Rabu, 04 Februari 2009

KH. Zaini Mun’im

Ulama Organik yang Bersahaja

Sang ayah memberikan nama Abd. Mughni tapi setelah menunaikan ibadah haji dirubah menjadi Zaini. Ia lahir pada tahun 1906 di desa Galis Pamekasan Madura dari pasangan KH. Abd. Mun’im dan Nyai Hamidah. Dari garis ayah, Zaini merupakan keturunan dari raja-raja Sumenep yang menjulur kebelakang hingga Sunan Kudus. Sementara dari garis Ibu, ia adalah keturunan dari raja-raja Pamekasan. Ia adalah seorang bangsawan yang bertitelkan Raden yang sangat di segani di Madura. Demikian pula, dari sudut ekonomi, keluarga Kiai Abd. Mun’im termasuk dalam deretan orang yang berkecukupan, bahkan sangat kaya, jika di bandingkan dengan keluarga lainnya dikalangan masyarakat Pamekasan.
Pada usia 11 tahun Zaini masuk sekolah volk school (sekolah rakyat) hingga tamat tahun 1921. pada usianya yang ke 15 tahun, ia kemudian berangkat ke Bangkalan untuk nyantri di pesantren Kademangan yang di asuh oleh Kiai Khalil. Di Bangkalan inilah Zaini mampu menghafalkan 10 juz al-Qur’an dan kitab Alfiyah Karya Ibnu Malik.
Menginjak usia 24 tahun, Zaini berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sekembalinya dari Mekkah ini, ia kemudian melanjutkan studinya di pesantren Banyuanyar Pamekasan Madura yang di asuh oleh Kiai Abdul Hamid. Setelah itu ia melanjutkan studi lagi ke pesantren Sidogiri. Ia hanya satu tahun dan kemudian kembali ke kampung halaman karena ayahnya meninggal dunia. Dirasa ilmunya kurang seberapa, Zaini mondok lagi ke pasantren Tebuireng Jombang yang berguru langsung kepada Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Tahun 1928, ia bersama orang tua dan kakeknya menuju Mekkah. Di samping menunaikan ibadah haji, juga melanjutkan studi di Mekkah yang tinggal di sifirlain. Pada tahun 1934, a pulang ke Indonesia untuk melanjutkan kepemimpinan di pesantren yang telah ditinggal ayahnya.

Melawan Kolonial Belanda
Dengan seperangkat ilmu yang diperoleh, baik pengetahuan agama, maupun pengetahuan umum yang dilengakapi dengan wawasan politik serta budi pekerti yang lihur, KH. Zaini mun’im tidak tinggal diam berpangku tangan melihat keganasan penjajah Belanda. Ia terlibat langsung dalam kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sejak kembali dari Mekkah, kiai Zaini segera bergabung dalam organisasi nahdlatul ulama (NU) untuk melawan kolonial Belanda.
Di masa pendudukan Jepang, di samping aktif memberikan penyuluhan kepada para petani, khususnya petani tembakau, kiai Zaini juga terlibat sebagai anggota bahkan pimpinan barisan pembela Tanah Air. Tahun 1943, ketika kekejaman tentara jepang telah memuncah dengan menginjak-injak warga Madura yang berujung pada penderitaan masyarakat, maka dengan dimotori oleh sejumlah kiai, maka pecahlah peperangan. Beberapa kiai -termasuk kiai Zaini- ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.
Setelah bubarnya pertahanan rakyat di Madura, karena terdesak oleh musuh yang sangat kuat, maka kiai Zaini terpaksa meninggalkan kampung halaman menuju daerah Asembagus Situbondo. Setelah sampai di sana, kiai Zaini kemudian menetap di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo yang di asuh oleh Kiai Syamsul Arifin. Pesantren tersebut menjadi pilihan, karena pesantren ini telah ditetapkan Belanda sebagai daerah suci (Heillinge Zone), daerah terlarang bagi tentara Belanda untuk memasukinya.
Kiai Zaini tinggal dipesantren Sukorejo hingga pertengahan tahun 1948 dan setelah itu ia pindak ke Probolinggo. Awalnya kiai Zaini tinggal sebentar di Kraksaan untuk kemudian pindah ke Desa Karanganyar Paiton yang sekarang menjadi komplek Pondok Pesantren Nurul Jadid. Tidak lama ia menetap, Belanda mengetahui bahwa orang yang di anggap berbahaya dan sudah di cari-cari ada di sana. Maka ditangkaplah ia dan di penjara di LP Probolinggo. Ia masuk penjara tanggal 9 Desember 1948 sampai tanggal 18 Maret 1949.

Merintis Pesantren Nurul Jadid
Pada awalnya, kedatangan KH. Zaini Mun’im pada tahun 1948 di Probolinggo sesungguhnya tidak bermaksud mendirikan sebuah pesantren, melainkan untuk mengisolir diri dari keserakahan dan kekejaman kolonial Belanda. Oleh karenanya, ia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain hingga akhirnya memutuskan diri untuk mencari tempat tinggal yang permanen.
Untuk memutuskan, dia berkonsultasi pada Kiai Syamsul Arifin (ayahanda kiai As’ad) yang akhirnya menyarankan agar dia tinggal di Desa Karanganyar -Tanjung orang menyebutnya- Paiton. Kemudian bersama dua orang santri Syafi’uddin dan Syaifuddin, yang di anggapnya sebagai amanah dari Allah yang tidak boleh di abaikan.
Mulai saat itu, ia menetap bersama santrinya. Namun tidak lama kemudian ia ditangkap kembali oleh Belanda, karena semenjak di Madura Kiai Zaini memang menjadi incaran. Setelah tiga bulan di penjara dan dikembalikan lagi ke Karanganyar untuk mengasuh santri-santrinya yang sedang menunggu kehadirannya.
Dalam keadaan yang sudah mulai kondusif, pada tahun 1950 Kiai Zaini di kejutkan oleh surat panggilan oleh Menteri Agama (waktu itu Kiai Wahid Hasyim). Kiai Zaini diminta menjadi penasehat dan pimpinan rombongan jama’ah haji Indonesia ke Mekkah. Sekaligus niatan untuk menyebarkan agama Islam sampai kepolosok tanah air tercapai dengan semboyan, ”hidup saya akan diwakafkan untuk penyiaran dan meninggikan agama Allah SWT.”
Ketika Kiai Zaini menjalankan tugas di Mekkah, datanglah dua orang santri yang bermaksud untuk belajar pada kiai Zaini yaitu kiai Muntaha dari pesantren Bata-Bata Madura dan kiai Sufyan dari Pesantren Zainul Hasan Genggong. Kedua kiai inilah yang melanjutkan pembangunan pesantren yang dirintis oleh kiai Zaini. Di samping memberikan pengajian kepada santrin-santrinya, juga melakukan kontak komunikasi dengan masyarakat sekitar pesantren, sehingga pesantren mulai dikenal oleh masyarakat di sekitarnya. Jumlah santri yang menetap di pesantren berjumlah sekitar 30 orang dibawah asuhan kiai Sufyan dan kiai Munthaha. Dengan kharisma yanmg dimiliki, kiai Sufyan dengan mudah dapat membangun beberapa asrama yang terbuat dari bambu (cangkruk) untuk tempat tinggal santri.
Sepulangnya kiai Zaini dari tanah suci dan terlihat beberapa gubuk sudah mulai berdiri, maka tergeraklah ia untuk menyerahkan pondok ini kepada kiai Sufyan. Sementara kiai Zaini berkeinginan untuk mendirikan pondok ditempat yang lain, akan tetapi tawaran ini di tolak oleh kiai Sufyan.
Upaya perubahan yang dilakukan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya terhadap masyarakat Karanganyar tersebut, kemudian dibalas dengan sikap simpati masyarakat berupa dukungan terhadap perkembangan pesantren Nurul Jadid. Di antaranya adalah dukungan masyarakat Karanganyar terhadap berdirinya Lembaga Pendidikan mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT).Pesantren yang diasuh KH Zaini Mun’im ini nampaknya mendapat pengakuan yang cukup luas di kalangan masyarakat. Terbukti dengan semakin banyaknya jumlah santri yang berdatangan dari segala penjuru tanah air, bahkan dari luar negeri (Singapura dan Malaysia). Hingga saat ini pesantren Nurul Jadid telah melahirkan ribuan alumni.
Kiai Zaini di samping alim juga kiai intelaktual, organik yang mampu mengolah pikiran-pikirannya yang brilian dengan dibuktikan menulis beberapa kitab yang di antaranya adalah, bidang ushul fiqh (Taysir Ushul Fi Al Ilmal Ushul), fiqh (Nahdam Safinah Al-Najah), aqidah (Syu’ab Al Iman) dan tafsir (Tafsir Al-Qur’an Bi Al Imlak).
Seluruh kitab yang ditulis dengan gaya bahasa yang memikat tersebut hingga sekarang tetap menjadi koleksi perpustakaan pesantren Nurul Jadid. Kitab-kitab itu terus menjadi bacaan pupoler, bahkan “menu wajib” para santri NJ (Nurul Jadid) -orang menyebutnya-. Belakangan isi kitab tersebut telah menjadi modal para alumni pesantren NJ yang tersebar di Nusantara bahkan luar Negeri dalam berdakwah ditengah masyarakat multikultural.

Kiai Zaini di samping menjadi pengasuh pesantren, ia juga aktif di NU dengan menjadi Rais Syuri’ah NU cabang Kraksaan, terhitung mulai tahun 1953 hingga 1975, sebuah pengabdian yang cukup panjang. Pada tahun 1960, kiai Zaini terpilih sebagai Wakil Rais Syri’ah PWNU Jawa Timur mendampingi kiai Mahrus Ali sebagai Ra’isnya.
Ala Kulli Hal, memang sejarah tampaknya telah berpihak kepadanya. Ia berhasil menyeberang zaman, ia melihat ke “depan bersama sejarah”, sehingga ia tak terkutuk. Kiai Zaini tidak ikut menyaksikan muktamar Situbondo, ia adalah pemilih ide agar NU kembali ke Khittah. Namun suaranya tenggelam oleh hiruk pikuk NU berpartai. Ketika ide itu diimplementasikan, dia telah mendahului berpulang ke rahmatullah. Ia wafat pada tanggal 29 Juli 1976 M/ 29 Rajab 1396 H. dalam usia 70 tahun.
Kiai Zaini adalah tokoh yang sangat di segani dan di hormati. Secara intelektual, kiai Zaini tidak diragukan lagi. Ia termasuk rentetan para kiai yang cukup produktif dari pesantren yang melahirkan karya-karya intelektual, betapa dunia tulis menulis di pesantren tidaklah mati, melainkan terus dinamis. Kiai Zaini menjadi eksis dan tumpuan untuk bertanya dan sumur tempat menimban wejangan dan nasehat-nasehat bijak. Ia, walaupun berada dalam derajat tinggi, kiai Zaini tetap dengan kebersahajaan dan ke-zuhudan-nya.
Mashudi Umar

Dimuat di majalah Risalah NU, No 11 / Th 11 / 1430 H

Heboh, Kakek-Kakek Incar Gadis Bau Kencur

Syeh Puji alias Pujiono mungkin masih wajar, menikahi Ulfa di usia puber kedua. Tapi Ki Masyhurat dan Haji Naning, mereka adalah kakek-kakek uzur yang mengincar gadis-gadis bau kencur. Ki Urat, ia biasa dipanggil, lelaki uzur asal Sumenep-Madura ini, mungkin lebih heboh. Dengan mengoleksi istri 10 orang, ia menikahi istri-istrinya di usia antara 9-12 tahun.

Haji Naning, kakek 65 tahun, asal Dusun Pattontongan, Kecamatan Mandai, Sulawesi Selatan, menikahi Nurlia gadis berusia 11 tahun. Bahkan, Naning mengincar Nurlia sejak masih usia Balita (bayi usia di bawah lima tahun).

Syeh Puji, Ki Urat dan Naning semuanya seperti berkedok orang-orang yang membantu dhuafa. Gadis-gadis muda belia tersebut direlakan orang tuanya untuk dinikahkan dengan kakek-kakek, karena mereka terbelit kemiskinan.
Dari 10 istri Ki Urat, lima di antaranya dipersunting ketika masih di bawah umur. Sebagian besar, orang tua gadis-gadis cilik itu menyatakan ikhlas dan rela putrinya dinikahkan.

‘’Bukan hanya orang tuanya yang menerima dan ikhlas, namun gadis-gadis kecil itu senang hati menerima pinangan Abah,’’ ujar Mujiburrahman orang kepercayaan Ki Urat.
Jibur menjelaskan, mereka yang dinikahi Ki Urat yang tergolong usia dini ( usia di bawah 16 tahun), adalah Ernawati (ketika kelas VI SD), Hindun (dikawini tatkala kelas 1 SMP), Maskiyah ketika masih 15 tahun, Sahama dinikahi saat kelas IV Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) dalam usia 10 tahun. Yang terbilang nyaris cukup umur adalah Linda Yusniah, yang dinikahi saat belum genap 17 tahun.

‘’Ki Urat menyontoh pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah. Dibolehkan mengawini perempuan yang sudah haid karena sudah dianggap aqil baligh. Bahkan belum haid sekalipun dapat dinikahkan asal tidak digauli dulu sebelum haid,’’ ujar Jibur mengutip pendapat ulama madzhab fiqih..

Ketika ditanya apakah setelah perkawinan itu para istri di bawah umur tersebut langsung digauli Ki Urat, Jibur mengaku tidak mengetahui secara pasti. Cuma dia melihat, istri-istri sang kiai yang dikawini dalam usia dini tersebut tidak langsung punya anak sampai bertahun-tahun. Kini para istri Ki Urat yang dinikahi, berusia rata-rata 25 tahun.
‘’Ki Urat kan tahu hukum beristri yang masih di bawah umur. Tidak mungkin beliau mengeksploitasi anak-anak,” kata Jibur.
Komentar Jibur dibenarkan Hj. Maskiyah, istri kelima Ki Urat. Menurutnya, perkawinan di bawah umur tidak perlu diperdebatkan. Yang penting orangtua dan anak yang akan dinikahkan setuju dan sudah dinyatakan aqil baligh atau setidaknya sudah mengalami haid.

“Yang penting, sang suami bertanggungjawab menafkahi istrinya baik secara lahir maupun batin,’’ ujar Maskiyah yang saat dikawin KH Masyhurat berumur 15 tahun.Dari 10 istri Ki Urat, hanya satu yang sudah tua saat dinikahi. Yakni Hj. Zubaidah, yang dikawin sewaktu dia telah berumur 45 tahun. “Jadi tak benar, Ki Urat kawin hanya karena nafsu, melainkan untuk ibadah dan dakwah,’’ tegasnya Maskiyah.
Ki Urat sendiri mengatakan bahwa perkawinannya urusan pribadi dan hak asasi. Bagi dirinya, poligami demi mengikuti sunnah Rasul. Sepanjang memiliki kemampuan secara ekonomi, serta bisa berbuat adil dan baik terhadap istri, ya boleh-boleh saja poligami.

Ia menegaskan, dirinya melakukan pernikahan dengan motif ibadah, bahkan demi syi’ar Islam dan bukan karena dorongan nafsu birahi. “Intinya untuk syi’ar Islam. Kan salah satu cara untuk menyebarkan agama Islam dengan cara memperbanyak keturunan,” tegas kakek yang kini memiliki 24 orang anak.

Sedang Haji Naning, kakek berusia 65 tahun yang memperistri Nurliah, gadis berusia 12 tahun yang tinggal di Mandai, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, punya alasan lain. Katanya, ia menikah gadis bau kencur itu, karena ingin membantu orang tuanya, Sattu Tanyang dan Hani yang kesulitan ekonomi.

Awalnya, keinginan Haji Naning tak mendapat restu pemerintah setempat. Kepala Dusun Tokka, Dg Selle, menolak keras keinginan kakek tua itu, sebelum melamar ke keluarga gadis itu dan mendapat restu dari istri pertamanya.

Akhirnya Naning berhasil meluluhkan orang tua Lia dan Kepala Desa setempat. Pasangan itu dinikahkan Imam Masjid Al-Ikhlas, Yamin pada 27 Desember tahun lalu. Sementara mahar yang diberikan berupa cincin emas satu gram, beras 150 liter dan uang tunai Rp5 juta. Naning becerita selain mahar, biaya nikah ini mengeluarkan uang sebesar Rp 650 ribu. “Saya menikah dengannya tidak ada motif apapun, bahkan saya belum apa-apakan dia,” ujar Naning.

Namun tak lama setelah perhelatan pernikahan, masyarakat heboh begitu tersiar kabar bahwa sang kakek telah menikahi gadis bau kencur. Kepala Kepolisiaan Sektor Kota Mongcongloe Maros, AKP M. Jafar Sain turun langsung memeriksa pasangan itu untuk dimintai keterangan terkait dengan perkawinan tersebut. Naning mengaku tidak tahu bahwa perkawinan di bawah umur itu melanggar aturan. Walaupun akhirnya, Naning bersedia menceraikan istri keduanya tanpa syarat. “Kalau disuruh bercerai saya setuju, saya juga tidak akan menuntut uang dan barang pemberian saya dikembalikan,”katanya.

Menurut Direktur Lembaga Perlindungan Anak Sulawesi Selatan, Mappinawang, mengatakan motivasi perkawinan tidak lazim ini didorong faktor ekonomi. Islam memang tidak memberikan batas usia dalam perkawinan. Akan tetapi, negara kita adalah negara hukum yang melarang pernikahan di bawah umur.

Kantor Urusan Agama (KUA), mesti bekerja ekstra bersosialiasasi bawah pernikahan di bawah umur, entah dengan dalih sunnah nabi dan ekonomi dan sebagainya adalah tindak pencabulan dan eksploitasi terhadap perempuan. Dengan kata lain, eksploitasi, kekerasan dan pencabulan terhadap perempuan masih “berkeliaran” di depan mata perempuan itu sendiri.
Mashudi Umar

Dimuat di majalah Risalah NU, No 11 / Th 11 / 1430 H

Pesantren As-Shiddiqiyah

Mempertahankan Tradisi Di Jantung Kota

Pesantren di jantung kota akan memiliki cobaan yang kuat. Namun, dari sini akan tumbuh semangat dan jiwa yang kokoh mempertahankan tradisi dan keyakinan.


Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai watak sendiri, pesantren memiliki tradisi keilmuannya yang berbeda dari tradisi keilmuan lembaga-lembaga lain. Pesantren pada dasarnya adalah sebuah lembaga pendidikan Islam, walaupun ia mempunyai fungsi tambahan yang tidak kalah pentingnya dengan fungsi pendidikan tersebut. Ia merupakan sarana informasi, saran komunikasi timbal balik secara kultural dengan masyarakat dan juga merupakan tempat pemupukan solidaritas dan moralitas masyarakat.

Pesantren dalam wujudnya yang sekarang memiliki sistem pengajaran yang dikenal dengan nama pengajian kitab kuning. Selain itu, dia juga mampu menyerap sejumlah inovasi secara berangsur-angsur selama beberapa abad. Pesantren di Indonesia juga mengalami penyesuaian diri dengan perkembangan zaman dan teknologi. Untuk menyerap informasi sesuai kehendak masyarakat, pesantren selalu dituntut untuk responsif.

Begitu juga dengan pesantren As-Shiddiqiyah, pesantren yang telah menyiapkan beberapa lembaga-lembaga pendidikan umum sesuai dengan kehendak zaman dengan tetap mengacu kepada kaidah fikih: al-mukhafadhatu ‘alal qadimi al-shalih wa al-akhdu bil-jadidl ashlah, melestarikan nilai-nilai baik yang lampau dan mengakomodasi nilai-nilai moderen yang lebih baik.

Pesantren setelah diperkenalkan K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ke dunia internasional, terdapat respon pihak pesantren yang kemudian membuka diri, serta menyesaikannya dengan kehendak zaman. Bahkan Gus Dur dengan beraninya menganggap pesantren sebagai sub kultur pendidikan Indonesia yang ikut serta membentuk karakter masyarakat yang positif. Sehingga pesantren-pesantren NU berlomba-lomba membuka jalur umum (sekolah umum) dan juga menyediakan sebuah lembaga seperti lembaga bahasa Inggris, bahasa Arab, bahkan kemudian tak ketinggalan bahasa Mandarin. “Jadi santri As-Shiddiqiyah harus mampu berbahasa internasional (Inggris dan Arab) sebagai bahasa dakwah untuk komunikasi dengan dunia,” kata pendiri dan pengasuh pesantren, Dr. K.H. Noor Muhammad Iskadar, kepada Risalah NU.

Menurut Kiai Noor yang juga dikenal sebagai penceramah kondang dari Sabang sampai Meraoke ini, Pondok Pesantren As-Shiddiqiyyah didirikan pada bulan Rabiul Awal tahun 1406 H atau 1 Juli 1985 M. Tujuannya, ikut serta mencerdaskan dan memerdekakan anak bangsa yang dibangun dengan moralitas. Sebagaimana pesantren pada umunya lembaga pendidikan keagamaan dan sosial kemasyarakatan, As-Shiddiqiyah senantiasa eksis dan tetap pada komitmennya sebagai benteng perjuangan syi’ar Islam yang berada di jantung kota metropolitan. Pesantren ini terletak di Jalan Panjang, Kedoya, Kebun Jeruk, Jakarta Barat.

Dengan perkembangan zaman dan teknologi yang semakin cepat yang membuat respon masyarakat terhadap pesantren semakin kecil, maka pesantren dituntut harus mampu membuka diri, merespon problema ke umat untuk melahirkan out-put yang benar-benar berguna bagi bangsa dan negara, maka pesantren As-Shiddiqiyah telah membuka delapan sekolah umum dan kampus yang tersebar di beberapa daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bertempat di Kedoya Jakarta, Cimalaya Kerawang, Batuceper Tangerang, Serpong Tangerang, Cijeruk Bogor, Musi Banyuasin Palembang Sumsel, Way Kanan, Lampung, dan Sukabumi Jawa Barat.

Untuk memantapkan nilai-nilai pesantren di tengah masyarakat plural dengan mengacu kepada kaidah fikih tadi, pesantren memadukan klasik dan moderen. Maka pesantren As-Shiddiqiyah mengakomodasi kepentingan pesantren sebagai basis utama santri dengan berbentuk kurikulum dari pesantren dan pendidikan formal. Pesantren As-Shiddiqiyah memiliki tiga tujuan dasar yang sering dibahasakan sebagai trilogi pendidikannya: pertama, membentuk pribadi muslim yang berakhlak mulia karena diharapkan santri As-Shiddiqiyah mampu menjadi pewaris para nabi yang di sesuaikan dengan hadis nabi yang berbunyi; “Ulama adalah pewaris para nabi.” (al-ulamau warastatul al-anbiya’)

Kedua, membangun kemampuan santri dalam berkomunikasi melalui bahasa Arab dalam rangka penguasaan bahasa literatur agama Islam, sehingga para santri mampu mendalami ajaran Islam dari sumbernya yang asli, serta bahasa Inggris sebagai bahasa dakwah dan komunikasi. Karena, santri As-Shiddiqiyah diharapkan mempunyai kemampuan berdakwah di dunia internasional, sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran, “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memeprdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya,” (QS. At-Taubah 22).

Ketiga, membangun kemampuan santri dalam menguasai ilmu pengetahuan umum dan agama sekaligus, agar mereka mampu menjadikan khalifah di muka bumi, sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Quran, “Dan dialah menjadikan kamu khalifah di bumi dan dia meninggalkan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat,” (QS. Al-An’am 165)

Formal & Non-Formal
Pesantren pada umumnya membangun pendidikan formal yang dimulai dari madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar. Pesantren As-Shiddiqiyah berbeda dengan pesantren lain dalam membangun pendidikan formal yang langsung membangun Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan program otomotif, SMK program adminitrasi perkantoran dan akuntansi (As-Shiddiqiyah batuceper), SMK program bisnis & manajemen (Karawang) dan Ma’had ‘Aly Sa’idussiddiqiyah, pendalaman dan penguasaan bahasa internasional (Inggris dan Arab), ulumus syari’ah dan Al-Quran.

Harapan ke depan cita-cita pesantren ini adalah mampu melahirkan santri cerdas, bijak yang mampu mengatasi problem global. “Sehingga santri tidak lagi kaku dan panik melihat kenyataan sosial yang serba unik dan moderen,” ungkap kiai iskandar dengan penuh semangat kepada Risalah NU.
Pesantren As-Shiddiqiyah juga menyediakan pendidikan non formal seperti training bahasa Inggris, kursus dan training bahasa Arab, jam’iyatul tahfidz al-qur’an, kursus dan training manajemen dan metodologi pengajaran, pengajian kutubus salafiyah, training retorika dan praktek dakwah, lembaga bahstul masail, serta lembaga yang membantu mengembangkan bakat dan minat santri untuk lebih percaya diri.

Karena pesantren tidak bisa dilepaskan dari masyarakat sekitar, maka pesantren As-Shiddiqiyah mengupayakan dan menyediakan sebuah lembaga yang bermanfaat yang diperuntukkan masyarakat seperti, Drugs Information Centre of As-Shiddiqiyah (DICA), badan amil zakat, infaq dan shadaqah (BAZIS), pusat penanggulangan bencana alam, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), forum komunikasi umat beragama (FKUB) DKI Jakarta, Balai Kesehatan Masyarakat, dan santri siaga bencana.

Dengan berbekal pendidikan yang berbasis agama dan umum, As-Shiddiqiyah yang kini memiliki jumlah santri sekitar 7.000 orang itu sangat optimis akan out-put santri yang keluar atau jadi alumni dari pesantren ini bisa memberi manfaat bagi nusa, bangsa dan negara yang ditopang dengan moralitas sesuai dengan visinya, “membentuk dan menyiapkan ulama ahlussunnah wal jamaah berwawasan global dan mampu mentransformasikan ilmunya ke dalam bahasa masyarakat dengan perilaku akhlak mulia”.

Motto yang dibangun oleh pesantren As-Shiddiqiyah adalah berakhlakul karimah, berbahasa internasional dan menguasai iilmi pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan iman dan taqwa (IMTAQ). Sehingga mampu menerjemahkan dan mengkontekstualisasikan realitas sosial sesuai dengan kebutuhan zaman dengan misinya: “menyelenggarakan pendidikan berbasis agama, tekhnologi dan pengembangan ekonomi kerakyatan mulai dari TK hingga perguruan tinggi”. Mashudi Umar

Dimuat di majalah Risalah NU, No 11 / Th 11 / 1430 H

“Nikah di Bawah Umur Itu Mensahkan Perbudakan”

Prof. Dr. Musdah Mulia (Dosen Pasca Sarjana UIN Syahid Jakarta)

Banyak kasus-kasus perkawinan dibawah umur yang justru kadang dilakukan oleh ummat Islam, bagaimana komentar anda?
Pertama. Secara teologis pandangan umat Islam tentang perkawinan di bawah umur itu sudah keliru, banyak umat Islam yang melakukan ini dengan alasan melihat perkawinan antara Rasulullah dengan Siti Aisyah sedangkan Aisyah yang dikatakan masih kanak-kanak, padahal tidak. Kedua, Nabi Muhammad menikahi Aisyah kemudian dikembalikan lagi kepada orang tuanya dikarenakan belum cukup umur dan belum siap untuk reproduksi.
Sebetulnya, Rasulullah menikahi Siti Aisyah yang diperkirakan masih berumur 9 tahun. Akan tetapi jika melihat pandangan kelompok Syi`ah dalam pernyataan Muawiyah, bahwasannya Aisyah RA hidup sampai masa Muawiyah. Aisyah wafat pada usia 74 tahun. Berarti kalau dihitung-hitung, Aisyah menikah dengan Rasulullah sudah berusia 17 tahun, karena jarak antara masa Muawiyah dengan Nabi itu bisa puluhan tahun. Ini kenyataan yang riel dan logis karena Aisyah wafatnya kapan itu sudah kelihatan. Makanya dalam hal ini kalangan Muawiyah tidak membenarkan Aisyah dinikahi Rasulullah masih usia dini.
Jadi ummat Islam sekarang itu memang harus waktunya mengubah pandangan teologis baru khususnya terhadap perkawinan anak-anak dengan melihat undang-undang dan hukum nasional serta internasional kita yang memutuskan bahwa pernikahan di bawah umur itu merupakan criminality (kejahatan).

Bagaimana dengan Islam yang memperbolehkan perkawinan dibawah umur?

Nah, pandangan teologis seperti itu harus diubah. Itu kan di dalam kitab fikih yang tidak ada dalam Al-Quran. Sekarang ini bagaimana kita membaca kitab fikih dan meneladani Rasullullah dengan pandangan optik yang berbeda karena sekarangkan sudah berkembang dan sudah mempunyai kesadaran kemanusiaan yang lebih tinggi. Makanya harus berbeda dengan zaman dulu. Ada 106 (seratus enam) ayat berbicara tentang acara perkawinan dalam Al-Quran yang semuanya mengatakan bagaimana sebuah rumah tangga itu bisa hidup tentram dan harmonis, bagaimana kehidupan rumah tangga tanpa eksploitasi dan kekerasan. Sementara devinisi pernikahan dalam fikih itu adalah suatu media untuk menghalalkan hubungan sex, seperti kata Imam Syafi`i
النكاح ليس من العبادة ولكن من الشهوات
Jadi, apakah hidup yang diurusi hanya permasalahan sex (sahwat) saja.
Dalam undang-undang perkawinan diberbagai negara Islam yang sudah maju seperti Jordania dan Syiria, itu tidak hanya membatasi usia minimum keluarganya dalam menikah yang masih berumur 19 dan 21 tahun, akan tetapi juga mereka membatasi kesenjangan usia antara laki-laki dan perempuan tidak boleh usianya lebih dari 20 tahun. Kalau kesenjangan itu melebihi usia 20 tahun itu harus mendapatkan izin dari pengadilan dulu. Karena adanya kesenjangan umur menyebabkan terjadinya tindak kekerasan dan menimbulkan unsur-unsur eksploitasi. Di Indonesia hal semacam ini tidak begitu diurusi, makanya tindak kekerasan rumah tangga, eksploitasi, travicking di Indonesia itu lebih banyak. dan angka kematian ibu melahirkan di usia dini tercatat tonggi di Asia.

Tapi, undang-undang perkawinan mengatakan usia menikah berumur 16-19 tahun?
Undang-undang yang mengatakan seperti itu jelas melanggar hak asasi manusia (HAM) karena masih membolehkan anak-anak yang masih dibawah umur untuk menikah, dan merupakan tindak kejahatan pula. Akan tetapi undang-undang perkawinan yang ada di Indonesia mulai diubah tetapi belum dilaksanakan secara maksimal.
Kalau undang-undang perkawinan di Indonesia sudah diubah secara utuh dan sudah maksimal dilaksanakan pasti akan mambawa dampak kepada masyarakat yang lebih baik pula. Di antaranya:
Pertama, perubahan budaya, bagaimana membangun suatu budaya bahwa perkawinan itu bukan hanya melegalkan seksual akan tetapi perkawinan itu mencakup banyak hal dari aspek medis, aspek sosial, dan teologisnya yang dibangun dalam satu keluarga. Kedua, mengurangi angka kematian terhadap ibu melahirkan yang masih usia dini dari perkawinan dibawah umur. Ketiga, menyadarkan kesadaran masyarakat bahwa perkawinan di bawah umur itu tidak dibenarkan.

Komentar anda tentang Syekh Puji?
Dia adalah orang yang sakit, secara psikologis teologis dan secara psikis. Saya bukan saja tidak setuju, tetapi mengecam habis tindakan seperti itu. (Sambil menggenggamkan tangannya dan mimik mulut jengkel).

Tapi Syeh Puji enjoy-enjoy aja dan dia merasa kemaslahatan yang dijalankan?
Namanya orang sakit apa pun yang dijalankan tetap enjoy aja. Kalau kemaslahatan yang dijalankan, ya kemaslahatan seksualnya. Sebab, yang namanya kemaslahatan itu bukan untuk dirinya sendiri akan tetapi untuk kemaslahatan umum.

Bukankah dengan menikahi Ulfah, kehidupan Ilfah dan keluarganya jadi lebih baik?
Kalau mau bantu bisa dengan memberi modal tidak perlu dengan mengawini anaknya. (Suaranya lantang). Kenapa sih orang kok berfikir dengan dalih membantu. Andaikan cinta kepada anaknya itu kan bisa dengan cara disekolahkan, diangkat menjadi manajer suruh ngurusi perusahaannya, bukan harus menjadi istri. Itu kan namanya egois.

Ibu setuju poligami?
Saya tidak setuju dengan yang namanya poligami, apalagi poliandri. Sebab, menurut saya perkawinan adalah keberpasangan. Makanya harus satu dengan satu (sekufu), Tuhan tidak menciptakan seribu Hawa untuk satu Adam, kan?

Bagaimana seharusnya tindakan pemerintah terhadap perkawinan dibawah umur?
Ya kita semua harus memberikan kontribusi terhadap hal ini dan negara juga harus tegas memberikan peninjauan undang-undang perkawinan agar tidak lagi membuka peluang terhadap pelanggaran kejahatan kemanusiaan di masyarakat.


Apa pesan Ibu terhadap keluarga Indonesia?
Keluarga yang baik adalah keluarga yang memperhatikan semua anggota keluarganya, lebih-lebih kepada anak perempuannya tentang kesehatan reproduks. Anak itu mempunyai masa depan yang baik. Anak mempunyai hak masa depan dan lainnya. Menikahkan anak yang masih di bawah umur itu sama dengan perbudakan dan kejahatan kemanusiaan yang harus diberantas.
Mashudi Umar

Dimuat di majalah Risalah NU, No 11 / Th 11 / 1430 H