Selasa, 20 Januari 2009

Menjelajahi Sisi Lain Keteladanan Kiai As’ad

Judul Buku: Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat
Editor: Syamsul A. Hasan
Penerbit: Pustaka Pesantren-LKIS, BP2M PP Salafiyah Syafiiyah
Cetakan: Ketiga, 2008Tebal: xxxi + 214 halaman
Peresensi: Mashudi Umar

Di deretan ulama-ulama besar di Indonesia, nama Kiai As’ad tentu bukanlah nama yang asing. Ia merupakan mediator berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) dan salah seorang inspirator penerimaan asas Pancasila di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, yang ia pimpin.

Sebagaimana kita ketahui, sebelum NU berdiri, pada 1924, Kiai Kholil Bangkalan mengutus Kiai As’ad muda sebagai santrinya pergi ke Tebuireng, Jombang, untuk menyampaikan lambang/tanda kepada KH Hasyim Asy’ari. Pertama, Kiai As’ad diutus untuk menyampaikan sebuah tasbih dan ucapan surat Thaha Ayat 17-23 yang menceritakan mukjizat Nabi Musa dan tongkatnya ke Kiai Hasyim. Setahun kemudian, Kiai Kholil mengirim Kiai As’ad kepada Kiai Hasyim Asy’ari dengan mengucapkan: Ya Jabbar, Ya Qahhar. Kedua peristiwa ini diyakini sebagai persetujuan Kiai Kholil atas berdirinya NU dan pemilihan KH Hasyim Asy’ari sebagai pemimpin spritual masyarakat pesantren.

Hingga akhirnya, dalam konteks ke-NU-an, Kiai As’ad merupakan satu-satunya orang yang ditunjuk oleh Muktamar ke-27 NU untuk menyusun ahl al-halli wa al-aqdi yang mempunyai otoritas penuh untuk selanjutnya membentuk struktur Pengurus Besar NU setelah NU kembali ke Khittah 1926, di mana Abdurrahman Wahid menjabat Ketua Umum PBNU pertama kalinya bersanding dengan KH Achmad Siddiq sebagai Rais Am PBNU. Ia juga bersama ulama sepuh, seperti KH Ali Maksum, KH Mahrus Ali, dan KH Achmad Siddiq—dikenal sebagai andalan untuk melerai kemelut yang melilit tubuh NU. Memang, Kiai As’ad tidak pernah menduduki posisi strategis dalam struktural NU, ia hanya menduduki Mustasyar PBNU waktu itu.

Masih segar dalam ingatan warga NU—waktu itu--, ketika mulai ramai perbincangan mengenai konflik MI-NU dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan membaranya api membicarakan soal rencana pemerintah memberlakukan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi sosial politik maupun kemasyarakatan, tiba-tiba di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah berkumpul ratusan ulama NU untuk mengadakan Musyawarah Nasional (Munas). Ini terjadi pada 18-21 Desember 1983.

Uniknya, di saat semua ormas Islam banyak menolak asas Pancasila, Munas tersebut justru menerimanya dan menganggapnya tidak bertentangan dengan akidah Islam. Munas juga memutuskan mengembalikan NU ke garis dan landasan perjuangan asalnya, yang kemudian populer dengan sebutan kembali ke Khittah 1926. Semua peran itu tidak lepas dari ide brilian Kiai As’ad dalam memulihkan keutuhan NU yang kala itu tercabik-cabik oleh banyak kepentingan.

Menurutnya, Pancasila tidak bertentangan sama sekali dengan Islam. Sila pertama adalah ajaran tauhid dan sila-sila berikutnya adalah implementasi dari ajaran Islam. Sementara, sejumlah tokoh Islam yang menolak mengutip argumen normatif atas penolakannya terhadap Pancasila, dengan tegas, Kiai As’ad mengatakan, bahwa secara substantif Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai Al Quran dan Al Sunnah. Walaupun tidak eksplisit kata Al Quran dan Al Sunnah tidak tercantum dalam sila-sila Pancasila, namun ajaran-ajaran fundamental Islam telah terpatri di sana.

Sedangkan rumusan Khittah NU 1926 hasil Munas di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah pada 1983, pertama, mengembalikan aktivitas NU dari bidang politik ke bidang asalnya, yakni bidang dakwah, pendidikan dan sosial. Terlalu lama NU berkecimpung di politik praktis (sejak 1955-1982), hingga garapan pokoknya terbengkalai.

Kedua, menyerahkan sepenuhnya kepada warga NU dalam menyalurkan aspirasi politiknya, apakah ke Partai Golkar, PPP maupun Partai Demokrasi Indonesia–waktu itu—yang memang dipandang baik dan tidak bertentangan dengan Islam.Ketiga, membenahi organisasi, setelah terperangkat dalam kemelut intern sesuai Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta, pada 1981, yang melahirkan dua kubu yaitu Cipete dan Situbondo. Pembenahan bidang ini kemudian terbukti dengan terjadinya rekonsiliasi 10 September 1984 di kediaman KH Hasyim Latif, Sepanjang, Sidoarjo.

Faedah kembalinya NU ke Khittah 1926, di samping rumusan-rumusan di atas, juga mengangkat peran ulama dalam lembaga, seperti Mustasyar dan Syuriyah, sebagai lembaga tertinggi dalam kepemimpinan NU.

Buku ini sudah dalam cetakan edisi ketiga. Dengan kata lain, buku ini tetap menarik untuk dibaca, dijadikan referensi untuk membaca kembali perjuangan Kiai As’ad waktu penjajahan Kolonial Belanda.

Buku ini tidak berbicara soal Kiai As’ad sebagai penyelenggara dan pertemuan alim ulama NU atau Munas di pesantrennya, juga tidak berbicara mengenai pembentukan awal berdirinya NU, di mana Kiai As’ad sebagai penyambung komunikasi antara Syaikhona Kiai Kholil Bangkalan dengan Syaikhona Kiai Hasyim Asy’ari.

Penyunting buku ini, Samsul A. Hasan, sebagai santri Pesantren Salafiyah Syafi’iyah yang juga sangat produktif menulis di beberapa media melakukan penelitian yang mengurai tentang keberanian Kiai As’ad mengumpulkan para bajingan sebagai sisi lain kehidupan nyata Kiai As’ad di samping gambaran di atas, juga mengungkap tentang kepiawaiannya dalam mendekati para tokoh bajingan tengik, yang kemudian dikumpulkan dalam wadah pelopor. Sehingga masyarakat ada yang memanggil Kiai As’ad—waktu itu—sebagai “singa” berjalan.

Peresensi adalah Redaktur Eksekutif Majalah Alfikr terbitan Institut Agama Islam Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur

Dimuat di http://www.nu.or.id/. tanggal 19/01/2009

Menampilkan Islam Toleran Melalui Kurikulum Pendidikan

Oleh Mashudi Umar

Di era sekarang ini, mengembangkan sikap pluralisme pada peserta didik adalah mutlak segera “dilakukan” oleh seluruh pendidikan agama di Indonesia demi kedamaian sejati. Pendidikan agama Islam perlu segera menampilkan ajaran-ajaran Islam yang toleran melalui kurikulum pendidikanya dengan tujuan dan menitikberatkan pada pemahaman dan upaya untuk bisa hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya, baik secara individual maupun secara kolompok dan tidak terjebak pada primordialisme dan eklusifisme kelompok agama dan budaya yang sempit.

Sehingga sikap-sikap pluralisme itu akan dapat ditumbuhkembangkan dalam diri generasi muda kita melalui dimensi-dimensi pendidikan agama dengan memperhatikan hal-hal seperti berikut:

Pertama, pendidikan agama seperti fiqih, tafsir tidak harus bersifat linier, namun menggunakan pendekatan muqaron. Ini menjadi sangat penting, karena anak tidak hanya dibekali pengetahuan atau pemahaman tentang ketentuan hukum dalam fiqih atau makna ayat yang tunggal, namun juga diberikan pandangan yang berbeda. Tentunya, bukan sekedar mengetahui yang berbeda, namun juga diberikan pengetahuan tentang mengapa bisa berbeda.

Kedua, untuk mengembangkan kecerdasan sosial, siswa juga harus diberikan pendidikan lintas agama. Hal ini dapat dilakukan dengan program dialog antar agama yang perlu diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Islam . Sebagai contoh, dialog tentang “puasa” yang bisa menghadirkan para bikhsu atau agamawan dari agama lain. Program ini menjadi sangat strategis, khususnya untuk memberikan pemahaman kepada siswa bahwa ternyata puasa itu juga menjadi ajaran saudara-saudara kita yang beragama Budha. Dengan dialog seperti ini, peserta didik diharapkan akan mempunyai pemahaman khususnya dalam menilai keyakinan saudara-saudara kita yang berbeda agama. karena memang pada kenyataanya “Di Luar Islampun Ada Keselamatan”.

ketiga, untuk memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga-lembaga pendidikan Islam bukan hanya sekedar menyelenggarakan dialog antar agama, namun juga menyelenggarakan program road show lintas agama. Program road show lintas agama ini adalah program nyata untuk menanamkan kepedulian dan solidaritas terhadap komunitas agama lain. Hal ini dengan cara mengirimkan siswa-siswa untuk ikut kerja bhakti membersihkan gereja, wihara ataupun tempat suci lainnya. Kesadaran pluralitas bukan sekedar hanya memahami keberbedaan, namun juga harus ditunjukkan dengan sikap konkrit bahwa diantara kita sekalipun berbeda keyakinan, namun saudara dan saling membantu antarsesama.

Keempat, untuk menanamkan kesadaran spiritual, pendidikan Islam perlu menyelenggarakan program seperti spiritual work camp (SWC), hal ini bisa dilakukan dengan cara mengirimkan siswa untuk ikut dalam sebuah keluarga selama beberapa hari, termasuk kemungkinan ikut pada keluarga yang berbeda agama. Siswa harus melebur dalam keluarga tersebut. Ia juga harus melakukan aktifitas sebagaimana aktifitas keseharian dari keluarga tersebut. Jika keluarga tersebut petani, maka ia harus pula membantu keluarga tersebut bertani dan sebagainya. Ini adalah suatu program yang sangat strategis untuk meningkatkan kepekaan serta solidaritas sosial. Pelajaran penting lainnya, adalah siswa dapat belajar bagaimana memahami kehidupan yang beragam. Dengan demikian, siswa akan mempunyai kesadaran dan kepekaan untuk menghargai dan menghormati orang lain.

kelima, pada bulan Ramadhan, adalah bulan yang sangat strategis untuk menumbuhkan kepekaaan sosial pada anak didik. Dengan menyelenggarakan “program sahur on the road”, misalnya. Karena dengan program ini, dapat dirancang sahur bersama antara siswa dengan anak-anak jalanan. Program ini juga memberikan manfaat langsung kepada siswa untuk menumbuhkan sikap kepekaan sosial, terutama pada orang-orang di sekitarnya yang kurang mampu.

Selain beberapa hal di atas, perlu kiranya mengajarkan materi Aqidah Inklusif.Sebagaimana telah banyak diketahui umat Islam, aqidah berasal dari bahasa Arab yang berarti “kepercayaan”, maksudnya ialah hal-hal yang diyakini oleh orang-orang beragama. Dalam Islam, aqidah selalu berhubungan dengan iman. Aqidah adalah ajaran sentral dalam Islam dan menjadi inti risalah Islam melalui Muhammad.

Tegaknya aktivitas ke-Islaman dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang dapat menerangkan bahwa orang itu memiliki akidah. Masalahnya karena iman itu bersegi teoritis dan ideal yang hanya dapat diketahui dengan bukti lahiriah dalam hidup dan kehidupan sehari-hari, terkadang menimbulkan “problem” tersendiri ketika harus berhadapan dengan “keimanan” dari orang yang beragama lain. Apalagi persoalan iman ini, juga merupakan inti bagi semua agama, jadi bukan hanya milik Islam saja. Maka, tak heran jika kemudian muncul persoalan truth claim dan salvation claim diantara agama-agama, yang sering berakhir dengan konflik antaragama.

Menuju Pendidikan Inklusif

Untuk mengatasi persoalan seperti itu, pendidikan agama Islam melalui ajaran aqidahnya,perlu menekankan pentingnya “persaudaraan” umat beragama. Pelajaran aqidah, bukan sekedar menuntut pada setiap peserta didik untuk menghapal sejumlah materi yang berkaitan denganya, seperti iman kepada Allah SWT, Nabi Muhamad SAW, dll. Tetapi sekaligus, menekankan arti pentingya penghayatan keimanan tadi dalam kehidupan sehari-hari. Intinya, aqidah harus berbuntut dengan amal perbuatan yang baik atau akhlak al-Karimah pada peserta didik. Memiliki akhlak yang baik pada Tuhan, alam dan sesama umat manusia.

Pendidikan Islam harus sadar, bahwa kerusuhan-kerusuhan bernuasan SARA seperti yang sering terjadi di Indonesia ini adalah akibat ekspresi keberagamaan yang salah dalam masyarakat kita, seperti ekspresi keberagamaan yang masih bersifat ekslusif dan monolitik serta fanatisme untuk memonopoli kebenaran secara keliru. Celakanya, ekspresi keagamaan seperti itu merupakan hasil dari “pendidikan agama”.

Pendidikan agama dipandang masih banyak memproduk manusia yang memandang golongan lain (tidak seakidah) sebagai musuh. Maka di sinilah perlunya menampilkan pendidikan agama yang fokusnya adalah bukan semata kemampuan ritual dan keyakinan tauhid, melainkan juga akhlak sosial dan kemanusiaan.

Pendidikan agama, merupakan sarana yang sangat efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta didik. Perbedaan agama di antara peserta didik bukanlah menjadi penghalang untuk bisa bergaul dan bersosialisasi diri. Justru pendidikan agama dengan peserta didik berbeda agama, dapat dijadikan sarana untuk menggali dan menemukan nilai-nilai keagamaan pada agamanya masing-masing sekaligus dapat mengenal tradisi agama orang lain.

Target kurikulum Agama Islam harus berorientasi pada akhlak. Bahkan dalam pengajaran akidahnya, kalau perlu semua peserta didik disuruh merasakan jadi orang yang beragama lain atau atheis sekalipun. Tujuanya adalah bukan untuk “konfersi”, melainkan dalam rangka agar mereka mempertahankan iman. Sebab, akidah itu harus dipahami sendiri, bukan dengan cara taklid, taklid tidak dibenarkan dalam persoalan akidah. Selain itu, pada masalah-masalah syari’ah. Dalam persoalan syariah, sering umat Islam juga berbeda pendapat dan bertengkar.

Maka dalam hal ini pendidikan Islam perlu memberikan pelajaran “fiqih muqarran”untuk memberikan penjelasan adanya perbedaan pendapat dalam Islam dan semua pendapat itu sama-sama memiliki argumen, dan wajib bagi kita untuk menghormati. Sekolah tidak menentukan salah satu mazhab yang harus diikuti oleh peseta didik, pilihan mazhab terserah kepada mereka masing-masing.

Melalui suasana pendidikan seperti itu, tentu saja akan terbangun suasana saling menenami dalam kehidupan beragama secara dewasa, tidak ada perbedaan yang berarti diantara “perbedaan”manusia yang pada realitasnya memang berbeda. Tidak dikenal superior ataupun inferior, serta memungkinkan terbentuknya suasana dialog yang memungkinkan untuk membuka wawasan spritualitas baru tentang keagamaan dan keimanan masing-masing.

Pendidikan Islam harus memandang “iman”, yang dimiliki oleh setiap pemeluk agama, bersifat dialogis artinya iman itu bisa didialogkan antara Tuhan dan manusia dan antara sesama manusia. Iman merupakan pengalaman kemanusiaan ketika berintim dengan-Nya (dengan begitu, bahwa yang menghayati dan menyakini iman itu adalah manusia, dan bukanya Tuhan), dan pada tingkat tertentu iman itu bisa didialogkan oleh manusia, antar sesama manusia dan dengan menggunakan bahasa manusia.

Tujuan untuk menumbuhkan saling menghormati kepada semua manusia yang memiliki iman berbeda atau mazhab berbeda dalam beragama, salah satunya bisa diajarkan lewat pendidikan akidah yang inklusif.

Dalam pembelajaranya, tentu saja memberikan perbandingan dengan akidah yang dimiliki oleh agama lain (perbandingan agama). Meminjam bahasanya Alex Roger (1982: 61-62), pendidikan akidah seperti itu mensyaratkan adanya fairly and sensitively dan bersikap terbuka (open minded). Tentu saja, pengajaran agama seperti itu, sekaligus menuntut untuk bersikap “objektif” sekaligus “subjektif”. Objektif, maksudnya sadar bahwa membicarakan banyak iman secara fair itu tanpa harus meminta pertanyaan mengenai benar atau validnya suatu agama. Subjektif berarti sadar bahwa pengajaran seperti itu sifatnya hanyalah untuk mengantarkan setiap peserta didik memahami dan merasakan sejauh mana keimana tentang suatu agama itu dapat dirasakan oleh orang yang mempercayainya.

Akhirul Kalam
Ala kulli hal, melalui pengajaran akidah inklusif seperti itu, tentu saja bukan untuk membuat suatu kesamaan pandangan, apalagi keseragaman, karena hal itu adalah sesuatu yang absurd dan agak mengkhianati tradisi suatu agama, yang dicari adalah mendapatkan titik-titik pertemuan yang dimungkinkan secara teologis oleh masing-masing agama. Setiap agama mempunyai sisi ideal secara filosofis dan teologis, dan inilah yang dibanggakan penganut suatu agama, serta yang akan menjadikan mereka tetap bertahan, jika mereka mencari dasar rasional atas keimanan mereka.

Akan tetapi, agama juga mempunyai sisi real, yaitu suatu agama menyejarah dengan keagungan atau kesalahan-kesalahan yang biasa dinilai dari sudut pandang sebagai sesuatu yang memalukan. Oleh karena itu, suatu dialog dalam perbandingan agama harus selalu mengandalkan kerendahan hati untuk membandingkan konsep-konsep ideal yang dimiliki agama lain yang hendak dibandingkan, dan realitas agama—baik yang agung atau yang memalukan—dengan realitas agama lain yang agung atau memalukan itu dengan demikian, akan dapat terhindar dari suatu penilai standar ganda dalam melihat agama lain. Wallahu A’lam Bi As-Shawab

Penulis adalah Redaktur Pelaksana Majalah ALFIKR IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo & Dewan Redaksi Majalah Risalah NU Jakarta.

(Sumber www. Pesantrenvirtual.com/index/islam kontemporer)