Sabtu, 04 April 2009

Infotainment dan Penderitaan Sosial

Oleh: Masyhudi Umar

Di akui atau tidak, infotainment (berita seputar kehidupan selibritis atau artis) banyak penggemarnya, baik dari kalangan ABG, orang dewasa, termasuk orang tua (laki-laki dan perempuan). Mereka tidak merasa, jika apa yang disenangi itu mengandung efek negatif, tidak mendidik dan banyak mafsadatnya, baik terhadap diri sendiri dan orang lain.
Program infotainment berkembang begitu cepat, hingga kini berjumlah 41 judul di berbagai sistem televisi swasta. Sebanyak 541 tayangan perminggu dengan durasi masing-masing 30 menit. Di antara infotainment itu adalah Was-Was, Otista, Kasak-Kusuk, Halo Selibrity, Kabar-Kabari, Cek dan Ricek dan lainnya. Infotainment -disadari atau tidak- kemudian menjadi tema menarik dalam percakapan sehari-hari.
Perceraian, pergunjingan, pemukulan, kasus narkoba sampai nikah sirri para artis, menjadi makanan empuk para jurnalis infotainment. Begitulah, setiap hari stasiun televisi swasta menayangkan acara, suka maupun duka. Batas antara ranah privat dan ranah public seakan tak ada lagi. Karena faktanya, banyak tanyangan yang mengobok-obok urusan pribadi seseorang. Sementara disisi lain, para penonton infotainment bukan terdiri dari orang-orang yang sadar akan bahaya yang ditimbulkannya. Bahkan diantara mereka sangat menikmati drama pergunjingan dari infotainment. Keadaan ini selaras dengan kepentingan para pembuat infotainment. Karena para penjual berita ini tidak terlalu peduli dengan keadaan para penikmat infotainment. Bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana caranya laku ditengah-tengah masyarakat hingga memperoleh rating tinggi.
Kondisi masyarakat penikmat infotainment tersebut, bisa dipahami karena masyarakat kita adalah masyarakat yang terjangkit budaya instan dan hedon, yang barangkali sudah merambat ke segala lapisan. Diantara sebagian besar bangsa ini mungkin juga latah. Karena segala apa yang dimakan para artis, apa yang dipakai, gaya bicaranya, dan sebaginya itu ditiru semua. Tapi disisi lain, barangkali infotainment juga merupakan tayangan penghibur bagi sebagian besar bangsa Indonesia yang taraf ekonominya rendah. Sehingga disela-sela derasnya kucuran keringat, mereka bersantai sambil menonton tayangan infotainment.
Menyadari akan dampak negatif infotainment dan mempertimbangkannya dari kajian hokum fiqh (syariat), akhirnya pada tanggal 27-30 juli 2006, Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama di Surabaya, mengharamkan tayangan ini dengan beberapa pertimbangan, yaitu, pertama, tayangan infotainment sudak masuk terlalu jauh ke ruang privat yang bisa dikategorekan pergunjingan (ghibah) orang lain di depan public, seperti rumah tangga artis yang dikabarkan retah karena selingkuh, padahal kabar itu hanya gosib belaka, belum tentu kebenarannya. Kedua, tayangan infotainment merupakan salah satu acara yang pada durasinya sudah masuk kategori berlebihan. Karena hampir setiap saat, pemirsa dijelajahi tayangan itu, sehingga masyarakat mudah terbius untuk terus menerus menonton pergunjingan orang lain.
Ketiga, tayangan infotainment telah menimbulkan dampak negatif (mudharat) pada masyarakat. Sehingga menayangkan atau menonton acara yang mengarah pada upaya yang menyebarkan fitnah -melalui acara apapun- adalah haram, kecuali didasari tujuan yang dibenarkan secara syari’at seperti memberantas kemungkaran, memberi peringatan , menyampaikan pengaduan/laporan dan atau meminta fatwa hukum.
Fatwa haram di atas memang menimbulkan pro-kontra. Tapi demikian, jika ditelisik melalui kode etik pers, para jurnalis infotainment dan juga produsernya, tampaknya kurang mengindahkan aturan yang telah disepakati para jurnalis ini. Karena mereka hanya mengemplementasikan aspek syarat yang membuat beriata, yaitu 5W + 1H (what, who, when, where, whay, dan haw), lebih-lebih mereka juga mengabaikan persoalan public dalam memberitakan hasil reportasenya.
Lantas, apakan infotainment itu bagian dari pers? Menurut Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Jakarta, tayangan infotainment perlu dilihat dari dua aspek, yaitu apakah tayangan ini memenuhi kepentingan public dan etika jurnalistik. Artinya jika tayangan infotainment itu tidak memenuhi kepentingan masyarakat, maka acara ini telah melanggar kode etik jurnalisme. Karena semangat jurnalisme itu mengabdi pada kepentingan public.
Ala kulli hal, infotainment jelas bukan sesuatu yang mulia dan terpuji. Tetapi melarang masyarakat menonton infotainment juga tidak akan mengakhiri penderitaan social khalayak penggemar infotainment, lantas?
Barangkali menengahi persoalan ini dengan melakukan pendidikan terhadap tiap-tiap kelompok dalam masyarakat tentang bahaya infotainment, merupakan jalan yang lebih bijak. Bagaimana menurut anda sendiri?

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Majalah ALFIKR IAI Nurul Jadid, No 14 Th. X1V / Desember 2006-Februari 2007)

2 Komentar:

Pada 4 April 2009 pukul 11.44 , Blogger David Pangemanan mengatakan...

INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung
di bawah 'dokumen dan rahasia negara'. Maka benarlah statemen KAI : "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap". Bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah sangat jauh sesat terpuruk dalam kebejatan.
Quo vadis hukum Indonesia?

David
(0274)9345675

 
Pada 14 Juni 2009 pukul 17.04 , Anonymous Anonim mengatakan...

sorry mas tak copy demo kepentingan umat

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda