Senin, 29 Juni 2009

Melacak Akar Sejarah ‘Fatwa’

Judul Buku : Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam
Penulis : KH. Makruf Amin
Cetakan : Pertama, 2008
Penerbit : eLSAS Jakarta
Tebal : xiv + 384 Halaman

Sebagai sumber utama ajaran Islam, al-Qur’an sengaja didesain untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang menyangkut masalah hukum secara global. Sebab jika dijelaskan secara rinci, bisa jadi al-Qur’an kehilangn relevansi dengan dinamika masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan dari masa ke masa. Untuk merinci dan memberikan petunjuk pelaksanaan suatu ajaran (hukum), khususnya masalah ibadah, inilah tugas Rasulullah yang dijelaskan melalui sunnahnya.
Di sisi lain problem dan permasalahan kehidupan manusia semakin hari kian bertambah kompleks dan beragam. Permasalahan-permasalahan yang awalnya dapat dicover secara eksplisit oleh kedua sumber pokok ajaran Islam tersebut, seiring dengan perjalanan waktu, mulai bermunculan problem-problem sosial yang belum ditemukan di dalam kedua sumber tersebut.
Di sinilah kita bisa melihat bahwa Islam bisa didisain sedemikian rupa oleh Allah Swt sebagai agama pamungkat yang diturunkan-Nya dimuka bumi ini. Ajaran-ajaran Islam tetap relevan sepanjang zaman (shalih likulli zaman wa makan) dala menjawab setiap permasalahan yang ada walaupun teks keagamaan (an-nushus as-syariyyah) secara kuantitatif tidak bertambah. Allah tidak menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah yang merupakan sumber utama ajaran Islam dalam bentuk baku, final, dan siap menjawab secara rinci semua permasalahn yang ada baik yang telah, sedang, dan akan terjadi. Sebab jika demikian, ajaran Islam akan cepat usang, basi dan hilang kemampuannya untuk merespon segala persoalan yang senantiasa berkembang dengan pesat.
Teks normatif yang telah berhenti secara kuantitatif pada abad ke-14 yang lalu akan mengalami banyak kesulitan dalam merespon secara keseluruhan perkembangan permasalah yang terjadi, padahal permasalahan tersebut akan senantiasa berkembang dari waktu ke waktu.
Kondisi obyektif yang berkaitan dengan permasalahan manusia yang setiap saat bertambah banyak yang memerlukan tanggapan logis-yuridis dari nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah yang belum tercover secara eksplisit, mewajibkan bagi orang yang yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukan “ijtihad” sebagai respon terhadap permasalahan yang baru muncul.
Anugrah akal yang diberikan Allah kepada manusia menjadikannya sebagai makhluk yang selalu ingin tahu, berkembang dan berinovasi. Melalui pranata ijtihad ini, manusia dapat mengeksplorasi akal pikirannya untuk mencari jawaban atas permasalahan baru dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah yang diperlukan dalam melakukan ijtihad. Pranata ijtihad inilah sebabnya yang menjadi salah satu sebab ajaran Islam mampu menjawab setiap persoalan umat manusia yang semakin banyak dan kompleks.
Dengan begitu, mengingat ketatnya syarat dan kriteria untuk melakukan ijtihad dan sulitnya seseorang boleh melakukan ijtihad, maka dengan sendirinya ijtihad tidak mungkin dilakukan oleh setiap orang. Bagi orang yang tidak mampu melaksanakan ijtihad sendiri, wajib baginya untuk mengikuti pendapat orang-orang yang ahli dalam hal ini adalah ulama.
Saat ini, sudah jarang sekali ditemukan fatwa yang dilakukan oleh perorangan karena menjadi suatu yang berat bagi seorang individu untuk menguasai berbagai sisi keilmuan yang komprehensif sebagai prasyarat sebagai seorang mufti (memberi fatwa). Yang paling mungkin untuk dilakukan saat ini adalah fatwa yang dilakukan secara kolektif, yang pada umumnya dilakukan oleh para ulama dari berbagai disiplin ilmu yang tergabung dalam organisasi keislaman tertentu. Di antara contoh fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga atau organsasi sosial kemasyarakatan seperti, Majmah Albuhust Al-Islami, Majmah Al-Fiqh Al-Islami, Rabitah Alam Al-Islami, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan orgasnisasi keislaman lainnya.
Dalam sistem hukum Islam, fatwa mempunyai peranan yang cukup dominan dalam memberikan pertimbangan hukum keagamaan kepada masyarakat, sekalipun ia tidak punyak kekuatan hukum yang mengikat (ghair mulzimah).
Memang jika dilihat dari sejarahnya, fatwa sebagai salah satu pranata dalam pengambilan keputusan hukum Islam memiliki kekuatan yang cukup dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari eksisnya sejumlah mazhab hukum yang memiliki corak pemikiran masing-masing sesuai dengan kondisi sosio kulturnya. Terfragmentasinya kesimpulan hukum Islam yang tergambar dari beberapa mazhab yang ada dapat dirunut jauh ketika pada masa sahabat nabi. Pada masa itu, terjadi keberagaman fatwa dalam mengahadapi suatu peristiwa.
Keberagaman fatwa ini diwarisi oleh generasi berikutnya yakni para Tabi’in, dimana pada masa ini, lahir dua aliran besar dalam sistem pengambilan sistem hukum Islam, yaitu fiqih hijaz yang terkenal dengan aliran Ahlu Al- Hadist. Adapun fiqih Irak dikenal dengan Ahlu Al-Ra’yu. Setelah itu berkembang lagi dan tambah mengkristal dalam mazhab-mazhab yang lahir sesuai dengan konteks waktu, tempat dan kondisi sosial kulturnya. Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim yang menyatakan bahwa “kesimpulan fatwa bisa berbeda disebabkan oleh perubahan zaman, tempat, keadaan dan konteksnya”.
Dalam konteks masyarakat Indoensia, status fatwa lembaga keagamaan termasuk didalamanya fatwa Majelis Ulama Indonesia mempunyai pengaruh yang tidak kecil walaupun tidak sebanding dengan ormas yang lain. Beberapa bulan yang lalu MUI mengadakan “Ijtimak Ulama Indonesia” dengan menghasilkan beberapa keputusan yang dianggap kontroversi oleh masyarakat, diantaranya adalah haramnya merokok bagi anak-anak, wanita hamil dan merokok di tempat umum. Kedua, mengharamkan untuk golput (tidak memilih) selama masih ada pemimpin yang bisa dipercaya (versi MUI). Ketiga adalah mengharamkan olahraga Yoga.
Kehadiran buku dengan judul “Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam” ini yang ditulis oleh Kiai Makruf Amin sebagai akademisi (ulama, cendikiawan) dan juga praktisi, Ketua Komisi Fatwa MUI sangat menarik untuk dijadikan referensi dan kekuatan teoritis dalam memandang hukum Islam. Karena berdasarkan sisi akademik yang sifatnya Nazhari (deduktif dan teoritis), dikombinasikan dengan pengalaman empirik yang sifatnya Istiqra’i (induktif, penelitian terlibat) pemikiran fiqih.
Buku ini juga dapat menjelaskan masalah fiqhiyyah dengan dua pendekatan sekaligus, pendekatan akademik yang lebih bersifat teoritis dan pendekatan praktis yang bersifat empiris. Mashudi Umar

Dimuat di Majalah Risalah NU, No 12 / Thn II /1430 H

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda