Rabu, 04 Februari 2009

Pesantren As-Shiddiqiyah

Mempertahankan Tradisi Di Jantung Kota

Pesantren di jantung kota akan memiliki cobaan yang kuat. Namun, dari sini akan tumbuh semangat dan jiwa yang kokoh mempertahankan tradisi dan keyakinan.


Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai watak sendiri, pesantren memiliki tradisi keilmuannya yang berbeda dari tradisi keilmuan lembaga-lembaga lain. Pesantren pada dasarnya adalah sebuah lembaga pendidikan Islam, walaupun ia mempunyai fungsi tambahan yang tidak kalah pentingnya dengan fungsi pendidikan tersebut. Ia merupakan sarana informasi, saran komunikasi timbal balik secara kultural dengan masyarakat dan juga merupakan tempat pemupukan solidaritas dan moralitas masyarakat.

Pesantren dalam wujudnya yang sekarang memiliki sistem pengajaran yang dikenal dengan nama pengajian kitab kuning. Selain itu, dia juga mampu menyerap sejumlah inovasi secara berangsur-angsur selama beberapa abad. Pesantren di Indonesia juga mengalami penyesuaian diri dengan perkembangan zaman dan teknologi. Untuk menyerap informasi sesuai kehendak masyarakat, pesantren selalu dituntut untuk responsif.

Begitu juga dengan pesantren As-Shiddiqiyah, pesantren yang telah menyiapkan beberapa lembaga-lembaga pendidikan umum sesuai dengan kehendak zaman dengan tetap mengacu kepada kaidah fikih: al-mukhafadhatu ‘alal qadimi al-shalih wa al-akhdu bil-jadidl ashlah, melestarikan nilai-nilai baik yang lampau dan mengakomodasi nilai-nilai moderen yang lebih baik.

Pesantren setelah diperkenalkan K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ke dunia internasional, terdapat respon pihak pesantren yang kemudian membuka diri, serta menyesaikannya dengan kehendak zaman. Bahkan Gus Dur dengan beraninya menganggap pesantren sebagai sub kultur pendidikan Indonesia yang ikut serta membentuk karakter masyarakat yang positif. Sehingga pesantren-pesantren NU berlomba-lomba membuka jalur umum (sekolah umum) dan juga menyediakan sebuah lembaga seperti lembaga bahasa Inggris, bahasa Arab, bahkan kemudian tak ketinggalan bahasa Mandarin. “Jadi santri As-Shiddiqiyah harus mampu berbahasa internasional (Inggris dan Arab) sebagai bahasa dakwah untuk komunikasi dengan dunia,” kata pendiri dan pengasuh pesantren, Dr. K.H. Noor Muhammad Iskadar, kepada Risalah NU.

Menurut Kiai Noor yang juga dikenal sebagai penceramah kondang dari Sabang sampai Meraoke ini, Pondok Pesantren As-Shiddiqiyyah didirikan pada bulan Rabiul Awal tahun 1406 H atau 1 Juli 1985 M. Tujuannya, ikut serta mencerdaskan dan memerdekakan anak bangsa yang dibangun dengan moralitas. Sebagaimana pesantren pada umunya lembaga pendidikan keagamaan dan sosial kemasyarakatan, As-Shiddiqiyah senantiasa eksis dan tetap pada komitmennya sebagai benteng perjuangan syi’ar Islam yang berada di jantung kota metropolitan. Pesantren ini terletak di Jalan Panjang, Kedoya, Kebun Jeruk, Jakarta Barat.

Dengan perkembangan zaman dan teknologi yang semakin cepat yang membuat respon masyarakat terhadap pesantren semakin kecil, maka pesantren dituntut harus mampu membuka diri, merespon problema ke umat untuk melahirkan out-put yang benar-benar berguna bagi bangsa dan negara, maka pesantren As-Shiddiqiyah telah membuka delapan sekolah umum dan kampus yang tersebar di beberapa daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bertempat di Kedoya Jakarta, Cimalaya Kerawang, Batuceper Tangerang, Serpong Tangerang, Cijeruk Bogor, Musi Banyuasin Palembang Sumsel, Way Kanan, Lampung, dan Sukabumi Jawa Barat.

Untuk memantapkan nilai-nilai pesantren di tengah masyarakat plural dengan mengacu kepada kaidah fikih tadi, pesantren memadukan klasik dan moderen. Maka pesantren As-Shiddiqiyah mengakomodasi kepentingan pesantren sebagai basis utama santri dengan berbentuk kurikulum dari pesantren dan pendidikan formal. Pesantren As-Shiddiqiyah memiliki tiga tujuan dasar yang sering dibahasakan sebagai trilogi pendidikannya: pertama, membentuk pribadi muslim yang berakhlak mulia karena diharapkan santri As-Shiddiqiyah mampu menjadi pewaris para nabi yang di sesuaikan dengan hadis nabi yang berbunyi; “Ulama adalah pewaris para nabi.” (al-ulamau warastatul al-anbiya’)

Kedua, membangun kemampuan santri dalam berkomunikasi melalui bahasa Arab dalam rangka penguasaan bahasa literatur agama Islam, sehingga para santri mampu mendalami ajaran Islam dari sumbernya yang asli, serta bahasa Inggris sebagai bahasa dakwah dan komunikasi. Karena, santri As-Shiddiqiyah diharapkan mempunyai kemampuan berdakwah di dunia internasional, sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran, “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memeprdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya,” (QS. At-Taubah 22).

Ketiga, membangun kemampuan santri dalam menguasai ilmu pengetahuan umum dan agama sekaligus, agar mereka mampu menjadikan khalifah di muka bumi, sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Quran, “Dan dialah menjadikan kamu khalifah di bumi dan dia meninggalkan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat,” (QS. Al-An’am 165)

Formal & Non-Formal
Pesantren pada umumnya membangun pendidikan formal yang dimulai dari madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar. Pesantren As-Shiddiqiyah berbeda dengan pesantren lain dalam membangun pendidikan formal yang langsung membangun Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan program otomotif, SMK program adminitrasi perkantoran dan akuntansi (As-Shiddiqiyah batuceper), SMK program bisnis & manajemen (Karawang) dan Ma’had ‘Aly Sa’idussiddiqiyah, pendalaman dan penguasaan bahasa internasional (Inggris dan Arab), ulumus syari’ah dan Al-Quran.

Harapan ke depan cita-cita pesantren ini adalah mampu melahirkan santri cerdas, bijak yang mampu mengatasi problem global. “Sehingga santri tidak lagi kaku dan panik melihat kenyataan sosial yang serba unik dan moderen,” ungkap kiai iskandar dengan penuh semangat kepada Risalah NU.
Pesantren As-Shiddiqiyah juga menyediakan pendidikan non formal seperti training bahasa Inggris, kursus dan training bahasa Arab, jam’iyatul tahfidz al-qur’an, kursus dan training manajemen dan metodologi pengajaran, pengajian kutubus salafiyah, training retorika dan praktek dakwah, lembaga bahstul masail, serta lembaga yang membantu mengembangkan bakat dan minat santri untuk lebih percaya diri.

Karena pesantren tidak bisa dilepaskan dari masyarakat sekitar, maka pesantren As-Shiddiqiyah mengupayakan dan menyediakan sebuah lembaga yang bermanfaat yang diperuntukkan masyarakat seperti, Drugs Information Centre of As-Shiddiqiyah (DICA), badan amil zakat, infaq dan shadaqah (BAZIS), pusat penanggulangan bencana alam, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), forum komunikasi umat beragama (FKUB) DKI Jakarta, Balai Kesehatan Masyarakat, dan santri siaga bencana.

Dengan berbekal pendidikan yang berbasis agama dan umum, As-Shiddiqiyah yang kini memiliki jumlah santri sekitar 7.000 orang itu sangat optimis akan out-put santri yang keluar atau jadi alumni dari pesantren ini bisa memberi manfaat bagi nusa, bangsa dan negara yang ditopang dengan moralitas sesuai dengan visinya, “membentuk dan menyiapkan ulama ahlussunnah wal jamaah berwawasan global dan mampu mentransformasikan ilmunya ke dalam bahasa masyarakat dengan perilaku akhlak mulia”.

Motto yang dibangun oleh pesantren As-Shiddiqiyah adalah berakhlakul karimah, berbahasa internasional dan menguasai iilmi pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan iman dan taqwa (IMTAQ). Sehingga mampu menerjemahkan dan mengkontekstualisasikan realitas sosial sesuai dengan kebutuhan zaman dengan misinya: “menyelenggarakan pendidikan berbasis agama, tekhnologi dan pengembangan ekonomi kerakyatan mulai dari TK hingga perguruan tinggi”. Mashudi Umar

Dimuat di majalah Risalah NU, No 11 / Th 11 / 1430 H

2 Komentar:

Pada 27 September 2010 pukul 01.39 , Blogger Unknown mengatakan...

klo udah kerja bisa nyantri disitu nggak,,, ane degradasi iman neeh,,, nggak kuat dengan pergaulan KOTAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA

 
Pada 18 Desember 2010 pukul 01.49 , Blogger Atina BalQis mengatakan...

wah, sayangnya kl mau mondok di sna, harus bljar atau ngajar..
afwan akh, penulisan namanya salah neeh. yg bener asshiddiqiyah...afwan..

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda