Selasa, 25 November 2008

NU Progresif Menembus Batas Tradisi


Judul Buku: Post Tradisionalisme Islam;
Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU
Penulis: Rumadi
Pengantar: KH Abdurrahman Wahid
Penerbit: Fahmina Institute
Cetakan: Pertama, 2008 Tebal: xx + 382 halaman
Peresensi: Mashudi Umar

Nahdlatul Ulama (NU) selalu menjadi inspirasi bagi gerakan dan pemikiran ke-Islam-an yang berwawasan kebangsaan, respons terhadap perubahan dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal Nusantara. NU selalu memosisikan diri sebagai ‘jangkar’ Nusantara, terutama yang digalang kader-kader mudanya.

Mereka mempunyai gagasan keagamaan progresif dalam merespons modernitas menggunakan basis pengetahuan tradisional yang dimiliki setelah dipersentuhkan dengan pengetahuan baru dari berbagai khazanah modern. Mereka tidak hanya peduli dengan modernitas yang terus dikritik dan disikapi secara hati-hati, tetapi juga melakukan revitalisasi tradisi.

Perkembangan NU sendiri, dalam sejarahnya, tidak terlepas dari ikhtiar kaum mudanya dalam mengekspresikan dan menjawab tuntutan zaman. Terlebih dengan menitikberatkan pada upaya pembentukan kader NU yang ideal, yaitu, kader selain memiliki keterampilan dan memiliki ruang kesadaran kosmologi yang luas serta toleran, memiliki pola pikir yang jernih, rasional dan memiliki integritas moral yang kuat dan ditunjang ideologi yang tinggi.

Titik relevansi dengan Khittah NU yang menjelaskan tentang landasan akidah NU yang bertolak pada Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Konsep Islam seperti inilah yang menurut warga NU sebagai faktor fundamental dalam membangun masyarakat NU yang berdiri di atas mabadi khaira ummah. Meski demikian, warna dan gelombang pemikiran yang saat ini menjadi mainstrem di kalangan nahdliyin seakan memiliki dua wajah yang bertentangan, yaitu wajah konservatif yang direpresentasikan golongan tua dan wajah progresif yang digelorakan kelompok intelektual NU. Keduanya memperlihatkan pada garis dinamikanya masing-masing dan sama-sama memiliki pengikut.

Dengan keilmuan pesantren yang mejadi modal awalnya, para intelektual NU yang telah dibekali ilmu pengetahuan dan pendekatan modern, memiliki perspektif tersendiri terutama dalam merespon dan mengkontekstualisasi berbagai masalah sosial, baik politik, ekonomi, budaya dan tema-tema ke-Islam-an progresif.

Memang, munculnya gairah intelektual dalam NU mempunyai latar belakang cukup panjang dan dipengaruhi banyak perspektif, termasuk keputusan NU untuk meninggalkan hiruk pikuk kehidupan politik praktis dengan konsep kembali ke Khittah NU 1926. Terpilihnya KH Ahmad Siddiq sebagai Rais Aam Syuriyah dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU pada Muktamar 1984 di Situbondo, Jawa Timur, turut memperlancar laju pemikiran keagamaan kritis dan progresif di kalangan NU.

Tongkat komando yang dipegang Gus Dur sejak 1984, paling tidak membawa perubahan penting dalam sejarahnya. Pertama, reposisi politik dengan keputusan kembali ke Khittah 1926, dari politik formal dalam panggung pemerintah Orde Baru (Orba) ke politik informal tanpa panggung. Sehingga NU mempunyai posisi tawar yang kuat dengan pemerintah Orba, walau selalu dicurigai.

Kedua, memberi ruang dan pelindung bagi tumbuhnya pemikiran-pemikiran baru dalam NU, baik yang berkaitan dengan teologi, fikih, tasawuf, bahkan doktrin Aswaja dan memperkuat NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang bergelut dengan isu-isu sosial.

Dalam konteks ini, NU menjadikan kepercayaan teologis sebagai basis pengembangan masyarakat dengan mengusung isu-isu universal seperti, hak asasi manusia, demokrasi, masyarakat sipil, termasuk juga kesetaraan gender.

Progresivitas pemikiran kelompok muda NU, pada akhirnya membuahkan kritik dan pertentangan. Kalangan ulama tua memperkukuh barisan guna mengerem gerak maju langkah anak muda NU progresif. Puncaknya, pasca-Muktamar NU di Solo, Jawa Tengah, saat ulama tua yang dimotori kalangan Syuriyah Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, melarang kalangan muda NU yang dianggap liberal, masuk dalam struktur NU mulai dari pengurus ranting sampai pengurus besar.

Uniknya, kedua kelompok yang selalu bersitegang itu sama-sama berangkat dari tradisi. Dengan kata lain, pemahaman terhadap tradisi digunakan sebagai titik pijak dan paradigma untuk melakukan perubahan. Jadi, tradisi sebagai basis gerakan untuk melakukan transformasi sosial.

Dalam pandangan kalangan muda NU, tradisi yang mereka lakukan tidak sekedar mengangung-agungkan dan men-sakralkannya, tetapi juga melakukan kritik mendalam atas tradisinya sendiri, baik yang berkaitan dengan perilaku maupun pemikiran. Bahkan, doktrin Aswaja juga tidak lepas dari sasaran nalar kritisnya. Pikiran dan sikap mereka secara umum jauh lebih responsip dibanding para seniornya dalam menghadapi masalah keumatan.

Munculnya berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang keagamaan juga berpengaruh bagi generasi muda NU. LSM tidak saja menggiatkan kehidupan keagamaan, tetapi juga berperan aktif dalam membangun wacana progresif-kritis.

Sejak era 1970-an, generasi muda NU mulai aktif di LSM untuk melakukan pendampingan dan pengembangan pada masyarakat pedesaan. Aktivitas tersebut membuka kesempatan bagi kalangan muda NU untuk berperan dalam diskursus intelektual secara terbuka dan bersentuhan langsung dengan realitas sosial. Misal, Lakpesdam NU, P3M, LKIS, Syarikat, Puspek Avveroes Malang, Lapar Makasar, Incres Bandung, KKPS Probolinggo, dan lain-lain.

Rumadi, penulis buku ini dan seorang intelektual muda NU yang bekerja di The Wahid Institute, berupaya mengungkap “tabir”, jejaring, mulai dari akar sejarah kemunculan intelektualisme dalam komunitas NU yang dibungkus ‘Post Tradisionalisme’ terutama yang digalang kelompok muda NU yang intelektual-progresif, khususnya menjadi aktivis di LSM.

Peresensi adalah Redaktur Eksekutif Majalah ALFIKR terbitan Institut Agama Islam Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur

(Dimuat di http://www.nu.or.id/, Tanggal 17 November 2008)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda