Senin, 22 Juni 2009

Agama Sebagai Rahmatan Lil'alamin

Oleh Mashudi Umar

Ada tendensi yang sangat umum, betapa agama dalam perkembangan terakhir telah hadir sebagai sosok yang tumpul dan mandul. Agama cenderung dikeramatkan, tapi tidak ampuh mengatasi problem-problem kemanusiaan. Agama hanya dijadikan sebagai obat penenang. Seringkali ia hadir seakan-akan menjadi jampi-jampi keselamatan di tengah-tengah pengikutnya dalam ketertindasan dan keterbelakangan. Inilah mungkin yang dimaksud oleh Marx ketika mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat (opium of society).
Mengapa Marx menyebut sebagai candu? Sebab agama membuat manusia hidup dalam suatu dunia imaji yang absurd. Baginya, agama adalah semacam eskapisme, yakni suatu usaha untuk keluar dari alam nyata ke alam imajinatif agar dapat masuk suatu dunia lain yang tidak lagi ditandai penderitaan dan kesusahan, kehidupan yang sempurna Hanya melalui agamalah, seseorang bisa meraih keselamatan eskatalogis nanti. Jampi-jampi keselamatan agama inilah yang memberi jaminan seseorang untuk menjadi penghuni surga.
Namun dalam sejarahnya, agama selalu ditarik dan dikaitkan dengan kekuasaan, yakni menjadi legitimasi bagi kekuasaan tertentu. Bilamana penguasa memutuskan perang, maka agama tidak boleh tidak harus pula melegitimasi itu pula. Berdasarkan catatan sejarah, penindasan, kekejaman, dan ketimpangan sosial terjadi atas pembenaran agama. Fungsi agama sebagai medium protes sosial dan sumber kritisisme menjadi bungkam dihadapan Negara (kekuasaan). Alih-alih menjadi media pembebasan, agama justru hadir sebagai legitimasi Negara untuk melakukan penindasan terhadap umatnya. Menurut Ignas Kleden (2000), kecenderungan ini muncul karena agama dipahami sebagai ideology.
Pertanyaannya, benarkah agama sebagai legitimator penguasa untuk membenarkan segala tindakan? Karena agama menjadi tangan kanan penguasa yang pada akhirnya agama mengalami stagnasi, menutup diri dan tidak berdealektik dengan umatnya. Hal inilah yang melahirkan status sosial ketidakadilan dan penderitaan masyarakat lemah, sehingga Marx membagi dua kategori yaitu kelas elit dan kelas bawah. Kita lihat misalnya, baik dulu, sekarang dan yang akan datang, tetap banyak korelasi yang sangat kuat untuk melahirkan dan menciptakan ketimpangan-ketimpangan sosial di masyarakat. Karena agama sudah mengintegrasikan, membenarkan bahkan mendistorsi kenyataan fenomena sosial yang ada.Pada sisi yang lain, bukan berarti agama ikut serta merta dalam problem kemanusiaan.
Secara ideal, agama selalu hadir dalam gagasan-gagasan besar kemanusiaan. Agama memang dihadirkan Tuhan bagi manusia untuk seluruh pembebasan terhadap seluruh bentuk penindasan, tirani, dan perbudakan manusia. Di akui atau tidak , agama telah memfilter manusia dari lubang jarum dan membangunkan manusia ke posisi awal sebaga manusia yang sempurna dan lengkap (insanul kamil). Agama telah melahirkan suatu peradaban manusia kearah yang lebih baik dan menghargai antarsesamanya. Manusia tidak perlu beragama tanpa tanggung jawab sosial, bahwa hubungan horizontal ini sangat mempengaruhi terhadap baik dan tidaknya manusia, baik di hadapan Tuhan maupun antarsesamanya.Kenyataan sosial dewasa ini sangat paradoks terhadap beberapa kejadian akhir-akhir ini, dimana agama tampil di tengah-tengah masyarakat dengan muka suram, sangar dan keras. Sungguh naof, agama dengan cita-citanya untuk mensejahterakan dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kehancuran dan ketidakpastian.
Cita-cita agama (Islam) sebagai Rahmatan Lilalamin tidak mampu menutupi lebih-lebih menyelesaikan penderitaan manusia menjadi impian dan angan-angan belaka. Sehingga agama sering dipahami sebagai pembuka konflik yang tiada akhir.Kalau demikian, agama tidak mempunyai daya tarik dan tawar-menawar yang bisa memikat terhadap problem kemanusiaan. Justru manusia semakin jauh untuk beragama. Agama pada pra Islam dari tiga agama besar dunia (Yahudi, Nashrani dan Zoroasther) tidak mampu menjadi pisau penghalang untuk mendamaikan umatnya. Saat itu, simpul-simpul kemanusiaan nyaris putus, dimana-mana manusia saling menjegal satu sama lain. Hubungan horizontal yang dilumuri darah, pembunuhan sejak peristiwa Kain dan Habel, akhirnya berujung pada rusaknya hubungan vertikal dengan Tuhan.
Untuk itu, agama harus mendifenisikan kembali posisinya dengan tanggung jawab kemanusiaanya (responsible humanition), agama harus hadir dan keluar dari persembunyiannya di ruang privat yang hening dan damai yang kemudian merangsek hadir dan bangkit ditengah-tengah public yang gaduh, ramai, dan damai. Bukan untuk membangun kebesaran simbolik komunalistik, tetapi untuk menyingkirkan ketertindasan, sebagai musuh kemanusiaan bersama.
Agama hadir sebagai pahlwan sejati yang membebaskan manusia tanpa melihat suku, ras, warna kulit dan akan menyinari dunia modern dengan cahaya kebenaran. Dengan kata lain, pluralitas beragama merupakan sunnatullah dan fakta sosial di tengah-tengah masyarakat yang tidak terbantahkan. Bersamaan dengan itu, harus terjadi sharring, berinteraksi dengan lintas agama beserta umatnya ke dalam religiuitas bersama. Inilah titik temu seluruh agama-agama dan arena jihad paling akbar dan sejati sebagai manefistasi dari agama sebagai rahmatan lil'alamin. Semoga. Wallahu Alam
Penulis adalah Redaktur Majalah Risalah NU Jakarta

Dimuat di HU Pelita,12 Juni 2009

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda