Minggu, 26 Oktober 2008

Mudik, Mempertegas solidaritas Sosial

Oleh: Mashudi Umar*

Lebaran adalah nama lain dari hari raya umat Islam, baik hari raya Idul Fitri maupun hari Raya Idul Adha yang dirayakan setiap tahun atau setiap bulan Syawal setelah sebulan umat Muslim melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Menjelang Idul Fitri, atau akrab disebut lebaran, jutaan orang yang berada di kota-kota mulai berduyun-duyun pulang ke kampung halaman masing-masing. Mudik, itulah istilah yang dipakai untuk menandai fenomena menjelang lebaran tersebut.

Mudik yang berasal dari istilah Betawi ini, dulunya dianggap ungkapan yang memalukan.
Pada tahun 1950-an, anak-anak sekolah dasar di Jakarta selalu merasa malu kalau dikatakan orang udik (hulu), (Kontowijoyo: 1993). Soalnya itu artinya ia diejek sebagai orang desa atau orang yang kampungan. Namun, sekarang, mudik menjadi kebanggaan tersendiri. Terbukti, jutaan saudara kita memadati angkutan umum sampai-sampai pemerintah harus mengadakan perhelatan nasional untuk urusan ini. Sejumlah bus cadangan dioperasionalkan, kapal-kapal perang disulap jadi angkutan umum. Pengertian mudik jarang ditujukan kepada orang kota yang pulang ke kota juga. Mudik seolah sudah menjadi ritus budaya yang begitu mentradisi dalam masyarakat kita. Fenomena mudik berhubungan erat dengan perayaan Idul Fitri atau lebaran yang berpuasa sebulan penuh.

Dari segi ritus budaya, mudik biasanya ditandai dua hal, pertama, mudik menjadi kebutuhan primer tahunan masyarakat urban. Kedua, kendati punya hubungan waktu dengan Idul Fitri yang notabene ritual Islam, mudik juga melibatkan hampir semua lapisan masyarakat (umat), termasuk non-Muslim. Mudik sudah berubah menjadi tradisi budaya yang dipunyai segala kelas sosial dalam masyarakat. Tradisi mudik dijadikan sebagai wahana jembatan nostalgia dengan masa lampau (Kontowijoyo: 1993).

Relasi sosial di perkotaan (tempat mereka mengais rezeki) berbeda 180 derajat dengan solidaritas sosial yang dibangun di pedesaan yang lebih mengedepankan ikatan emosional, moralitas dan kekerabatan. Model solidaritas masyarakat perkotaan cenderung didasarkan pada relasi pekerjaan dan kepentingan, khususnya interes ekonomi. Kompetisi sebagai orang kota membawa kelelahan serta kesumpekan yang luar biasa beratnya. Maka, mudik menjadi ajang melepas kelelahan serta kesumpekan tersebut. Di dalam momen mudik itu, misalnya dilakukan ziarah kubur, di mana di sini relasi dengan masa lampau dicoba dibangun kembali.

Karena itu, bisa dipahami, meski saat perjalanan mudik menemui kesengsaraan, tapi semua itu seolah tak pernah menyurutkan maksud mereka untuk mudik ke kampung asal. Kaum pemudik itu malahan menunggu momentum penting tersebut. Mereka hendak berbagi kegembiraan pada hari perayaan Idul Fitri itu bersama keluarga, saudara, dan kerabat semasa kecil di kampung asal. Spirit itulah yang membuat tradisi mudik tersebut berlangsung sampai sekarang. Karenanya, mudik dan lebaran Idul Fitri lazimnya dijadikan sebagai ajang berbagi kegembiraan antar sesama umat manusia terutama bagi mereka yang mampu dengan mereka yang tidak mampu atau mereka yang tergolong kaya dengan mereka yang miskin sebagai sebuah bentuk perayaan atas kemenangan tersebut.

Lebaran Idul Fitri karena berbarengan dengan kewajiban menunaikan zakat, maka relatif sedikit dimaknai oleh masyarakat sebagai momentum keagamaan atau momentum kesucian untuk berbagi dengan fakir miskin. Lihat misalnya artis, selebritis, pengusaha, legislatif, eksekutif dan orang-orang yang sukses ketika pulang kerumah asal. Mereka berbaur dan berbagi rezeki dengan masyarakat yang tidak mampu. Akan tetapi belakangan ini, momentum suci ini tercederai oleh budaya modern yang mengedepankan penampilan fisik.

Lebaran cenderung dimaknai dan diimplementasikan sebagai ajang “pamer” dan ajang mempertontonkan barang-barang yang serba baru. Maka ketika jelang lebaran datang misalnya, masjid-masjid sudah mulai mengalami kekurangan jama’ah, sebab yang terjadi adalah pergeseran aktivitas masyarakat dari masjid ke tempat pusat-pusat perbelanjaan seperti mal-mal besar, supermaket dan pasar tradisional. Tujuannya tentunya tidak lain dan tidak bukan untuk mengonsumsi barang-barang baru untuk diperagakan di hari lebaran nantinya.
Perilaku yang demikian tentunya tidak salah secara keseluruhan, karena, ketika memang itu menjadi sebuah kebutuhan maka bukanlah masuk dalam sikap yang konsumtivisme, akan tetapi ketika mereka mengkonsumsi barang yang serba baru tersebut bukan berdasarkan logika kebutuhan, maka di situlah praktik konsumtivisme itu terjadi.

Hanya saja, belakangan ini, mudik yang awalnya sesuai dengan tradisi silaturrahmi kerap berubah tujuan. Mudik menjadi ajang pamer harta. Sebagian besar calon pemudik mengakui terus terang, rencananya akan membawa sejumlah harta benda, baik berupa uang ataupun barang (termasuk kendaraan), tatkala mudik. Padahal, sebenarnya, bila diutamakan aspek silaturrahmi yang terkandung dalam makna mudik, ia bisa bermakna positif dalam memperluas rezeki. Sebab, saat silaturrahmi, timbul rasa kasih sayang dan kesamaan visi atau membangun komitmen hidup untuk saling menolong, bahkan lebih dari itu.

Apalagi sebelumnya didahului dengan berpuasa, di mana ia merupakan sarana/ajang melatih diri untuk menahan perilaku yang merusak jalinan persaudaraan semisal menghina, melecehkan, memfitnah dan lainnya. Walhasil, semua pihak dari kelas sosial manapun yang mudik dan akan merayakan lebaran Idul Fitri diharapkan untuk memanfaatkan ajang itu dalam rangka mempererat solidaritas sosial dan tali silaturrahmi kepada saudara, kolega, teman, mitra bisnis ataupun lawan dan antar umat.

Karenanya, kita harus membetulkan niat diri (nawaitu) dan perilaku kita sebelum mudik, sehingga menghasilkan kualitas jalinan persaudaraan sejati. Jagalah hati, jangan dikotori dengan hal-hal negatif misalnya dengan sikap pamer harta, sombong, arogan dan semacamnya, sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an, “janganlah kamu sombong di atas bumi”, (wala tamsyi fi al-ardhi maraha). Semoga.

*Penulis Adalah Pemerhati Sosial Keagamaan & Dewan Redaksi Majalah Risalah PBNU Jakarta


(Telah dipublikasikan di Majalah PEMDA Pamekasan Jawa Timur)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda