Sabtu, 04 April 2009

Membaca Ulang Kontrak Politik Nabi

Oleh : Mashudi Umar

Bulan Rabiul awwal, suatu bulan bersejarah bagi umat Islam, tepatnya pada 12 Rabiul Awwal tahun fil (gajah), yakni lahirnya sosok manusia teladan umat sepanjang zaman, uswah hasanah yang menjadi cerminan manusia terbaik sepanjang masa. Dialah Muhammad SAW. Hari lahir Nabi Muhammad SAW biasa disebut dengan istilah Maulid Nabi atau dalam bahasa Jawa biasa disebut mulud.
Kelahiran seorang anak manusia menjadi istimewa, ketika seseorang yang lahir kemudian mampu memberikan kontribusi yang besar bagi sejarah peradaban manusia. Dia berhasil menggoreskan tinta emas dalam catatan kehidupannya, mengubah kondisi masyarakat yang penuh dengan kebiadaban, ketertindasan, ketidakadilan, kebodohan, dan kemiskinan, menjadi sebuah masyarakat yang beradab, merdeka, cerdas, egaliter, toleran, dan hidup dalam suasana penuh keadilan dan kesejahteraan.

Masyarakat Arab Pra-Islam
Kondisi masyarakat Arab jahili pra-Islam pada waktu Muhammad dilahirkan, bukanlah sebuah tatanan masyarakat yang ideal. Pelbagai kebobrokan melingkupi seluruh sendi kehidupan; agama, sosial-politik, budaya dan sendi-sendi kehidupan lainnya.Dalam ranah agama, paham paganisme (penyembahan terhadap berhala) menjadi keyakinan yang mendarah daging bagi masyarakat Arab ketika itu.
Bahkan, menurut catatan sejarah setiap suku memiliki berhala sendiri. Takhayul bagi mereka adalah sebuah agama yang kuat, seluruh sendi kehidupan mereka dikendalikan oleh takhayul.Kehidupan sosial-politik saat itu juga sangat memprihatinkan. Fanatisme kesukuan menjadi harga mati. Setiap orang bangga akan eksistensi sukunya, sehingga tidak ada ruang bagi orang lain di luar sukunya. Mereka selalu menganggap bahwa hanya suku atau kelompoknya yang paling baik dan berkuasa.
Maka, ketika sentimen kesukuan ini dinodai, pertumpahan darah pun tak dapat dielakkanlagi. Di sisi lain, masyarakat ketika itu sangat memarginalkan posisi perempuan. Eksistensi perempuan tidak dihargai sama sekali. Mereka dianggap sebagai warga kelas dua yang tidak memiliki harkat dan martabat sebanding dengan kaum laki-laki. Keberadaan mereka, baik secara sosial-politik, budaya maupun ekonomi tidaklah bebas. Bahkan mereka dianggap sebagai beban hidup. Sungguh mengerikan Kondisi yang tidak kalah buruknya terjadi pada aspek budaya. Sejarah menyebut masyarakat Arab ketika itu dengan istilah jahiliyah (masa kebodohan). Ilmu pengetahuan menjadi barang langka.
Masyarakat Arab pada waktu itu, menganggap belajar baca-tulis adalah suatu hal yang sia-sia dan hanya buang-buang waktu saja. Kondisi seperti ini yang pada gilirannya menyebabkan mereka berpikir sempit, lebih mengedepankan otot daripada otak. Setiap persoalan diselesaikan dengan cara kekerasan, tidak dengan pikiran jernih.Di tengah kondisi masyarakat yang demikian rusak di berbagai sendi kehidupan itulah, lahir seorang anak manusia yang kelak merombak seluruh tatanan kehidupan jahiliyah, membebaskan masyarakat dari kebodohan menuju pencerahan, kebiadaban menjadi keberadaban, serta ketertindasan menuju kemerdekaan dengan pancaran sinar ilahi, dialah Muhammad saw.
Sejalan dengan bergulirnya waktu, pada usianya yang ke-40, Muhammad SAW mendapat titah berupa wahyu dari Allah SWT. untuk menjadi seorang Rasul (utusan). Mulai saat itu, Muhammad SAW resmi diangkat menjadi seorang Rasul yang mengemban misi profetik, menyebarkan risalah Ilahiyah, menegakkan dakwah amar makruf nahi munkar.Sadar akan amanat yang telah diembankan kepadanya, maka kemudian beliau menyusun strategi dakwah untuk membebaskan masyarakat Arab dari belenggu kemusyrikan, kungkungan kebodohan, cengkeraman penderitaan dan penindasan, serta memperjuangkan harkat dan maratabat manusia sesuai dengan kodratnya.
Perlahan tapi pasti, beliau mulai mengikis paham paganisme, menghilangkan kemusyrikan menuju masyarakat tauhid, mengubah kepercayaan kepada takhayul menuju rasionalitas di bawah bimbingan wahyu, membebaskan kaum mustadh'afin (lemah) dari ketertindasan menuju masyarakat merdeka, serta mengangkat harkat dan martabat perempuan sesuai dengan kodratnya sebagai manusia.
Dalam kurun waktu 23 tahun masa kenabiannya, beliau berhasil membebaskan masyarakat dari beragam bentuk kejahiliyahan; baik dalam bidang akidah, ibadah, ilmu pengetahuan, sosial-politik-ekonomi maupun segala sendi kehidupan lainnya. Selama bentangan waktu tersebut, dalam menjalankan misi dakwahnya, dengan dilandasi semangat pembebasan (liberatif), pencerahan (enlightenment) dan perbaikan (reformasi) sesuai dengan petunjuk wahyu, beliau sukses menciptakan sebuah tatanan masyarakat madani (berperadaban) yang penuh dengan semangat religius, mencintai ilmu pengetahuan, berpikir rasional di bawah bimbingan wahyu, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Karena itulah, tidak salah seandainya generasi intelektual muslim modern mencoba mencari dalam contoh Nabi di Madinah itu suatu ilham untuk mengelola masyarakat modern. Salah satu kebijakan politik yang sering dianggap sebagai kejeniusan Muhammad (Abqariyyat Muhammad), adalah ketika dia memprakarsai suatu kontrak politik antara umat Islam dan kelompok-kelompok sosial lain di Madinah saat itu. Dokumen kontrak ini, dalam sejarah Islam, dikenal sebagai Mitsaq al-Madinah atau Perjanjian Madinah, atau Piagam Madinah.
Penulis Mesir, Muhammad Husen Haikal, dalam Hayat Muhammad (Peri Hidup Muhammad), menyebut hal ini sebagai watsiqah siyasiyyah atau dokumen politik yang menjamin kebebasan iman, kebebasan pendapat, perlindungan atas negara, hak hidup, hak milik, dan pelarangan kejahatan. Muhammad memang seorang rasul, tetapi lebih penting lagi dia adalah pemimpin suatu komunitas konkret yang menjadi embrio sebuah negara di Madinah saat itu. Singkatnya, kehadiran seorang Muhammad di tengah kondisi masyarakat yang bobrok baik kehidupan agama maupun sosialnya, mampu memberikan nuansa kehidupan baru yang lebih agamis, membebaskan dan mencerahkan.
Aka tetapi, bahwa kita (umat Islam) tidak harus mengikuti kebijakan Nabi baik di mekkah dan di Madinah saat itu, harus ditiru 100% pada masa sekarang. Bagaimanapun, contoh Nabi sangat dikondisikan oleh konteks sosial dan sejarah yang spesifik pada saat itu. Model Madinah dan mekkah bisa menjadi inspirasi dan ilham untuk mencari bentuk pengelolaan kehidupan modern sekarang ini bagi umat Islam, tetapi model itu bukanlah juklak yang harus ditiru setindak demi setindak. Umat Islam harus merumuskan sendiri model baru yang sesuai dengan tantangan yang lebih kompleks saat ini.
Oleh sebab itu, melalui refleksi Maulid Nabi Muhammad Saw kali ini, dan menjelang pemilu legislatif dan pemilihan presiden 2009, semoga hadir di hadapan kita sosok manusia-manusia religius yang memiliki semangat pembebasan, memanusiakan manusia. Sehingga mampu menyinergikan antara komitmen keagamaan (spiritual) dan kemanusiaan (sosial), demi terwujudnya masyarakat religius yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga kesejahteraan dan kemakmuran benar-benar dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Semoga!

Penulis adalah pemerhati sosial keagamaan, tinggal di Jakarta

Tulisan ini telah dimuat di HU Pelita, tanggal 28 Mei 2009

Infotainment dan Penderitaan Sosial

Oleh: Masyhudi Umar

Di akui atau tidak, infotainment (berita seputar kehidupan selibritis atau artis) banyak penggemarnya, baik dari kalangan ABG, orang dewasa, termasuk orang tua (laki-laki dan perempuan). Mereka tidak merasa, jika apa yang disenangi itu mengandung efek negatif, tidak mendidik dan banyak mafsadatnya, baik terhadap diri sendiri dan orang lain.
Program infotainment berkembang begitu cepat, hingga kini berjumlah 41 judul di berbagai sistem televisi swasta. Sebanyak 541 tayangan perminggu dengan durasi masing-masing 30 menit. Di antara infotainment itu adalah Was-Was, Otista, Kasak-Kusuk, Halo Selibrity, Kabar-Kabari, Cek dan Ricek dan lainnya. Infotainment -disadari atau tidak- kemudian menjadi tema menarik dalam percakapan sehari-hari.
Perceraian, pergunjingan, pemukulan, kasus narkoba sampai nikah sirri para artis, menjadi makanan empuk para jurnalis infotainment. Begitulah, setiap hari stasiun televisi swasta menayangkan acara, suka maupun duka. Batas antara ranah privat dan ranah public seakan tak ada lagi. Karena faktanya, banyak tanyangan yang mengobok-obok urusan pribadi seseorang. Sementara disisi lain, para penonton infotainment bukan terdiri dari orang-orang yang sadar akan bahaya yang ditimbulkannya. Bahkan diantara mereka sangat menikmati drama pergunjingan dari infotainment. Keadaan ini selaras dengan kepentingan para pembuat infotainment. Karena para penjual berita ini tidak terlalu peduli dengan keadaan para penikmat infotainment. Bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana caranya laku ditengah-tengah masyarakat hingga memperoleh rating tinggi.
Kondisi masyarakat penikmat infotainment tersebut, bisa dipahami karena masyarakat kita adalah masyarakat yang terjangkit budaya instan dan hedon, yang barangkali sudah merambat ke segala lapisan. Diantara sebagian besar bangsa ini mungkin juga latah. Karena segala apa yang dimakan para artis, apa yang dipakai, gaya bicaranya, dan sebaginya itu ditiru semua. Tapi disisi lain, barangkali infotainment juga merupakan tayangan penghibur bagi sebagian besar bangsa Indonesia yang taraf ekonominya rendah. Sehingga disela-sela derasnya kucuran keringat, mereka bersantai sambil menonton tayangan infotainment.
Menyadari akan dampak negatif infotainment dan mempertimbangkannya dari kajian hokum fiqh (syariat), akhirnya pada tanggal 27-30 juli 2006, Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama di Surabaya, mengharamkan tayangan ini dengan beberapa pertimbangan, yaitu, pertama, tayangan infotainment sudak masuk terlalu jauh ke ruang privat yang bisa dikategorekan pergunjingan (ghibah) orang lain di depan public, seperti rumah tangga artis yang dikabarkan retah karena selingkuh, padahal kabar itu hanya gosib belaka, belum tentu kebenarannya. Kedua, tayangan infotainment merupakan salah satu acara yang pada durasinya sudah masuk kategori berlebihan. Karena hampir setiap saat, pemirsa dijelajahi tayangan itu, sehingga masyarakat mudah terbius untuk terus menerus menonton pergunjingan orang lain.
Ketiga, tayangan infotainment telah menimbulkan dampak negatif (mudharat) pada masyarakat. Sehingga menayangkan atau menonton acara yang mengarah pada upaya yang menyebarkan fitnah -melalui acara apapun- adalah haram, kecuali didasari tujuan yang dibenarkan secara syari’at seperti memberantas kemungkaran, memberi peringatan , menyampaikan pengaduan/laporan dan atau meminta fatwa hukum.
Fatwa haram di atas memang menimbulkan pro-kontra. Tapi demikian, jika ditelisik melalui kode etik pers, para jurnalis infotainment dan juga produsernya, tampaknya kurang mengindahkan aturan yang telah disepakati para jurnalis ini. Karena mereka hanya mengemplementasikan aspek syarat yang membuat beriata, yaitu 5W + 1H (what, who, when, where, whay, dan haw), lebih-lebih mereka juga mengabaikan persoalan public dalam memberitakan hasil reportasenya.
Lantas, apakan infotainment itu bagian dari pers? Menurut Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Jakarta, tayangan infotainment perlu dilihat dari dua aspek, yaitu apakah tayangan ini memenuhi kepentingan public dan etika jurnalistik. Artinya jika tayangan infotainment itu tidak memenuhi kepentingan masyarakat, maka acara ini telah melanggar kode etik jurnalisme. Karena semangat jurnalisme itu mengabdi pada kepentingan public.
Ala kulli hal, infotainment jelas bukan sesuatu yang mulia dan terpuji. Tetapi melarang masyarakat menonton infotainment juga tidak akan mengakhiri penderitaan social khalayak penggemar infotainment, lantas?
Barangkali menengahi persoalan ini dengan melakukan pendidikan terhadap tiap-tiap kelompok dalam masyarakat tentang bahaya infotainment, merupakan jalan yang lebih bijak. Bagaimana menurut anda sendiri?

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Majalah ALFIKR IAI Nurul Jadid, No 14 Th. X1V / Desember 2006-Februari 2007)

Membangun Pendidikan Islam Pluralis

Oleh: Masyhudi Umar*

Pendidikan pada hakekatnya adalah sesuatu yang luhur karena di dalamnya mengandung misi kebajikan. Karena suksesnya seseorang dan maju tidaknya suatu bangsa amat tergantung pada tingkat pendidikannya. Pendidikan tidaklah sekedar proses kegiatan belajar mengajar an sich, melainkan juga sebagai proses penyadaran untuk menjadikan manusia sebagai "manusia”. Dengan kata lain pendidikan merupakan sarana untuk menjadikan manusia sebagai "manusia sadar" yang sesungguhnya.
Akan tetapi, siapa kemudian menyangka tatkala diskursus tersebut teraplikasi dalam bentuknya yang riil -seperti dalam bentuk sekolah dan semacamnya—ia kerapkali terseret pada kepentingan. ideologi dan politik. kekerasan khususnya pada pendidikan Islam dalam menyikapi pluralisme agama.
Sejarah telah mencatat, kerusuhan sosial yang berbau SARA di tanah air sejak dari Pekalongan (1995), Tasikmalaya dan Situbondo (1996). Kalimantan Barat sampai terjadi ke Ambon dan Maluku (1999) dan lain sebagainya. Ada keseganan tersendiri untuk menyebut agama sebagai salah satu faktor penyebab konflik dan kerusuhan di tanah air. ada ketidak beraniaan berterus terang mengenai aib sendiri. Sehingga masyarakat tidak perlu lagi mempertanyakan ulang bagaimana sesungguhnya praktik metodologi dalam pendidikan agama. khususnya agama Islam, baik yang menyangkut materi, metodologi di sekolah-sekolah, pesantren-pesantren, diskusi-diskusi dan masyarakat pada umumnya. Dengan demikian upaya untuk memperlunak kekakuan dan mencairkan kebekuan pemikiran keagamaan dan ketegangan hubungan sosial-keagamaan dari masing-masing kelompok penganut agama belum di anggap terlalu penting untuk diarak melalui dunia pendidikan
Dunia pendidikan kita, khususnya pendidikan Islam -sejak era kolonial kemerdekaan dan bahkan era reformasi ini- masih banyak menyisakan persoalan yang tidak pernah diselesaikan. Sistem pendidikan lebih banyak dibangun di atas dekrit kebijakan yang mereproduksi ideologi penguasa kaum borjuis. Bahkan lahir dari rahim kesadaran pembangunan masyarakat baru secara revolusioner dan "visioner".

Problematika Epistemologis-Metodologis
Selama ini berkembang wacana transmisi pendidikan Islam yang bersifat indoktrinatif yang mengedepankan isi dan muatan materi dan pada proses dan metodologi. Transmisi keilmuan pendidikan Islam mengesankan apa adanya melalui jalan formalitas sehingga anak didik menjadi kaku dan tertutup terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Iebih-Iebih mengakui adanya pluralisme agama. Anak didik hanya dikenyangkan dengan pelbagai materi tanpa dipedulikan energi potensial aktual dan ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta didik keluar dari ekslusivitas keberagamaan
Wacana kafir-iman, muslim-nonmuslim. baik dan buruk. surga-neraka. seringkali menjadi bahan pelajaran khusus di kelas yang selalu diindoktrinasi dan di paksakan. Inilah salah satu problematis pendidikan Islam ditingkat materi dan metodologinya. Kritisisme sistematik dan paradigmatik keilmuan dalam pendidikan Islam kurang mendapatkan perhatian serius dari para Intelektual Muslim, tokoh pendidikan Islam dan guru ngaji, sehingga sangat berpengaruh terhadap cara pandanag Islam terhadap agama lain.
Dalam sejarah pemikiran Islam, sedikitnya ada tiga konstruksi epistemologis teori pengetahuan. Pertama, pengetahuan rasional sebagaimana dicerminkan oleh Filosof muslim, seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Bajjah dan Ibnu Rusyd. Kedua, pengatahuan inderawi (yang terbatas pada sifikasi sumber perolehan ilmu pengetahuan) sebagaimana dipraktekkan dalam empirisme barat Keliga, pengetahuan kasyf yang diperoleh melalui kekuatan intuitif. Di dunia Islam, konstruksi terutama dan ketigalah yang Iebih banyak dilakukan, sementara yang kedua kurang nendapatkan perhatian yang layak sekalipun Al-Qur"an sendiri lebih banyak menekankan perolehan pengetahuan melalui inderaui.
Cara berfikir dan mentalitas dikotomis di atas berimplikasi kepada cara pandang seseorang dalam realitas kehidupan. Seseorang yang menekankan kepada formalitas agama berpandangan bahwa terubahan hanya akan ’menggorogoti’ identitas agama yang sudah diyakini atau kalau bukan ’memurtadkan’ manusia beragama. Sementara orang yang mencoba nengadaptasi setiap perubahan akan merasa ’congkak’ dengan scsuatu yang serba modern dan canggih. faedahnya adalah bagaimana mengawinkan cara berfikir mentalitas ini dalam kerangka integrasi dengan tidak mempertentangkan secara metodologis shifting paradigm masing-masing.
Leonard Swidler, dalam bukunya, Death Or Dialogue, mengatakan. bagi mereka yang masih menggunakan paradigma eksklusif yang lebih cendrung untuk mengisolasi diri dan enggan hidup berdampingan dengan umat agama lain, tidak akan mendapatkan tempat dalam arena kehidupan keagamaan masa kini.
Dalam konteks inilah, pendidikan Islam sebagai media penyadaran umat dihadapkan pada problem bagaimana mengembangkan teologi inklusif dan pluralis, sehingga di dalam masyarakat Islam akan tumbuh pemahaman yang inklusif dan harmonisasi agama-agama di tengah kehidupan masyarakat multikulturalisme. Tertanamnya kesadaran multikulturalis dan pluralitas masyarakat, akan menghasilkan corak paradigma beragama yang hanief dan toleran. Ini semua harus dikerjakan pada level bagaimana membawa pendidikan Islam ke dalam paradigma yang toleran dan inklusif.
Fazlur Rahman (1984) menyatakan pentingnya pendidikan kreatif dan kritis sebagai konsekvvensi basis etik ajaran Islam dalam Al-Qur’an. Maka disarankan adanya pemikiran dan mentalitas yang positif dan kreatif Adanya kebenaran tunggal ini menjadi akar tumbuhnva sistem dan orentasi keagamaan yang indoktrinatif bukan education. Karena itu, pendidikan Islam lebih merupakan indoktrinasi tunggal yang tak mungkin dibantah, akhirnya ruang kelas laksana "penjara" yang pengap tanpa peluang masuknya udara pemikiran kritis dan inovatif
Memimjam istiliah Paulo Freire, diformulasikan dalam fisafat pendidikan, sudah saatnya pendidikan Islam diarahkan pada area pembebasan dari belenggu-belenggu doktrin-paksaan-agama yang eksklusif dan intoleran menuju formulasi pendidikan Islam yang inklusif dan pluralis. Karena sejak awal cita-citanyar pendidikan harus menjadi proses "pemerdekaan” bukan penjinakau sosial budaya (social and cultural domescation) yang diarahkan pada paradigma serba esklusif.
Karena itu, merekonstruksi paradigma dan metodologi pendidikan Islam yang eksklusif adalah tuntutan sejarah yang harus dilakukan secara integral, sistematis, liberatif dan radikal. Sehingga dapat diarahkan dan menumbuhkan sikap dan pola keberagaman yang inklusif dan pluralis untuk menghargai dan menghormati agama lain tanpa konflik. Wallahu a 'lam bis-shawab

*Penulis adalah Pemimpin Umum Bulettin Surau KKPS Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Tulisan ini telah dimuat di Bulettin Surau KKPS Nurul Jadid Kerja Sama Dengan Yayasan TIFA Jakarta, Edisi 1 Juni 2006

Agama dan Mashlaha Al-Basyariyah

Pembacaan Terhadap Ajaran Agama-Agama

Oleh: Masyhudi Umar*

Diskursus mengenai agama sangat sarat dengan muatan emosi, kecenderungan dan subyektifitas individu. Agama mempunyai ajaran yang sangat ideal dan cita-cita yang sangat tinggi. Bagi pemeluk fanatiknya, ia merupakan "benda" yang suci, sakral, angker dan keramat. Ia selalu menawarkan ” jampi-jampi” keselamatan, kebahagiaan dan keadilan. Namun, kenyataan berkata lain. Agama tak jarang justru melahirkan permusuhan dan pertengakaran. Fenomena ini dilatarbelakangai oleh; Pertama, pendewaan terhadap agama. Umat beragama sering terjerumus untuk mendewakan agama, istilah-istilah agama pada pemuka agama. Tuhan beserta sifatnya yang menyelimutinya berulangkali hilang dari ingatan. Prinsip-prinsip agama lain ajaran sucinya juga mengalami nasib yang sama. Mereka nyaris habis tinggal jargon-jargon yang tidak mempunyai nyali. Di sini agama bukan lagi sebagai amalan, namun ia berubah fungsi menjadi semisal markas jaringan "mafia" sehingga tidaklah heran kemudian muncul "manipulasi agama" dan "korupsi agama" seperti yang .dikemukakan oleh Maulidin dari eISAD Surabaya dengan mengutip Fritjof Capra, bisa menyebabkan sistem nilai tidak mati, namun kehilangan daya hidup untuk memotifasi dan mengontrol sistem nilai yang ada atau sistem kognitif dan normatif agama berakhir dan tinggal peranannya sebagai ornamen atau hiasan lahiriyah yang tidak fungsional terhadap cara pikir dan tingkah laku.
Kedua, pengkelasan dalam berakhlak. Umat beragama sering terjebak untuk lebih dekat kepada saudara "seagama" (in group fe­eling), dan menomor duakan persahabatan dengan rekan dari aga­ma lain. Hal ini membuahkan sikap kurang obyektif dalam memandang apa yang ada diluar diri sendiri. Misalnya sebagaimana yang dikemukakan Dr. Muslim Abdurrahman dalam Islam Transformatif, kendati keadilan sosial merupakan sendi utama agama, namun jika ketidakadilan tidak menimpa "kita" atau "saudara kita", rnaka "ki­ta" kurang menaruh perhatian.
Dalam artikelnya, Ulil Absar Abdallah, menyegarkan kembali pemahaman islam (KOMPAS, 18/11/ 2002), umat tertentu hendaknya tidak memandang dirinya sebagai "masyarakat" atau "umat" yang terpisah dari golongan lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, searah sesuai dengan fitrah manusia. Musuh semua agama adalah ketidakadilan. Menurut Ulil, misi agama yang paling dianggap penting sekarang ini adalah dimuka bumi, terutama dibidang politik dan ekonomi (tentu juga dibidang budaya) bukan simbol-simbol yang melahirkan kebencian dan pertengakaran.
Ketiga, monopoli kebenaran, Banyak agama -atau bahkan seluruh agama- yang mengajarkan kebenaran absolut bagi pemeluknya. Merupakan suatu kewajaran dan memang sepantasnya dan memberikan doktrin-doktrin keabsolutan kebenaran agama. Nam­un kewajaran itu akan berubah menjadi ketidak wajaran bila tanpa diiringi dengan anjuran penelitian dan pencarian argumen logis atas doktrin-doktrin yang disampaikan dan anjuran mengahargai doktrin orang lain. Lebih-lebih (elit agama) memberikan doktrin tersebut dibarengi dengan penularan anggapan bahwa doktrin-dok-trinvalah yang benar, sementara yang lain salah total, dan akan semakin tragis bila fenomena ini di iringi dengan pelecehan agama lain.
Hati kecil saya sekedar bertanya, jangan-jangan sesuatu yang selama ini kita yakini sebagai kebenaran justru merupakan kesalahan, apakah tidak mungkin ritual-ritual yang selama ini kita jalani bukan mendekatkan kita pada sang pencipta, tapi malah menghantarkan kita ke neraka. Kita mestinya bertanya tentang doktrin-doktrin yang kita terima dan jalankan. Pendeknya harus diwaspadai dan dihindari dogmatisme kebenaran yang sangat berbahaya itu. Kita enggan mempertanyakan segala sesuatu yang telah diyakini sebagai kebena­ran, maka kita akan mudah terjebak pada rajutan kebenaran. "kebenaran banya ilusi" kata Nietzsche. Kebenaran hanyalah konstruksi manusia yang fana (rusak), yang setiap saat mesti siap untuk disalahkan.
Ke­benaran yang maha besar adalah manusia tentang adanya kebenaran yang menaungi segala kebenaran. Inilah yang disebut dengan The Ultimate Reality (realitas puncak) atau The Highest Councioustiess (Kesadaran tertinggi), Dalam Islam, 'seharusnya' dan orang yang sepakat dengan 'kebenaran' adalah Tuhan yang Maha Besar yang sempurna semata hanya Robbul 'Alamin. Sementara seluruh manusia serta apa yang diproduksi oleh manusia adalah relatif. :
Pola Hubungan agama-agama berpijak pada pluralisme agama yang harus diterima secara positif, obyektif, umat beragama dituntut untuk saling mengenal dan tolong-menolong. Hal itu mengandung arti bahwa hidup rukun dan bekerja sama satu dengan yang lain dalam menciptakan kehidupan bersama yang adil, damai, sejahtera merupakan tindak lanjut dari sikap pemahaman keberagamaan agama. "Teologi keselamalan" itu akan terbayangi bila umat beragama dapat keluar dari jebakan struktur, baik struktur; sosial-historis agama, struktur organisasi-agama, ataupun hirarki agama.
Untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat secara universal, umat beragama perlu membebaskan diri dari "keterkungkungan" ideologis mengingat bukan suatu umat agama tertentu saja yang menjadi entitas perjuangan. Corak paradigma sosial agama yang berwujud dinamika pembebasan harus diwujudkan dalam obyektif kemanusiaan secara universal. Suatu paradigma Rahmatan Lil 'Alamin yang menjadi cita-cita suci agama harus ditransformasikan dari bentuk idealnya pada bentuk-bentuk real kehidupan seluruh manusia (Mashlahah al-Basyariyah)
Dengan melepaskan jebakan tersebut, umat beragama akan dapat mewujudkan komunikasi sosial yang terbuka. Pembahasan itu mengandung makna bahwa perjuangan pemeluk agama-agama hanya dianggap sah bila semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran. Dalam kondisi merdeka seperti itu, kritik bisa tertuju kepada agama sendiri dengan terbuka rnenerirna kritik dari pemeluk agama lain. Jadi, kemajemukan tidaklah bisa dijadikan alasan untuk saling mencela dan menumpahkan darah. Justru sebaliknya, kondisi sosial budaya dengan pola kemajemukan selalu memerlukan adanya titik temu dalam menilai kesamaan diri semua kelompok yang ada demi mewujudkan cita-cita kesejakteraan bersama (umat beragama).
Tentang pluralisme agama, kitab suci AI-Qur'an, menyebutkan landasan normatif bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (Qs.2:-256). Karena kemajemukan itu kehendak Allah. Tuhan menciptakan manusia beranekaragam agar mereka saling mengenal, memahami dan bekerjasama (Qs. 13: 49).

Agama: Cerminan Kebijakan Sosial
Setelah landasan kerukunan dan kerja sama agama-agama ditemukan, sekarang kita beralih untuk mengungkapkan nilai-nilai sejati semua agama yang menjadi medan kerjasama agama-agama. Nilai-nilai sejati setiap agama adalah paradigma pembebasan. Individu dan masyarakat serta tanggung jawab sosial yang berdasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan. Mengingat agama seka-ang ini lebih sering menuntut kepatuhan mengurusi masalah individu dalam hubungannya secara pribadi dengan Tuhan (Hablum minallah) dan kurang mewujudkan tatanan kehidupan sosial yang adil. Maka nilai-nilai sejati agama yang berwujud perumusan paradigma sosial berdasarkan nilai-nilai agama menjadi agenda kegiatan paling vital dan urgen.
Agama tanpa tanggung jawab sosial sama saja dengan pemujaan (Clut) belaka. Manusia tidak perlu beragama jika tanpa dibarengi dengan tanggung jawab sosial. Meminjam bahasa Achmad Najib Burhani dalam karyanya, Islam Dinamis -2001, bahwa agama bukanlah pelarian semu dan dalil mencari ketentraman spiritual semata. Ibadah-ibadah ritual dalam agama, cara introspeksi diri. Apakah diri ini memancarkan kepedulian manusiawi dalam kehidupan luas yang multi dimensi atau tidak, apakah pola keberagamaan kita telah membuahkan tanggung jawab sosial atau belum? Kebenaran sesungguhnya bisa dikatakan terwujud bila tanggung jawab sosial agama terintregasi dalam problematika sosial yang nyata dan kesalehan individu tidak steril lagi.
Agama memang memiliki sejumlah nilai, norma, dan aturan yang melekat dalam jiwa masyarakat. Namun berbagai nilai agama itu masih bersifal global atau masih berupa bahan baku. Karena itu, agar ia memiliki makna dan membumi pada jiwa umat manusia, setiap zaman, perlu adanya upaya proses pembumian berdasarkan kebutuhan makro dan mikro. Proses reaktualisasi dan transformasi berbagai nilai positif yang melekat pada agama dalam konteks kontemporer inilah yang akan membantu bagi tumbuhnya etos baru kerja agama-agama yang orisinil dibutuhkan pada zaman baru. Sejauh mana proses ini dilakukan dan berhasil, adalah sejauh pula agama menempatkan fungsinya bagi umat manusia.

Titik Fungsional
"Sekarang bagaimana format gerak dan peran agama-agama untuk mewujudkan kcsejahteraan universal dan Mashlahah al-Basyariyah dapat ditilik pada dua fungsi strategisnya, yaitu: per-tama, bukti ketaqwaan kepada Tuhan. Di hadapan Tuhan, seseorang dinilai baik bila baik pada sesama manusia. Sebaliknya Tuhan akan menilai buruk jika ia buruk dalam pandangan manusia (Masya­rakat). Teosentrisme atau wacana tentang Tuhan hanya akan bermanfaat bila sekaligus menjunjung tinggi harkat dan martabat ma­nusia. Harmoni pada tingkat esoteris hanya akan menjadi perbincangan verbal saja bila tidak ada keterlibatan dalam pemecahan masalah-masalah kemanusiaan yang bersifat global.
Meng-iya-kan Tuhan, tidak berarti menyangkal manusia dan sebaliknya. Meski respon iman dialamatkan kepada Tuhan, tapi komitmen dan respon itu diperintahkan dan diaktualisasikan dalam hubungan makhluk. Bahwa ber-Tuhan justru berada di pihak segenap manusia. Setelah menjawab sapaan Tuhan, manusia harus ketahapan praktis melayani manusia sebagai hamba Tuhan.
Kedua, wujud solidaritas kemanusiaan. Semua umat manusia adalah anggota keluarga Tuhan. Secara fitrah -pandangan manusia ketika lahir dan belum terbentuk oleh lingkunganya- tidak ada perbedaan manusia dengan orang lain. Dalam kehidupan bermasyarakat mereka laksana organ-organ tubuh yang satu. Semuanya kan terundung lara bila salah satu organ nestapa, Berulang-ulang Rasulullah bersabda, bahwa "iman seseorang tidak dianggap sempurna bila tetangganya tidak pernah merasa aman dari ganguanya" (HR Bukhori Muslim). Pada kesempatan lain beliau bersabda, bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainya.
Karena itu, agama hanya kredibel bila dapat menolak segala sikap yang bernafaskan kebencian, balas dendam, pembunuhan dan pemaksaan. Semua agama harus mengembangkan dan mengaktualisasikan sikap kebaikan hati, belas kasihan, solidaritas, persaudaraan universal tanpa membedakan suku, budaya, ras, gender dan agama. Dengan demikian, maka akan terwujud agama-agama yang meyelamatkan terhadap manusia (Mashlahah al-Basyariyyah) sebagai cita-cita hidup di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.

Tulisan ini telah dimuat di Majalah ALFIKR IAI. Nurul Jadid Paiton Probolinggo, No. 10. Th X / Agustus-Oktober 2003