Sabtu, 04 April 2009

Membaca Ulang Kontrak Politik Nabi

Oleh : Mashudi Umar

Bulan Rabiul awwal, suatu bulan bersejarah bagi umat Islam, tepatnya pada 12 Rabiul Awwal tahun fil (gajah), yakni lahirnya sosok manusia teladan umat sepanjang zaman, uswah hasanah yang menjadi cerminan manusia terbaik sepanjang masa. Dialah Muhammad SAW. Hari lahir Nabi Muhammad SAW biasa disebut dengan istilah Maulid Nabi atau dalam bahasa Jawa biasa disebut mulud.
Kelahiran seorang anak manusia menjadi istimewa, ketika seseorang yang lahir kemudian mampu memberikan kontribusi yang besar bagi sejarah peradaban manusia. Dia berhasil menggoreskan tinta emas dalam catatan kehidupannya, mengubah kondisi masyarakat yang penuh dengan kebiadaban, ketertindasan, ketidakadilan, kebodohan, dan kemiskinan, menjadi sebuah masyarakat yang beradab, merdeka, cerdas, egaliter, toleran, dan hidup dalam suasana penuh keadilan dan kesejahteraan.

Masyarakat Arab Pra-Islam
Kondisi masyarakat Arab jahili pra-Islam pada waktu Muhammad dilahirkan, bukanlah sebuah tatanan masyarakat yang ideal. Pelbagai kebobrokan melingkupi seluruh sendi kehidupan; agama, sosial-politik, budaya dan sendi-sendi kehidupan lainnya.Dalam ranah agama, paham paganisme (penyembahan terhadap berhala) menjadi keyakinan yang mendarah daging bagi masyarakat Arab ketika itu.
Bahkan, menurut catatan sejarah setiap suku memiliki berhala sendiri. Takhayul bagi mereka adalah sebuah agama yang kuat, seluruh sendi kehidupan mereka dikendalikan oleh takhayul.Kehidupan sosial-politik saat itu juga sangat memprihatinkan. Fanatisme kesukuan menjadi harga mati. Setiap orang bangga akan eksistensi sukunya, sehingga tidak ada ruang bagi orang lain di luar sukunya. Mereka selalu menganggap bahwa hanya suku atau kelompoknya yang paling baik dan berkuasa.
Maka, ketika sentimen kesukuan ini dinodai, pertumpahan darah pun tak dapat dielakkanlagi. Di sisi lain, masyarakat ketika itu sangat memarginalkan posisi perempuan. Eksistensi perempuan tidak dihargai sama sekali. Mereka dianggap sebagai warga kelas dua yang tidak memiliki harkat dan martabat sebanding dengan kaum laki-laki. Keberadaan mereka, baik secara sosial-politik, budaya maupun ekonomi tidaklah bebas. Bahkan mereka dianggap sebagai beban hidup. Sungguh mengerikan Kondisi yang tidak kalah buruknya terjadi pada aspek budaya. Sejarah menyebut masyarakat Arab ketika itu dengan istilah jahiliyah (masa kebodohan). Ilmu pengetahuan menjadi barang langka.
Masyarakat Arab pada waktu itu, menganggap belajar baca-tulis adalah suatu hal yang sia-sia dan hanya buang-buang waktu saja. Kondisi seperti ini yang pada gilirannya menyebabkan mereka berpikir sempit, lebih mengedepankan otot daripada otak. Setiap persoalan diselesaikan dengan cara kekerasan, tidak dengan pikiran jernih.Di tengah kondisi masyarakat yang demikian rusak di berbagai sendi kehidupan itulah, lahir seorang anak manusia yang kelak merombak seluruh tatanan kehidupan jahiliyah, membebaskan masyarakat dari kebodohan menuju pencerahan, kebiadaban menjadi keberadaban, serta ketertindasan menuju kemerdekaan dengan pancaran sinar ilahi, dialah Muhammad saw.
Sejalan dengan bergulirnya waktu, pada usianya yang ke-40, Muhammad SAW mendapat titah berupa wahyu dari Allah SWT. untuk menjadi seorang Rasul (utusan). Mulai saat itu, Muhammad SAW resmi diangkat menjadi seorang Rasul yang mengemban misi profetik, menyebarkan risalah Ilahiyah, menegakkan dakwah amar makruf nahi munkar.Sadar akan amanat yang telah diembankan kepadanya, maka kemudian beliau menyusun strategi dakwah untuk membebaskan masyarakat Arab dari belenggu kemusyrikan, kungkungan kebodohan, cengkeraman penderitaan dan penindasan, serta memperjuangkan harkat dan maratabat manusia sesuai dengan kodratnya.
Perlahan tapi pasti, beliau mulai mengikis paham paganisme, menghilangkan kemusyrikan menuju masyarakat tauhid, mengubah kepercayaan kepada takhayul menuju rasionalitas di bawah bimbingan wahyu, membebaskan kaum mustadh'afin (lemah) dari ketertindasan menuju masyarakat merdeka, serta mengangkat harkat dan martabat perempuan sesuai dengan kodratnya sebagai manusia.
Dalam kurun waktu 23 tahun masa kenabiannya, beliau berhasil membebaskan masyarakat dari beragam bentuk kejahiliyahan; baik dalam bidang akidah, ibadah, ilmu pengetahuan, sosial-politik-ekonomi maupun segala sendi kehidupan lainnya. Selama bentangan waktu tersebut, dalam menjalankan misi dakwahnya, dengan dilandasi semangat pembebasan (liberatif), pencerahan (enlightenment) dan perbaikan (reformasi) sesuai dengan petunjuk wahyu, beliau sukses menciptakan sebuah tatanan masyarakat madani (berperadaban) yang penuh dengan semangat religius, mencintai ilmu pengetahuan, berpikir rasional di bawah bimbingan wahyu, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Karena itulah, tidak salah seandainya generasi intelektual muslim modern mencoba mencari dalam contoh Nabi di Madinah itu suatu ilham untuk mengelola masyarakat modern. Salah satu kebijakan politik yang sering dianggap sebagai kejeniusan Muhammad (Abqariyyat Muhammad), adalah ketika dia memprakarsai suatu kontrak politik antara umat Islam dan kelompok-kelompok sosial lain di Madinah saat itu. Dokumen kontrak ini, dalam sejarah Islam, dikenal sebagai Mitsaq al-Madinah atau Perjanjian Madinah, atau Piagam Madinah.
Penulis Mesir, Muhammad Husen Haikal, dalam Hayat Muhammad (Peri Hidup Muhammad), menyebut hal ini sebagai watsiqah siyasiyyah atau dokumen politik yang menjamin kebebasan iman, kebebasan pendapat, perlindungan atas negara, hak hidup, hak milik, dan pelarangan kejahatan. Muhammad memang seorang rasul, tetapi lebih penting lagi dia adalah pemimpin suatu komunitas konkret yang menjadi embrio sebuah negara di Madinah saat itu. Singkatnya, kehadiran seorang Muhammad di tengah kondisi masyarakat yang bobrok baik kehidupan agama maupun sosialnya, mampu memberikan nuansa kehidupan baru yang lebih agamis, membebaskan dan mencerahkan.
Aka tetapi, bahwa kita (umat Islam) tidak harus mengikuti kebijakan Nabi baik di mekkah dan di Madinah saat itu, harus ditiru 100% pada masa sekarang. Bagaimanapun, contoh Nabi sangat dikondisikan oleh konteks sosial dan sejarah yang spesifik pada saat itu. Model Madinah dan mekkah bisa menjadi inspirasi dan ilham untuk mencari bentuk pengelolaan kehidupan modern sekarang ini bagi umat Islam, tetapi model itu bukanlah juklak yang harus ditiru setindak demi setindak. Umat Islam harus merumuskan sendiri model baru yang sesuai dengan tantangan yang lebih kompleks saat ini.
Oleh sebab itu, melalui refleksi Maulid Nabi Muhammad Saw kali ini, dan menjelang pemilu legislatif dan pemilihan presiden 2009, semoga hadir di hadapan kita sosok manusia-manusia religius yang memiliki semangat pembebasan, memanusiakan manusia. Sehingga mampu menyinergikan antara komitmen keagamaan (spiritual) dan kemanusiaan (sosial), demi terwujudnya masyarakat religius yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga kesejahteraan dan kemakmuran benar-benar dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Semoga!

Penulis adalah pemerhati sosial keagamaan, tinggal di Jakarta

Tulisan ini telah dimuat di HU Pelita, tanggal 28 Mei 2009

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda