Sabtu, 04 April 2009

Agama dan Mashlaha Al-Basyariyah

Pembacaan Terhadap Ajaran Agama-Agama

Oleh: Masyhudi Umar*

Diskursus mengenai agama sangat sarat dengan muatan emosi, kecenderungan dan subyektifitas individu. Agama mempunyai ajaran yang sangat ideal dan cita-cita yang sangat tinggi. Bagi pemeluk fanatiknya, ia merupakan "benda" yang suci, sakral, angker dan keramat. Ia selalu menawarkan ” jampi-jampi” keselamatan, kebahagiaan dan keadilan. Namun, kenyataan berkata lain. Agama tak jarang justru melahirkan permusuhan dan pertengakaran. Fenomena ini dilatarbelakangai oleh; Pertama, pendewaan terhadap agama. Umat beragama sering terjerumus untuk mendewakan agama, istilah-istilah agama pada pemuka agama. Tuhan beserta sifatnya yang menyelimutinya berulangkali hilang dari ingatan. Prinsip-prinsip agama lain ajaran sucinya juga mengalami nasib yang sama. Mereka nyaris habis tinggal jargon-jargon yang tidak mempunyai nyali. Di sini agama bukan lagi sebagai amalan, namun ia berubah fungsi menjadi semisal markas jaringan "mafia" sehingga tidaklah heran kemudian muncul "manipulasi agama" dan "korupsi agama" seperti yang .dikemukakan oleh Maulidin dari eISAD Surabaya dengan mengutip Fritjof Capra, bisa menyebabkan sistem nilai tidak mati, namun kehilangan daya hidup untuk memotifasi dan mengontrol sistem nilai yang ada atau sistem kognitif dan normatif agama berakhir dan tinggal peranannya sebagai ornamen atau hiasan lahiriyah yang tidak fungsional terhadap cara pikir dan tingkah laku.
Kedua, pengkelasan dalam berakhlak. Umat beragama sering terjebak untuk lebih dekat kepada saudara "seagama" (in group fe­eling), dan menomor duakan persahabatan dengan rekan dari aga­ma lain. Hal ini membuahkan sikap kurang obyektif dalam memandang apa yang ada diluar diri sendiri. Misalnya sebagaimana yang dikemukakan Dr. Muslim Abdurrahman dalam Islam Transformatif, kendati keadilan sosial merupakan sendi utama agama, namun jika ketidakadilan tidak menimpa "kita" atau "saudara kita", rnaka "ki­ta" kurang menaruh perhatian.
Dalam artikelnya, Ulil Absar Abdallah, menyegarkan kembali pemahaman islam (KOMPAS, 18/11/ 2002), umat tertentu hendaknya tidak memandang dirinya sebagai "masyarakat" atau "umat" yang terpisah dari golongan lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, searah sesuai dengan fitrah manusia. Musuh semua agama adalah ketidakadilan. Menurut Ulil, misi agama yang paling dianggap penting sekarang ini adalah dimuka bumi, terutama dibidang politik dan ekonomi (tentu juga dibidang budaya) bukan simbol-simbol yang melahirkan kebencian dan pertengakaran.
Ketiga, monopoli kebenaran, Banyak agama -atau bahkan seluruh agama- yang mengajarkan kebenaran absolut bagi pemeluknya. Merupakan suatu kewajaran dan memang sepantasnya dan memberikan doktrin-doktrin keabsolutan kebenaran agama. Nam­un kewajaran itu akan berubah menjadi ketidak wajaran bila tanpa diiringi dengan anjuran penelitian dan pencarian argumen logis atas doktrin-doktrin yang disampaikan dan anjuran mengahargai doktrin orang lain. Lebih-lebih (elit agama) memberikan doktrin tersebut dibarengi dengan penularan anggapan bahwa doktrin-dok-trinvalah yang benar, sementara yang lain salah total, dan akan semakin tragis bila fenomena ini di iringi dengan pelecehan agama lain.
Hati kecil saya sekedar bertanya, jangan-jangan sesuatu yang selama ini kita yakini sebagai kebenaran justru merupakan kesalahan, apakah tidak mungkin ritual-ritual yang selama ini kita jalani bukan mendekatkan kita pada sang pencipta, tapi malah menghantarkan kita ke neraka. Kita mestinya bertanya tentang doktrin-doktrin yang kita terima dan jalankan. Pendeknya harus diwaspadai dan dihindari dogmatisme kebenaran yang sangat berbahaya itu. Kita enggan mempertanyakan segala sesuatu yang telah diyakini sebagai kebena­ran, maka kita akan mudah terjebak pada rajutan kebenaran. "kebenaran banya ilusi" kata Nietzsche. Kebenaran hanyalah konstruksi manusia yang fana (rusak), yang setiap saat mesti siap untuk disalahkan.
Ke­benaran yang maha besar adalah manusia tentang adanya kebenaran yang menaungi segala kebenaran. Inilah yang disebut dengan The Ultimate Reality (realitas puncak) atau The Highest Councioustiess (Kesadaran tertinggi), Dalam Islam, 'seharusnya' dan orang yang sepakat dengan 'kebenaran' adalah Tuhan yang Maha Besar yang sempurna semata hanya Robbul 'Alamin. Sementara seluruh manusia serta apa yang diproduksi oleh manusia adalah relatif. :
Pola Hubungan agama-agama berpijak pada pluralisme agama yang harus diterima secara positif, obyektif, umat beragama dituntut untuk saling mengenal dan tolong-menolong. Hal itu mengandung arti bahwa hidup rukun dan bekerja sama satu dengan yang lain dalam menciptakan kehidupan bersama yang adil, damai, sejahtera merupakan tindak lanjut dari sikap pemahaman keberagamaan agama. "Teologi keselamalan" itu akan terbayangi bila umat beragama dapat keluar dari jebakan struktur, baik struktur; sosial-historis agama, struktur organisasi-agama, ataupun hirarki agama.
Untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat secara universal, umat beragama perlu membebaskan diri dari "keterkungkungan" ideologis mengingat bukan suatu umat agama tertentu saja yang menjadi entitas perjuangan. Corak paradigma sosial agama yang berwujud dinamika pembebasan harus diwujudkan dalam obyektif kemanusiaan secara universal. Suatu paradigma Rahmatan Lil 'Alamin yang menjadi cita-cita suci agama harus ditransformasikan dari bentuk idealnya pada bentuk-bentuk real kehidupan seluruh manusia (Mashlahah al-Basyariyah)
Dengan melepaskan jebakan tersebut, umat beragama akan dapat mewujudkan komunikasi sosial yang terbuka. Pembahasan itu mengandung makna bahwa perjuangan pemeluk agama-agama hanya dianggap sah bila semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran. Dalam kondisi merdeka seperti itu, kritik bisa tertuju kepada agama sendiri dengan terbuka rnenerirna kritik dari pemeluk agama lain. Jadi, kemajemukan tidaklah bisa dijadikan alasan untuk saling mencela dan menumpahkan darah. Justru sebaliknya, kondisi sosial budaya dengan pola kemajemukan selalu memerlukan adanya titik temu dalam menilai kesamaan diri semua kelompok yang ada demi mewujudkan cita-cita kesejakteraan bersama (umat beragama).
Tentang pluralisme agama, kitab suci AI-Qur'an, menyebutkan landasan normatif bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (Qs.2:-256). Karena kemajemukan itu kehendak Allah. Tuhan menciptakan manusia beranekaragam agar mereka saling mengenal, memahami dan bekerjasama (Qs. 13: 49).

Agama: Cerminan Kebijakan Sosial
Setelah landasan kerukunan dan kerja sama agama-agama ditemukan, sekarang kita beralih untuk mengungkapkan nilai-nilai sejati semua agama yang menjadi medan kerjasama agama-agama. Nilai-nilai sejati setiap agama adalah paradigma pembebasan. Individu dan masyarakat serta tanggung jawab sosial yang berdasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan. Mengingat agama seka-ang ini lebih sering menuntut kepatuhan mengurusi masalah individu dalam hubungannya secara pribadi dengan Tuhan (Hablum minallah) dan kurang mewujudkan tatanan kehidupan sosial yang adil. Maka nilai-nilai sejati agama yang berwujud perumusan paradigma sosial berdasarkan nilai-nilai agama menjadi agenda kegiatan paling vital dan urgen.
Agama tanpa tanggung jawab sosial sama saja dengan pemujaan (Clut) belaka. Manusia tidak perlu beragama jika tanpa dibarengi dengan tanggung jawab sosial. Meminjam bahasa Achmad Najib Burhani dalam karyanya, Islam Dinamis -2001, bahwa agama bukanlah pelarian semu dan dalil mencari ketentraman spiritual semata. Ibadah-ibadah ritual dalam agama, cara introspeksi diri. Apakah diri ini memancarkan kepedulian manusiawi dalam kehidupan luas yang multi dimensi atau tidak, apakah pola keberagamaan kita telah membuahkan tanggung jawab sosial atau belum? Kebenaran sesungguhnya bisa dikatakan terwujud bila tanggung jawab sosial agama terintregasi dalam problematika sosial yang nyata dan kesalehan individu tidak steril lagi.
Agama memang memiliki sejumlah nilai, norma, dan aturan yang melekat dalam jiwa masyarakat. Namun berbagai nilai agama itu masih bersifal global atau masih berupa bahan baku. Karena itu, agar ia memiliki makna dan membumi pada jiwa umat manusia, setiap zaman, perlu adanya upaya proses pembumian berdasarkan kebutuhan makro dan mikro. Proses reaktualisasi dan transformasi berbagai nilai positif yang melekat pada agama dalam konteks kontemporer inilah yang akan membantu bagi tumbuhnya etos baru kerja agama-agama yang orisinil dibutuhkan pada zaman baru. Sejauh mana proses ini dilakukan dan berhasil, adalah sejauh pula agama menempatkan fungsinya bagi umat manusia.

Titik Fungsional
"Sekarang bagaimana format gerak dan peran agama-agama untuk mewujudkan kcsejahteraan universal dan Mashlahah al-Basyariyah dapat ditilik pada dua fungsi strategisnya, yaitu: per-tama, bukti ketaqwaan kepada Tuhan. Di hadapan Tuhan, seseorang dinilai baik bila baik pada sesama manusia. Sebaliknya Tuhan akan menilai buruk jika ia buruk dalam pandangan manusia (Masya­rakat). Teosentrisme atau wacana tentang Tuhan hanya akan bermanfaat bila sekaligus menjunjung tinggi harkat dan martabat ma­nusia. Harmoni pada tingkat esoteris hanya akan menjadi perbincangan verbal saja bila tidak ada keterlibatan dalam pemecahan masalah-masalah kemanusiaan yang bersifat global.
Meng-iya-kan Tuhan, tidak berarti menyangkal manusia dan sebaliknya. Meski respon iman dialamatkan kepada Tuhan, tapi komitmen dan respon itu diperintahkan dan diaktualisasikan dalam hubungan makhluk. Bahwa ber-Tuhan justru berada di pihak segenap manusia. Setelah menjawab sapaan Tuhan, manusia harus ketahapan praktis melayani manusia sebagai hamba Tuhan.
Kedua, wujud solidaritas kemanusiaan. Semua umat manusia adalah anggota keluarga Tuhan. Secara fitrah -pandangan manusia ketika lahir dan belum terbentuk oleh lingkunganya- tidak ada perbedaan manusia dengan orang lain. Dalam kehidupan bermasyarakat mereka laksana organ-organ tubuh yang satu. Semuanya kan terundung lara bila salah satu organ nestapa, Berulang-ulang Rasulullah bersabda, bahwa "iman seseorang tidak dianggap sempurna bila tetangganya tidak pernah merasa aman dari ganguanya" (HR Bukhori Muslim). Pada kesempatan lain beliau bersabda, bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainya.
Karena itu, agama hanya kredibel bila dapat menolak segala sikap yang bernafaskan kebencian, balas dendam, pembunuhan dan pemaksaan. Semua agama harus mengembangkan dan mengaktualisasikan sikap kebaikan hati, belas kasihan, solidaritas, persaudaraan universal tanpa membedakan suku, budaya, ras, gender dan agama. Dengan demikian, maka akan terwujud agama-agama yang meyelamatkan terhadap manusia (Mashlahah al-Basyariyyah) sebagai cita-cita hidup di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.

Tulisan ini telah dimuat di Majalah ALFIKR IAI. Nurul Jadid Paiton Probolinggo, No. 10. Th X / Agustus-Oktober 2003

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda