi tempaan batin untuk tetap memelihara sikap kemanusiaan mereka.

Sampai abad pertengahan dalam mekanisme penyebaran Islam, kehidupan tasawuf semakin memuncak dan mengalami kemasyhuran, sehingga bermunculan tokoh-tokoh spektakuler semisal al-Hallaj yang menerima eksekusi pancung di tahun 309 H. Imam al-Ghazali, sebagai tokoh yang dijadikan acuan para sufi moderat. Al- Ummi, Abdul Qadir jailani, Ibnu Arabi, adalah menjadi bukti bahwa dimensi spritual lebih menarik para pelakunya ketimbang ilmu lahir.

Pemahaman sufi yang sesungguhnya menjadi sangat menarik ditengah-tengah komersialisasi komunitas sufi diperkotaan bahkan tidak sega-segan untuk meng”komuditas” terhadap Tuhan, untuk dijadikan bisnis miliyaran khususnya di Jakarta. Penulis menyarankan kepada seluruh masyarakat khususnya masyarakat perkotaan untuk hati-hati terhadap model “bisnis spritual-sufi” dengan topeng training, workshop atau pertemuan yang harus mengganti kontribusi jutaan rupiah hanya untuk mencapai ma’rifatullah atau ketenangan jiwa dengan waktu yang sangat singkat, apalagi pembimbingnya tidak kapabel, tidak alim terhadap profesi tersebut. Carilah guru yang sesungguhnya!

Buku ini dibagi menjadi tiga bab yang berkaitan dengan aktivitas dan ketokohan Junaid Al-Bagdhadi yang dilahirkan di kota Irak. Mutiara Agung Pangeran Sufi menjelaskan beberapa hal diantaranya tentang tauhid, taubat, uzlah, gelombang nafsu, dalam perspektif sufi al-Junaid, dll.
Sementara itu, pada konteks studi-studi orientalis dalam hal ini al-Junaid menempati posisi pemikiran yang senantiasa di anggap “misteri” yang dalam. Berbagai metode dilakukan untuk membuka tirai agar bisa mengulas perkembangan pemikiran kaum sufi dalam lingkaran tasawuf.

Sebenarnya kehidupan al-Junaid di Baghdad tidak semulus ketokohannya. Seringkali ia dikejar dan ditangkap, karena dituduh sebagai pelaku kekufuran dan kezindiqan. Ini juga menimpa al-Hallaj, murid al-Junaid dalam eksekusi kematian dan penyaliban, karena ia telah memperkenalkan publikasi rahasia-rahasia spritual. Apalagi pandangan al-Hallaj yang di salah pahami oleh khalayak seputar wujud rabbany dan wujud insany yang mendorong masyarakat terjerumus dalam pandangan “serba boleh”, yang ini merupakan pandangan kalangan yang mewenangkan segala yang haram dan mengabaikan hukum-hukum syariat melalui metode ketiadaan dan ketidakwujudan mereka kemudian disebut ahlul ibahah.

Di tengah realitas itu, bagaimana al-Junaid mampu mengintegrasikan norma yang berbeda-beda tersebut dalam relevansi tasawuf dan doktrin Islam? Bagaimana ia melepaskan diri yang tidak bisa dilakukan oleh al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Busthami ataupun ahlul ibahah (liberalis kebatinan) seperti Rabah dan Kulaib.

Al-Imam Syekh al-Junaid al-Bagdhadi bagi kalangan umat Islam khususnya warga NU adalah tokoh pemuka, pangeran sekaligus “burung merak” yang indah nan agung dari kalangan mereka. Ia adalah pemimpin kaum sufi di zamannya sekaligus menjadi panutan berabad-abad bagi kekuatan umat Islam seluruh dunia. Ia adalah simbol para wali di zamannya sekaligus pahlawan kaum yang telah menggapai tahap makrifatullah. Ia berguru kepada para ulama dan pakar sufi, sepert Al-Muhasiby, Adz-Dzary, Abu Sa’id Al-Kharraz dan ulama besar yang lain. Ia juga melahirkan murid yang terkenal seperti Asy-Syibli dan al-Hallaj.

Al-Junaid mengatakan, apabila kefana’an wujud hamba yang manunggal menuju wujud yang haq, terkadang menyeret pada istilah hulul dan ittihad. Maka ia membuat paradigma kebenaran bahwa fana tersebut adalah fana dalam Allah melaluinya kembalinya hamba yang manunggal kepada al-baqa’ setelah mengalami al-fana’ dan kembali pada al-khudur setelah mengalami al-ghaibah (hal 137). Tahap ini menurut dia adalah tahap kesadaran, sehingga hamba yang manunggal kembali kepada wujud semula.

Lukman Hakim, tokoh NU yang berprofesi sebagai seorang sufiolog -orang memberikan nama-, karena ia mempunyai komunitas sufi di Jabotabek yang berjumlah satu juta orang tiap paguyuban / tempat, bahkan melebar ke Surabaya dan Malang, pengumpul sekaligus menyimpulkan buku ini dari majalah Sufi yang dia pimpin sendiri, mencoba menguraikan tokoh sufi yaitu Junaid Al-Bagdhadi atas beberapa tutur-kata dengan bahasa yang sangat mudah dimengerti. Buku ini sangat penting untuk dijadikan referensi, baik sebagai pemimpin, jama’ah maupun pelaku sufi itu sendiri karena menambah pengetahuan dan wawasan tentang makna dan aplikasi tasawuf-sufi. Selamat membaca!

(Dipublikasikan di Majalah Risalah NU, No. 10/thn II/1429 H)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda