Minggu, 26 Oktober 2008

NU Berebutan Wacana


Oleh; Mashudi Umar, Pemerhati Sosial Keagamaan dan Alumni PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

PROGRESIVITAS pemikiran kalangan muda dan dinamika di kalangan ulama NU saat ini mungkin tak terduga oleh Kiai Ahmad Siddiq ketika merumuskan kembali ke Khittah 1926.Saat itu Kiai Achmad Siddiq hanya memimpikan para ulama mendidik santrinya, tidak hanya menjadi muqallid a’ma (pengikut buta) tetapi menjadi muqallid lebih baik.Harapan itu sekarang terlampaui,tidak hanya menjadi muqallid yang lebih baik, tetapi lebih jauh, yaitu mengeksplorasi pendekatan manhajy (metodologis) dalam meneropong berbagai persoalan kontemporer.

Kesan jumud dan antikemajuan yang selama ini melekat pada jam’iyyah nahdliyyah, dengan sendirinya terhapus oleh dinamika perkembangan NU selama lebih dari dua dekade belakangan. Perkembangan seperti ini tidak dihasilkan secara mudah. Perjuangan gigih Kiai Achmad Siddiq dan Gus Dur pada pertengahan dekade 1980-an dalam meletakkan NU, sebagaimana perjuangan Kiai Hasyim Asy’ari pada 1926,memberi andil penting dalam mempersiapkan perubahanperubahan yang terjadi sebelumnya.

Doktrin ahlussunnah wal-jamaah yang menjadi nafas organisasi dengan sadar tidak pernah dikesampingkan, malah diperkukuh dengan memberi visi baru. Muatan baru itu bermula dari gagasan sederhana, bagaimana melakukan kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam klasik.

Gejala kemajuan yang muncul di kalangan muda NU memang semacam konsekuensi yang tidak bisa terhindarkan. Dekade 1980-an adalah awal dari ”panen raya”kalangan intelektual di lingkungan NU. Generasi baru yang berpendidikan ganda ini tidak sepenuhnya mampu diserap dalam lingkungan NU yang masih didominasi kalangan ulama tua.

Mereka kemudian mencari jalan lain, dengan beraktivitas dalam gerakan mahasiswa, NGO, dan lainnya. Perkenalan dengan dunia luar pesantren itu ternyata cukup banyak mengubah struktur berpikir kalangan muda NU. Pergumulan kalangan muda NU dengan gagasan,agenda, dan jaringan di luar pesantren dan NU itu pada akhirnya melahirkan apa yang mereka sebut sebagai gerakan kultural; suatu gerakan yang berbasis pada pengembangan pemikiran dan pemberdayaan masyarakat akar rumput.

Dalam kerangka gerakan, agenda aksinya tersusun berdasarkan pemikiran yang lebih konsepsional dalam melakukan pemberdayaan terhadap berbagai masalah mutakhir. Dalam konteks inilah lahir gagasan Islam transformatif, Islam liberal, Islam emansipatoris hingga gagasan Islam postradisionalis.

Terbangun pula lembaga-lembaga swadaya masyarakat macam The Wahid Institute,The Fahmina Institute,Rahima. Benturan itu terjadi karena sejak awal gerakan kultural merupakan perlawanan ”diam-diam” kalangan muda terhadap kecenderungan umum NU saat itu yang sangat tergoda dengan kehidupan politik.

Dalam persepsi mereka, khittah NU 1926 semestinya menghentikan NU dari kecenderungan politik praktis dan mengonsentrasikan sepenuhnya pada gerakan keagamaan dan kultural. Namun impian ini tidak mudah diwujudkan, karena dunia politik bagaimanapun tetap memesona.

Sejumlah aktivis NU mendapat peluang lebih besar pascakeputusan Khittah 1926 dengan berkiprah pada sejumlah partai politik.Sementara itu, NU sendiri pernah diletakkan Gus Dur sebagai kekuatan semioposisi pada masa akhir Orde Baru. Puncaknya adalah pada masa reformasi. PBNU pernah memfasilitasi terbentuknya sebuah partai politik baru dan NU struktural harus bersusah-payah membela Gus Dur tatkala menjadi presiden.

Jadi, berpolitik memang seakan kegiatan yang tak kenal lelah, baik yang dilakukan ”NU politik” maupun – ”NU struktural”, walaupun tentu dengan modus operandi yang berbeda. Di tengah membeludaknya aktivitas politik itu,institusi NU kerap menjadi ”korban”. Pilkada, baik Jawa Timur maupun Jawa Tengah, menjadi fakta bahwa semua pihak merebut suara NU.

Kecenderungan inilah yang dilawan oleh gerakan kultural. Mereka meletakkan gerakannya sebagai alternatif dari gerakan ”NU struktural” maupun ”NU politik” yang dianggap mudah membelokkan NU menjadi kekuatan politik. Sekarang ini NU pada dasarnya mempunyai tiga aset penting selain para ulama.
Pertama, kalangan terpelajar dan intelektual yang sedang giat menekuni pemikiran keagamaan. Kedua, kalangan pengusaha. Ketiga, politisi yang tersebar di berbagai partai. Kalimat ”inside NU”atau ”what’s right withNU”sangat tepat untuk mengapresiasi buku ini. Sebuah buku yang sangat komprehensif dalam membedah jeroan NU, terutama pergolakan pemikiran yang telah dan sedang terjadi di kalangan generasi muda NU.

Pemetaan yang brilian, cerdas, dan lugas telah dihadirkan oleh As’ad Said Ali, Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang tidak hanya menyoroti dimensi siyasah (politik), tsaqafah (budaya) dan fiqrah (pemikiran), akan tetapi juga dimensi yang sangat mendesak untuk diprioritaskan, yaitu istishadiyah( perekonomian).

(Telah dipublikasi di Seputar Indonesia (Sindo), Tanggal 23/08/08)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda