Selasa, 25 November 2008

NU Progresif Menembus Batas Tradisi


Judul Buku: Post Tradisionalisme Islam;
Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU
Penulis: Rumadi
Pengantar: KH Abdurrahman Wahid
Penerbit: Fahmina Institute
Cetakan: Pertama, 2008 Tebal: xx + 382 halaman
Peresensi: Mashudi Umar

Nahdlatul Ulama (NU) selalu menjadi inspirasi bagi gerakan dan pemikiran ke-Islam-an yang berwawasan kebangsaan, respons terhadap perubahan dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal Nusantara. NU selalu memosisikan diri sebagai ‘jangkar’ Nusantara, terutama yang digalang kader-kader mudanya.

Mereka mempunyai gagasan keagamaan progresif dalam merespons modernitas menggunakan basis pengetahuan tradisional yang dimiliki setelah dipersentuhkan dengan pengetahuan baru dari berbagai khazanah modern. Mereka tidak hanya peduli dengan modernitas yang terus dikritik dan disikapi secara hati-hati, tetapi juga melakukan revitalisasi tradisi.

Perkembangan NU sendiri, dalam sejarahnya, tidak terlepas dari ikhtiar kaum mudanya dalam mengekspresikan dan menjawab tuntutan zaman. Terlebih dengan menitikberatkan pada upaya pembentukan kader NU yang ideal, yaitu, kader selain memiliki keterampilan dan memiliki ruang kesadaran kosmologi yang luas serta toleran, memiliki pola pikir yang jernih, rasional dan memiliki integritas moral yang kuat dan ditunjang ideologi yang tinggi.

Titik relevansi dengan Khittah NU yang menjelaskan tentang landasan akidah NU yang bertolak pada Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Konsep Islam seperti inilah yang menurut warga NU sebagai faktor fundamental dalam membangun masyarakat NU yang berdiri di atas mabadi khaira ummah. Meski demikian, warna dan gelombang pemikiran yang saat ini menjadi mainstrem di kalangan nahdliyin seakan memiliki dua wajah yang bertentangan, yaitu wajah konservatif yang direpresentasikan golongan tua dan wajah progresif yang digelorakan kelompok intelektual NU. Keduanya memperlihatkan pada garis dinamikanya masing-masing dan sama-sama memiliki pengikut.

Dengan keilmuan pesantren yang mejadi modal awalnya, para intelektual NU yang telah dibekali ilmu pengetahuan dan pendekatan modern, memiliki perspektif tersendiri terutama dalam merespon dan mengkontekstualisasi berbagai masalah sosial, baik politik, ekonomi, budaya dan tema-tema ke-Islam-an progresif.

Memang, munculnya gairah intelektual dalam NU mempunyai latar belakang cukup panjang dan dipengaruhi banyak perspektif, termasuk keputusan NU untuk meninggalkan hiruk pikuk kehidupan politik praktis dengan konsep kembali ke Khittah NU 1926. Terpilihnya KH Ahmad Siddiq sebagai Rais Aam Syuriyah dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU pada Muktamar 1984 di Situbondo, Jawa Timur, turut memperlancar laju pemikiran keagamaan kritis dan progresif di kalangan NU.

Tongkat komando yang dipegang Gus Dur sejak 1984, paling tidak membawa perubahan penting dalam sejarahnya. Pertama, reposisi politik dengan keputusan kembali ke Khittah 1926, dari politik formal dalam panggung pemerintah Orde Baru (Orba) ke politik informal tanpa panggung. Sehingga NU mempunyai posisi tawar yang kuat dengan pemerintah Orba, walau selalu dicurigai.

Kedua, memberi ruang dan pelindung bagi tumbuhnya pemikiran-pemikiran baru dalam NU, baik yang berkaitan dengan teologi, fikih, tasawuf, bahkan doktrin Aswaja dan memperkuat NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang bergelut dengan isu-isu sosial.

Dalam konteks ini, NU menjadikan kepercayaan teologis sebagai basis pengembangan masyarakat dengan mengusung isu-isu universal seperti, hak asasi manusia, demokrasi, masyarakat sipil, termasuk juga kesetaraan gender.

Progresivitas pemikiran kelompok muda NU, pada akhirnya membuahkan kritik dan pertentangan. Kalangan ulama tua memperkukuh barisan guna mengerem gerak maju langkah anak muda NU progresif. Puncaknya, pasca-Muktamar NU di Solo, Jawa Tengah, saat ulama tua yang dimotori kalangan Syuriyah Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, melarang kalangan muda NU yang dianggap liberal, masuk dalam struktur NU mulai dari pengurus ranting sampai pengurus besar.

Uniknya, kedua kelompok yang selalu bersitegang itu sama-sama berangkat dari tradisi. Dengan kata lain, pemahaman terhadap tradisi digunakan sebagai titik pijak dan paradigma untuk melakukan perubahan. Jadi, tradisi sebagai basis gerakan untuk melakukan transformasi sosial.

Dalam pandangan kalangan muda NU, tradisi yang mereka lakukan tidak sekedar mengangung-agungkan dan men-sakralkannya, tetapi juga melakukan kritik mendalam atas tradisinya sendiri, baik yang berkaitan dengan perilaku maupun pemikiran. Bahkan, doktrin Aswaja juga tidak lepas dari sasaran nalar kritisnya. Pikiran dan sikap mereka secara umum jauh lebih responsip dibanding para seniornya dalam menghadapi masalah keumatan.

Munculnya berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang keagamaan juga berpengaruh bagi generasi muda NU. LSM tidak saja menggiatkan kehidupan keagamaan, tetapi juga berperan aktif dalam membangun wacana progresif-kritis.

Sejak era 1970-an, generasi muda NU mulai aktif di LSM untuk melakukan pendampingan dan pengembangan pada masyarakat pedesaan. Aktivitas tersebut membuka kesempatan bagi kalangan muda NU untuk berperan dalam diskursus intelektual secara terbuka dan bersentuhan langsung dengan realitas sosial. Misal, Lakpesdam NU, P3M, LKIS, Syarikat, Puspek Avveroes Malang, Lapar Makasar, Incres Bandung, KKPS Probolinggo, dan lain-lain.

Rumadi, penulis buku ini dan seorang intelektual muda NU yang bekerja di The Wahid Institute, berupaya mengungkap “tabir”, jejaring, mulai dari akar sejarah kemunculan intelektualisme dalam komunitas NU yang dibungkus ‘Post Tradisionalisme’ terutama yang digalang kelompok muda NU yang intelektual-progresif, khususnya menjadi aktivis di LSM.

Peresensi adalah Redaktur Eksekutif Majalah ALFIKR terbitan Institut Agama Islam Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur

(Dimuat di http://www.nu.or.id/, Tanggal 17 November 2008)

Senin, 03 November 2008

"Strategi Pengelolaan Zakat"

Oleh : Mashudi Umar

Dalam Islam, zakat dibagi ke dalam dua macam, yaitu zakat jiwa atau fithrah dan zakat harta benda atau mal. Zakat yang pertama merupakan perintah yang paling banyak ditunaikan orang (kemungkinan besar karena ringan dan sangat sederhana). Adapun zakat fithrah harus dibayar oleh setiap Muslim, baik kecil maupun dewasa, secara periodik pada setiap bulan Ramadhan mulai tanggal 27 Ramadhan hingga imam shalat Idul Fitri naik ke atas mimbar.

Berbeda dengan zakat jiwa, pada zakat mal agaknya tidak semua orang memiliki kesadaran penuh untuk membayarkannya (kemungkinan karena berat dan perhitungannya memang tidak gampang). Zakat mal hanya diwajibkan bagi mereka yang sudah dewasa, tentunya juga berkemampuan. Sedang menyangkut waktu pembayaran zakat mal, Rasulullah mengkategorisasikannya kepada dua bagian. Pertama, zakat yang harus dibayar secara berkala, biasanya mengena kepada zakat niaga (termasuk jasa atau profesi), mata uang, dan ternak. Kedua, zakat yang harus dibayar pada saat harta yang terkena zakat itu tiba di tangan, bersifat insidental, lazimnya mengena pada hasil pertanian, hasil perkebunan, hasil tambang, dan harta temuan.

Karena dari sudut filosofisnya, di samping berfungsi sebagai penyucian jiwa dan harta benda, zakat juga berfungsi, terutama zakat mal, sebagai sarana pemberdayaan ekonomi rakyat dan pencapaian keadilan sosial. Di samping sebagai pilar ekonomi Islam dipandang berpotensi untuk menunjang bagi tercapainya kesejahteraan.

Visi Sosial Zakat
Di dalam al-Qur`an ada dua perintah yang disebutkan secara bersamaan dalam 82 ayat, yaitu shalat dan zakat. Dua perintah ini, dalam banyak ayat al-Qur`an telah menunjukkan diri sebagai sentra dari seluruh jalan ke-Islam-an itu sendiri. Dalam hadits, kedua perintah itu diletakkan sebagai rukun Islam segera setelah pengakuan terhadap eksistensi ke-Esaan Tuhan (syahadat), dan dalam urutan yang mendahului puasa dan haji. Dalam analisis Mas'udi (1991:29), perintah shalat dimaksudkan untuk meneguhkan ke-Islam-an (kepasrahan) pada Tuhan yang bersifat personal. Sementara perintah zakat dimaksudkan untuk mengaktualisasikan ke-Islam-an yang bersifat sosial.

Dari paradigma ini, kita dapat mengembangkannya secara lebih jauh bahwa Islam ternyata benar-benar ingin memperjuangkan terwujudnya kesejahteraan sosial yang di dalamnya zakat merupakan salah satu sarananya. Abd Karim al-Tawati dalam Mafhum al-Zakat (1986: 27) mengatakan bahwa zakat adalah suatu kerangka teoritis untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Dalam konsep zakat tampak sekali adanya pemihakan kelas sosial kepada golongan yang lemah dan terpinggir.

Secara vokal al-Qur`an menyerukan agar kekayaan tidak boleh hanya berputar terbatas di kalangan kelas kaya saja (QS, [59]:7). Islam melarang orang-orang yang menumpuk-numpuk harta (QS, [104]: 1-4). Tegasnya, Islam mengecam monopoli dan oligopoli dalam sistem ekonomi. Islam menghendaki adanya distribusi yang adil menyangkut kekayaan.`

Dengan visi sosial seperti inilah kehadiran zakat dapat dipahami. Zakat datang bukan agar semua orang memiliki bagian secara sama rata, baik sedikitnya maupun banyaknya, melainkan untuk mencegah terjadinya ketimpangan, di mana sebahagian membubung ke atas dengan kekayaan yang dikuasainya, sementara sebagian yang lain justru tersungkur ke bawah dengan kemelaratan yang dideritanya. Bermula dari ketimpangan dalam hal ekonomi inilah, ketimpangan di bidang yang lain (politik dan budaya) kemudian mengikuti. Pada waktu kekayaan menembus batas teratas, sehingga menyebabkan kesenjangan kelas, saat itulah golongan yang memonopoli dan mengkonsentrasikan kekayaan itu menjadi musuh-musuh Islam (Kuntowijoyo, 1996:300). Al-Qur`an menyerukan agar kita menjadi pembela kelas yang tertindas dan golongan yang lemah. (QS, [4]: 75).

Tahapan Pengelolaan Zakat

Zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda (materi). Seseorang yang telah memenuhi syarat-syaratnya dituntut untuk menunaikannya, bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tetapi kalau perlu harus dengan tekanan. Zakat dapat dituntut oleh kaum miskin, atau bahkan dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh negara.

Dalam tataran ini, Nabi mengatakan bahwa zakat merupakan kewajiban yang tak dapat ditawar, atas orang yang telah memiliki kemampuan tertentu. Garaudy (1981: 32) mengatakan bahwa zakat itu bukanlah suatu karitas, tetapi suatu bentuk keadilan internal yang terlembaga, sesuatu yang diwajibkan, sehingga dengan rasa solidaritas yang bersumber dari keimanan itu orang dapat menaklukkan egoisme dan kerakusan dirinya, yang pada gilirannya dapat terbentuk formasi sosial yang berkeadilan.

Dengan argumen di atas, dalam pengelolaan zakat, kita tidak bisa hanya mengandalkan analisis normatif, melainkan juga harus berpijak pada landasan realitas empiris. Sehingga ada beberapa strategi pengelolaan zakat yang harus dilakukan, pertama, sudah saatnya kita melakukan sensus zakat yang dapat mendeteksi para pembayar zakat (muzakki) hingga ke pelosok pedesaan.

Dan lewat sensus ini pula kita dapat mengetahui mereka yang berhak menerima zakat (mustahiq al-zakat).Kedua, wilayah zakat perlu dibagi-bagi atas dasar perbedaan tingkat kemakmuran, untuk distandarkan berapa margin kewajiban zakat pada masing-masing daerah. Masing-masing daerah umumnya sudah memiliki data dasarnya, berupa Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), data mengenai penghasilan rata-rata daerah, tingkat ketimpangan pendapatan daerah dan sebagainya.

Untuk ini harus dilakukan perhitungan, kemudian hasil perhitungan itu dijadikan acuan oleh panitia zakat, sehingga distribusi zakat menjadi tepat sasaran, tidak sekedar membagi-bagi tanpa memperhatikan fungsional dan tidaknya zakat buat pemberdayaan ekonomi rakyat pada level bawah. (Effendi, 1999).

Ketiga, perlu untuk membentuk lembaga zakat lintas SARA yang keberadaannya dikukuhkan oleh UU zakat. Secara lebih jauh, lembaga zakat yang memiliki kewenangan formal ini, bukan saja dapat menekan pihak yang enggan membayar zakat, melainkan juga dalam hal pentasarufan (pendayagunaan)-nya pun dapat difungsikan secara nyata sebagai upaya membangun tata kehidupan sosial yang lebih adil buat semuanya.

Keempat, perlunya merelatifkan besaran tarif atau kadar zakat yang harus dikeluarkan. Apabila ada variabel tantangan keadilan dan kemaslahatan ditemukan lebih berat pada masyarakat tertentu, maka tidak ada halangan untuk menaikkan dan begitu juga sebaliknya untuk menurunkan--tarif yang telah ditentukan Nabi Muhammad, yakni antara 2,5 % dan 10 %.

Dalam konteks ini, Madar F. Mas'udi, Emha Ainun Nadjib dan Jalaluddin Rakhmat pernah mengusulkan untuk menaikkan tarif zakat menjadi 20 % atas berbagai jenis pendapatan (rezki) yang diterima oleh kalangan profesional, seperti dokter, konsultan, dan sebagainya.

Walhasil, kita perlu untuk meningkatkan fungsi zakat yang selama ini lebih sebagai aktivitas personal menjadi sebuah visi dan gerakan sosial yang menyentuh realitas sosio-struktural demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan. Di ujungnya, bagaimana agar hasil pungutan zakat itu dapat berdampak langsung terhadap masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, yang lazimnya tidak terjangkau melalui alat kebijakan fiskal biasa serta berbagai kebijakan ekonomi yang konvensional.

Terlebih di waktu krisis multidimesi seperti sekarang, di mana angka kemiskinan-kefakiran, pengangguran akibat PHK, dan lain-lain semakin menaik tajam. Dan kasus tragedi Pasuruan 15 September yang menewaskan 21 orang tua, paling tidak menjadi analisa kita khususnya para muzakki untuk melakukan strategi penyaluran zakat yang lebih efektif, sehingga tahun-tahun yang akan datang tidak terulang kembali nyawa manusia melayang dengan sia-sia.

*Penulis Adalah Dewan Redaksi Majalah Risalah PBNU Jakarta

(Dipublikasikan Harian Umum Pelita, Jum’at 31-10-2008)

"Mengembalikan Pemuda Sebagai Agent Of Sosial Change"

Peringatan Sumpah Pemuda, setiap tahun, bukan sekadar romantisme sejarah, karena berarti menghidupi kembali semangat dan kesadaran akan kebersatuan sebagai bangsa yang merupakan himpunan suku bangsa dengan perbedaan kultur dan agama.

Semangat dan kesadaran akan keberagaman, namun bersatu harus terus dihidupi sebagai syarat eksistensi bangsa Indonesia. Dan identitas keindonesiaan tidak pernah bisa dilepaskan dari ke- beragaman sebagai titik berangkatnya. Sumpah Pemuda merupakan titik tolak dari pembentukan identitas kebangsaan Indonesia yang memiliki kemandirian, kedaulatan, dan kesatuan.

Mencermati perjalanan dan kiprah para pemuda akhir-akhir ini, agaknya tidaklah menyakitkan jika mengatakan, bahwa mereka sudah jauh dari tugas yang seharusnya berada di pundak mereka masing-masing yaitu yang diyakini sebagai agen perubahan (agen of change) yang paling kondusif. Hal tersebut dapat kita saksikan dari semakin merosotnya perjuangan serta peranannya para pemuda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal kita tahu, sepanjang perjalanan sejarah peradaban bangsa-bangsa di belahan dunia, peranan para pemuda dalam menciptakan tatanan sosial-ekonomi menuju ke arah yang humanistik menempati posisi yang sangat strategis.
Para pemuda yang berkumpul di Jakarta tanggal 28 Oktober 1928 memiliki kesadaran bersama tentang masa depan. Mereka menyadari transformasi masyarakat tradisional menuju masyarakat modern mulai terjadi di Nusantara.

Peristiwa runtuhnya Perez Jimenes di Venezuela pada tahun 1958, perlawanan terhadap Diem di Vietnam pada tahun 1963, lengsernya Ayub Khan di negara Pakistan pada 1956, dan gerakan anti penindasan untuk rakyat Chekoslavia pada tahun 1968 merupakan sebagian kecil bukti yang riil dari rekaman sejarah yang membuktikan bahwa memang pada realitasnya peranan para pemuda sangat berpengaruh besar sebagai pembawa perubahan di suatu wilayah.

Begitu pula di negara Indonesia ini. Perkembangan sejarah pembentukan bangsa Indonesia pun juga tidak terlepas dari peran serta perjuangan keras gerakan kaum muda. Para pemuda merupakan mobilisator utama sekaligus pembakar semangat perjuangan untuk melakukan perlawanan habis-habisan pada kolonialisme-imperialisme barat. Sebuah momentum bersejarah yang pada akhirnya membuahkan kemerdekaan bagi kita semua. Demikian juga runtuhnya Orde Lama, serta tumbangnya Orde Baru hingga bergulirnya reformasi juga merupakan bukti nyata, semuanya tak lepas campur tangan para pemuda. Betapa keberadaan pemuda bangsa ini menempati posisi yang sangat utama.

Dapat kita saksikan dengan mata telanjang, sejak awal kebangkitan nasional pada tahun 1908 sampai pembentukan Orde Baru pada pertengahan tahun 1966 para pemuda memegang peranan yang sangat vital, perjuangannya mengambil tempat yang utama dalam perjalanan sejarah Indonesia. Dalam masa-masa yang sangat kritis mereka selalu sigap tanggap dalam mengambil keputusan dan prakarsa untuk mempelopori perjuangan tanpa menunggu perintah dari siapa pun, dan tanpa meminta pamrih sedikit pun.

Namun ironisnya, sekarang ini para pemuda pada era pasca reformasi dengan perombakan-perombakan kepemimpinan dan perubahan paradigma yang terdapat dalam pemerintahan, ternyata juga menyusutkan semangat juang dan patriotisme pemuda. Generasi muda kali ini mengalami pergeseran serta kemerosotan yang cukup signifikan. Peristiwa tawuran antar mahasiswa baik di Jakarta maupun di beberapa daerah, menjadi bukti bahwa mereka tidak mampu mengendalikan emosi dan penuh denga kesombongan. Semestinya para mahasiswa (pemuda) sebagai generasi bangsa harus mampu menjadi pelopor keteladanan baik dalam perilaku, pendidikan dan semangat membangun bangsa. Dengan kata lain, generasi muda masa kini sama sekali tidak mampu mewarisi perjuangan pemuda pada masa lalu.

Pada era penjajah saat itu para pemuda dituntut untuk memegang senjata dan berperang mati-matian. Jika pada pada pemerintahan Orde Baru kita dihadapkan pada politik tidak etis yang hanya menyulam politik demi mempertahankan status quo, maka di saat yang bersamaan sebagai tanggung jawab pemuda adalah melawan militerisme. Maka pada saat ini yang menjadi agenda tepenting bagi para pemuda adalah menjadi teladan yang baik, menjadi agen of social change yang mampu merebut masa depan bangsa Indonesia yang bermartabat dan berwibawa. Juga mampu menanamkan sejak dini “penyakit” kita semua yaitu korupsi, jangan sampai menyentuh tangan pemuda.

Oleh karena itu, kecerdasan, kepekaan sosial dan kemampuan membaca perubahan zaman itu yang diterjemahkan dengan besarnya optimisme anak-anak muda tentang masa depan bangsanya untuk menjadi jembatan emas menuju Indonesia yang adil dan makmur seperti harapan para founding father’s yang telah mendahului kita.
Mashudi Umar

"Pesantren Sabilul Hasanah"

Pesantren Sabilul Hasanah, Sumatera Selatan;
Berpacu Menggerakkan Ekonomi Masyarakat Sekitar


Seperti pesantren pada umumnya di Pulau Jawa, pertumbuhan dan perkembangan pesantren menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat. Itulah yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Sabilul Hasanah, yang berposisi di Jl. Raya Palembang, Jambi Km 25. Desa Perwosari, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.

Rumus yang berlaku umum bagi pesantren, biasanya terdiri dari tiga komponen yang disebut trilogi pesantren yaitu, rumah pengasuh, masjid atau mushallah dan asrama untuk santri. Pesantren Sabilul Hasanah juga demikian. Didirikan oleh KH. Mohammad Mudarris, SM pada tahun 1987, bermula dari tuntutan masyarakat sekitar. Berawal dari adanya rumah pengasuh, terus ada mushallah kecil , lalu ada santri. Lambat laun semakin banyak santri yang datang, maka berdasarkan musyawarah dengan masyarakat sekitar, disitu diperlukan pesantren yang memadai.

Karena tuntutan masyarakat, akhirnya secara formal pada tanggal 17 April 1994, dimulai pembangunan pesantren dengan peletakan batu pertama pembangunan masjid, dan disusul pembangunan asrama dan lokasi belajar. Kini pesantren tersebut terus berkembang dan pembangunannya sudah menghabiskan lahan 5,5 Ha. Ini semua karena karunia Allah SWT. Bahasa pesantrennya, ini karena ada barokah sehingga pesantren bisa seperti sekarang ini. Kata KH. Muhamad Mudarris SM.

Klasik dan Moderen
Dalam perkembangannya, Pesantren Sabilul Hasanah dengan berpedoman pada kaidah fiqih; al-mukhafadatu ala al-qadimi al-shaleh, wa al-akhdu bil jadidi al-ashlah, pesantren memadukan klasik dan moderen. Bermula pada tahun 1995 membuka pendaftaran santriwan / wati untuk Madrasah Diniyah yang mengakaji kitab-kitab salaf. Program ini berkonsentrasi pada keilmuan agama Islam yang terdiri dari jenjang pendidikan; pertama, Madrasah I’dadiyah. Kedua, Madrasah Diniyah dan ketiga, Madrasah Pasca Diniyah.

Karena tuntutan jaman, maka pendidikan klasik diniyah saja dianggap tak memadai. Maka tak seberapa lama, pesantren membuka pendidikan formal yaitu Madrasah Tsanawiyah (Mts) dan Madrasah Aliyah (MA). Berkat kegigihan dan keistiqamahannya dalam meningkatkan mutu pendidikan, maka Madrasah Aliyah Sabilul Hasanah mendapatkan kepercayaan dari Departemen Agama dan Diknas RI sebagai percontohan pemberlakuan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun ajaran 2004/2005.

Sebagaimana pesantren-pesantren yang lain, pesantren Sabilul Hasanah mewajibkan santrinya bermukim (tinggal di pesantren). Selama di pesantren, para santri mengikuti kegiatan pendidikan yang bersifat informal, yaitu pengajian kitab kuning yang bertujuan membekali santri agar memiliki kemampuan untuk mengkaji khazanah-khazanah intelaktual klasik/salaf maupun kontemporer yang berbahasa arab, baik secara teoritis maupun praktis. Model pengkajian kitab kuning terdiri dari, pertama, bentuk bandongan (ustadz mengaji santri menyimak dan memberi makna/arti dalam kitabnya). Kedua, sorogan (murid membaca kitab, ustadz menyimak dan membenarkan kesalahan dalam membaca). Ketiga, musyawarah atau diskusi (bahsul masail dan tafahhumul kitab), dan keempat, Tutorial (pendalam kitab khususnya pada hal yang bersifat praktis).

Para santri juga digembleng dengan penguasaan bahasa asing lewat lembaga pengembangan bahasa (LPB). Lembaga ini didirikan pada tanggal 3 April 2002, yang bertujuan mendidik santri agar memiliki keterampilan berbahasa asing (Bahasa Arab, Inggris dan Mandarin). Kini LPB telah dilengkapi sarana pendukung yang berupa laboratorium bahasa dengan sistem mutakhir (Lab. Multimedia)

Untuk menambah kemapuan dan skill para santri, pesantren juga menambah dengan pendidikan ekstrakurikuler yang dilakukan dengan pola mingguan dan bulanan. Bentuk kegiatannya adalah pelatihan kader muballig dan muballighat -untuk mencetak penceramah ulung-, Pelatihan Komputer, Diklat Kepemimpinan dan Organisasi, Latihan Munaqib dan Barzanji, Latihan Seni Baca al-Qur’an dan Shalawat, Latihan Seni Kaligrafi, dan Latihan Kepramukaan dan P3K.

Penggerak Ekonomi Masyarakat
Agar tidak menjadi ‘menara gading’, pesantren tidak terasing dari masyarakat sekitar, maka pengasuh pesantren berinisiatif; menggerakkan manajemen perekonomian pesantren sebagai penunjang kehidupan masyarakat. Karena sebenarnya, pesantren tidak bisa dipisahkan dari ekonomi dan masyarakat.

Apalagi, ketika itu produktifitas masyarakat sekitar masih terbilang rendah, dengan kecendrungan masyarakatnya yang konsumtif. Di sisi lain, Propinsi Sumatera Selatan merupakan Propinsi yang kaya akan potensi alam yang dimilikinya. Oleh karena itu, pesantren memandang perlu langkah terobosan, mengupayakan perubahan dalam rangka membangun masyarakat yang produktif. Berdasarkan pemikiran ini, lalu pesantren membentuk wadah yang dapat mengembangkan produktifitas masyarakat didalam pemenuhan kebutuhan ekonomi.

Lembaga tersebut didirikan oleh pesantren pada tahun 1998 yang bernama “Lembaga Swadaya Perekonomian Pondok Pesantren Sabilul Hasanah (LSP3SH) as-Syarofah”. Lembaga ini berfungsi sebagai fasilitator kegiatan perekonomian pesantren dan masyarakat. Kini, lembaga tersebut telah memiliki beberapa usaha perekonomian diantaranya; Pertukangan Kayu (Meubelair), Pembuatan Paving Blok dan Batako, Pembuatan Provil dan Lisplang Bangunan, Pertukangan Las, Pembibitan Sawit dan Karet. Juga ada program Perikanan Air Tawar, Waserda (Warung Serba Ada) as-Syarofah, Wartel as-Syarofah dan air isi ulang Mas’a.

Adanya lembaga perekonomian tersebut membantu masyarakat untuk mendapatkan peluang kerja. Pesantren dalam menggerakkan kegiatan usahanya melakukan rekrutmen tenaga pekerja dari masyarakat sekitar dan santri sendiri untuk ikut serta membantu menyejahterakan dan mengembangkan pesantren dan masyarakat.

Agar program rutin pesantren sehari-hari berjalan secara efektif dan efesien, pengasuh pesantren membentuk lembaga / departemen. Lembaga ini juga menjadi tolak ukur dalam pengembangan pesantren. Lembaga ini mempunyai tugas sentral yang memiliki peran kontrol terhadap kinerja, fungsi dan perkembangan santri.

Sedangkan pada program kerja departemen, pesantren menyerahkan sepenuhnya kepada organisasi tersebut untuk menyusun, merencanakan dan mengevaluasi. Namun kegiatan apapun yang dilaksanakan oleh lembaga tersebut harus berbentuk laporan kegiatan, baik perencanaan dan pelaksanaannya. Dengan kata lain, pesantren memberikan kewenangan terhadap kemajuan santrinya dalam mengembangkan skill dan pengalaman kerja.

Saat ini, pesantren telah memiliki sembilan departemen yaitu, Departemen Pengembangan Organisasi, Departemen Perwaqafan, Departemen Kamtib (Keamanan dan Ketertiban), Departemen Pendidikan, Departemen Usaha dan Perekonomian, Departemen Rencana dan Pengembangan, Departemen Pengadaan (Logistik), Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Santri, Departemen Kepengasuhan (Dewan Pengasuh).
“Inilah lembaga yang memonitoring perkembangan pesantren, perkembangan ekonomi dan hubungan dengan masyarakat,” jelas Kiai Mudarris.

Masih menurut Kiai Mudarris, konsep tersebut sesuai dengan visi pesantren, yaitu, “Berperan aktif memberikan sumbangsih kepada bangsa dan negara Indonesia tercinta, berupa pemikiran dan kerja nyata sesuai dengan kemampuan yang ada, demi memajukan pembangunan manusia seutuhnya, yang berpedoman pada al-Qur’an, al-Hadist, Ijmak dan Qiyas”.

Kedepan, masih menurut Kiai Mudarris, Pesantren Sabilul Hasanah siap untuk menjadi Pilot Project Pengembangan Pondok Pesantren di Sumatera Selatan. Wallahu A’lam Bi As-Shawab.
Mashudi Umar

(Dipublikasikan di majalah Risalah NU, No. 09 / Thn II / 1429